Mentari merupakan seorang perempuan yang baik hati, lembut, dan penuh perhatian. Ia juga begitu mencintai sang suami yang telah mendampinginya selama 5 tahun ini. Biarpun kerap mendapatkan perlakuan kasar dan semena-mena dari mertua maupun iparnya , Mentari tetap bersikap baik dan tak pernah membalas setiap perlakuan buruk mereka.
Mertuanya juga menganggap dirinya tak lebih dari benalu yang hanya bisa menempel dan mengambil keuntungan dari anak lelakinya. Tapi Mentari tetap bersabar. Berharap kesabarannya berbuah manis dan keluarga sang suami perlahan menerimanya dengan tangan terbuka.
Hingga satu kejadian membuka matanya bahwa baik suami maupun mertuanya dan iparnya sama saja. Sang suami kedapatan selingkuh di belakangnya. Hanya karena pendidikannya tak tinggi dan belum juga dikaruniai seorang anak, mereka pun menusuknya dari belakang.
Tak terima perlakuan mereka, Mentari pun bertindak. Ia pun membungkam mulut mereka semua dan menunjukkan siapakah benalu sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EMPAT
POV Mentari
Mama mertua dan adik ipar serta perempuan yang aku tahu hendak mama jodoh-jodohkan dengan Mas Shandi telah pulang sejak tadi. Namun sejak tadi pula mas Shandi hanya diam. Bungkam seribu bahasa. Ia seakan benar-benar tersinggung dengan apa yang dikatakan mama. Padahal bukan maksudku begitu. Aku sudah mencoba menjelaskan aku mengatakan begitu karena aku tidak suka dikata-katain mandul. Memang kenyataannya aku tidak mandul. Aku sudah memeriksakan diri ke dokter dan hasilnya rahimku bagus. Tidak ada masalah untuk mengandung. Tamu bulananku juga selalu lancar. Tak ada masalah. Karena itu aku tak suka bila selalu dihina mandul sebab memang kenyataannya aku tak mandul seperti yang mereka selalu katakan.
Apakah salah bila aku mengatakan kalau bayi itu hak prerogatif Allah? Apakah salah aku mengatakan kalau hamil itu terjadinya karena hubungan dua orang, bukan hanya satu, bukan hanya aku, tapi dua orang. Ya, dua orang, suami dan istri. Tapi mengapa kala aku tak kunjung hamil, mereka beramai-ramai meneriaki ku mandul?
Aku sudah berusaha mengajak mas Shandi memeriksakan diri, tapi ia selalu menolak. Dia selalu mengatakan dirinya sehat, tak ada masalah. Keluarga besarnya tak ada yang memiliki riwayat susah punya anak apalagi mandul karena itu mereka selalu menyudutkan ku dengan kata-kata mandul sebab aku yang tak kunjung hamil padahal pernikahan kami telah menginjak tahun ke-lima. Namun aku selalu bersabar. Ku serahkan takdir hidupku pada Allah yang maha penguasa segala. Aku yakin, apa yang aku alami ini akan ada hikmahnya. Aku yakin, Allah memberikan ujian ini sebab Ia yakin, aku mampu menjalaninya.
...***...
"Mas," panggil Mentari sambil memeluk tubuh Shandi yang baru saja selesai berpakaian dari belakang.
"Hmmm ... " Shandi hanya berdeham. Ia sedang dalam mode diam. Membuat Mentari bingung harus bagaimana membujuknya.
"Kamu masih marah?" tanya Mentari dengan suara merajuk bingung.
"Menurutmu?" sinis Shandi membuat Mentari menghela nafasnya.
"Mas, aku kan udah jelasin. Aku nggak maksud ngomong kayak gitu. Maksud kata-kataku itu agar mama nggak selalu menyudutkan aku yang belum juga hamil. Emangnya ini mau aku? Nggak. Aku pun pingin hamil. Pingin punya anak. Pingin jadi seorang ibu, sama kayak perempuan lainnya. Tapi mau bagaimana lagi, Allah belum kasih. Lagipula kenapa hanya aku yang selalu di sudutkan di sini. Hamil itu karena hubungan 2 orang, suami dan istri, tapi kok aku melulu yang disudutkan sih?" protes Mentari. Ia sudah melepaskan pelukannya dan menghempaskan bokongnya di pinggir ranjang.
"Ya itu sama aja kamu mengatakan aku mandul, Tari. Kamu mikir dong! Keluarga besar aku nggak ada yang mandul. Termasuk aku. Mana mungkin aku mandul. Wajar kalau kami menuduhmu mandul kan. kamu aja nggak ada saudara. Keluarga juga." Shandi menjawab dengan suara meninggi. Ia kesal karena merasa dituduh mandul oleh istrinya sendiri di hadapan orang tua dan saudaranya.
"Mas, aku kan pernah cerita ayahku meninggal saat aku masih kecil. Ya wajar dong aku nggak punya saudara. Lalu ibuku hidup sendiri bertahun-tahun demi membesarkanku kemudian meninggal saat aku SMA, ya gimana mau punya saudara coba? Emangnya ibuku amoeba? Bisa membelah diri? Emangnya ibuku Siti Maryam? Bisa hamil sendiri tanpa seorang suami," tukas Mentari dengan degup jantung bertalu-talu.
Sungguh, Mentari merupakan sosok yang jantungnya mudah bergolak. Apalagi saat berdebat seperti ini. Saat masih sekolah saja, hanya disuruh membaca di depan kelas saja, ia suka gugup, apalagi harus berdebat yang cukup menguras emosi tapi tetap harus mengedepankan logika seperti ini.
"Aku udah pernah ajak kamu periksa ke dokter, mas. Periksa bukan berarti itu karena kamu mandul, namun kita bisa berkonsultasi mengapa kita belum juga dikaruniai anak padahal usia pernikahan kita udah jalan 5 tahun. Untuk aku sendiri, aku udah periksa dan aku normal. Nggak ada masalah. Banyak alasan mengapa pasangan itu belum juga dikaruniai keturunan, bukan serta merta karena mereka mandul. Bukan. Tapi kadang ada alasan yang orang awam seperti kita tidak mengerti. Jadi mas, ayo kita periksa! Kita konsultasi. Mas mau kan!" bujuk Mentari sembari menjelaskan dengan sabar. Ia ingin membuka pikiran sang suami agar bisa lebih berpikir logis dan tidak ikut-ikutan orang tuanya menyudutkannya.
"Udah aku bilang aku nggak mungkin mandul, Tari!" bentak Shandi sampai membuat Mentari terkesiap. Selama 5 tahun menikah, baru kali ini Shandi membentaknya seperti ini.
"Aku udah bilang bukan mak-."
"Stop Tari, jangan membuatku makin kesal!" sergah Shandi dengan wajah mengeras karena emosi.
Mentari menghela nafasnya. Matanya memerah.
Brakkk ...
Shandi keluar dari dalam kamar sambil menghempaskan pintu kamarnya. Kemudian terdengar bunyi pintu depan dibuka lalu ditutup. Selang beberapa menit, deru suara mobil dinyalakan terdengar, dan dalam hitungan detik, mobil yang dikendarai Shandi itu pergi dari halaman rumah mereka.
Tangis yang sejak tadi ditahan Mentari akhirnya pecah. Hatinya sakit, mengapa suaminya kini ikut-ikutan menyudutkan dan menganggap dirinya mandul? Bahkan kini, untuk pertama kalinya, Shandi meninggalkannya seorang diri setelah bertengkar. Biasanya Shandi hanya akan menghindarinya barang sejenak, lalu kembali menghampirinya dan memeluknya erat. Bahkan sering mereka menutup pertengkaran mereka dengan bercinta. Bercinta setelah bertengkar biasanya lebih menggairahkan. Tapi kini, semua berbeda. Suaminya justru memilih meninggalkannya seorang diri.
...***...
Alunan suara adzan subuh terdengar begitu merdu, membuat Mentari segera membuka matanya. Tangannya meraba ke sisi ranjang. Dingin. Mentari menghela nafasnya. Untuk pertama kalinya, suaminya tidak tidur di sisinya. Perih. Itu yang Mentari rasakan saat ini.
Tak mau banyak berpikir, Mentari pun bergegas bangun untuk mengambil wudhu kemudian ia pun segera menunaikan kewajibannya. Setelah selesai, Mentari menengadahkan tangannya dan berdoa, memohon kebaikan atas dirinya juga suaminya. Juga memohon pengampunan dan kebaikan atas orang tuanya yang telah lebih dahulu menghadap sang Khalik.
Setelah selesai, ia pun melipat kembali mukenanya. Kemudian, ia segera mengerjakan tugas-tugasnya seperti biasa. Mulai dari membersihkan rumah, mengumpulkan pakaian kotor dan memasukkannya ke mesin cuci. Setelahnya ia pun bergegas menyiapkan sarapan, berharap suaminya segera pulang dan makan berdua seperti biasanya. Melupakan sejenak prahara yang semalam terjadi.
Tak lama kemudian, sesuai dugaan Mentari, Shandi pun pulang. Mentari pun segera menyambut dengan senyum merekah. Berharap sang suami kembali hangat seperti biasa. Tapi apalah daya, ternyata Shandi masih saja berwajah masam seperti semalam.
"Mas, mas tidur dimana semalam? Kok nggak pulang sih? Aku nungguin mas lho, tapi mas malah nggak pulang-pulang. Telepon juga nggak." Mentari mencebikkan bibirnya. Bila biasanya Shandi akan luluh bila ia bersikap demikian, tapi kali ini tidak. Ia bungkam, tak mau mengucapkan satu patah katapun. Suaminya tampak masih kesal. Entah sudah berapa kali sejak kemarin Mentari menghela nafasnya. Sepertinya Mentari harus memupuk rasa sabarnya lebih banyak lagi. Semoga saja sepulang kerja, suaminya sudah kembali hangat seperti biasanya.
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...