Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Sadar Angga sudah meninggalkan dirinya, Kinara tak ingin ketinggalan jejak. Gadis itu segera menyusul.
Kinara langsung menahan pintu lift yang akan tertutup. Dengan cepat, ia masuk ke dalam benda itu.
Begitu benda itu tertutup rapat, Kinara langsung memeluk Angga. Sontak saja ulah sang model membuat Angga kesal.
"Kamu apa-apaan sih, Kinar?!" Angga melepas pelukan gadis itu dengan perasaan dongkol.
"Kenapa? Bukankah kamu sangat menikmati tubuhku saat kita berada di atas ranjang? Jika kamu mencintai Quin, mengapa kamu melampiaskan hasratmu kepadaku dan bukan padanya? Apa itu adil?!"
"Sebagai lelaki normal, jelas saja aku nggak bisa mengelak apalagi menolak jika dipancing terus menerus," aku Angga dengan senyum sinis. "Inilah yang membedakan kalian berdua. Meski Quin tunanganku dia tahu batasannya sebagai wanita."
Seusai bertutur, pintu lift juga terbuka. Tanpa basa basi, Angga langsung keluar dari benda itu meninggalkan Kinara.
"Quin! Quin! Quin! Teruslah memuji wanita kesayanganmu itu, menyebalkan!" gerutu Kinara sambil menghentakkan kaki.
.
.
.
Keesokan harinya ....
Cahaya silau matahari kini memancarkan cahayanya. Menembus tirai kamar sekaligus menerpa wajah Quin.
“Sudah pagi rupanya."
Dengan malas gadis itu bangkit dari tempat tidur. Memilih ke teras balkon kamar. Menghirup udara pagi sembari memejamkan mata.
"Untung saja kami belum menikah. Pria munafik, kelihatannya saja setia. Namun, siapa yang menyangka jika ternyata dia ... ah, sudahlah, sangat menyakitkan jika diingat," gumam Quin dengan hela nafas. "Bagaimana caranya ya, aku bisa lepas dari Angga?"
Quin tampak berpikir sembari mondar mandir di teras balkon. Merasa belum mendapatkan jawaban, ia memilih ke kamar mandi sekaligus membersihkan diri.
Satu jam berlalu ....
Kini gadis itu sedang berada di dapur sekaligus membuat nasi goreng untuk sarapan. Sesekali ia menyeruput coklat hangat kesukaannya.
Begitu nasi gorengnya mateng, ia lanjut menyantapnya. Selesai sarapan, Quin lanjut bersiap untuk kembali beraktifitas seperti semula.
"Waktunya kembali bekerja," kata Quin sesaat setelah masuk ke dalam mobil. Beberapa menit kemudian, ia pun meninggalkan villanya.
.
.
.
Apartemen Angga ....
Angga seolah frustasi. Sudah berulang kali ia menghubungi Quin. Akan tetapi, ponsel gadis itu tetap berada di luar jangkauan.
"Ada apa dengan Quin?! Tidak biasanya dia seperti ini. Sejak kemarin dia tidak bisa dihubungi!" gumam Angga kesal.
Dengan perasaan dongkol, ia meninggalkan unit apartment-nya menuju basemen.
******
Setibanya di kantor, Angga langsung ke ruangan kerja. Sesaat setelah duduk di kursi, ia malah termenung. Berbagai pertanyaan kini muncul di benaknya.
"Apa benar yang di katakan Dennis kemarin?Sepertinya anak itu tidak berbohong. Sebaiknya aku ke butiknya saja nanti siang."
Tok ... tok ... tok ...
Suara ketukan pintu membuat Angga spontan mengarahkan pandangan ke depan.
"Selamat pagi, Pak," sapa Bram.
"Pagi juga Bram," sahut Angga lalu tersenyum.
"Pak, ini ada beberapa berkas penting yang harus Bapak tandatangani," kata Bram seraya meletakkan beberapa map di atas meja kerja Angga.
Angga mengangguk kemudian meneliti dengan seksama berkas-berkas itu. Setelah merasa tidak ada kesalahan ia pun membubuhkan tanda tangannya.
"Pak, siang nanti, Bapak ada pertemuan dengan Pak Pranata di restoran xxx," jelas Bram.
'Apa ini menyangkut tentang rencana pernikahanku dengan Quin?' batin Angga menebak. "Baiklah, tolong ingatkan saya nanti."
"Baik, Pak. Kalau begitu saya pamit." Bram kemudian meninggalkan ruangan itu.
Sepeninggal Bram, Angga beranjak kemudian menghampiri dinding kaca ruangan.
"Sayang, maafkan aku karena telah berkhianat. Sebagai lelaki normal, aku nggak bisa menahan hasratku. Quin, aku sangat mencintaimu bahkan takut kehilanganmu. Aku berjanji perbuatan kemarin adalah yang terakhir. Aku akan mempercepat pernikahan kita dan aku nggak mau mendengar kamu menunda lagi."
.
.
.
QA Boutique ....
"Selamat pagi all," sapa Quin dengan senyum manis.
"Pagi juga, Quin," sahut Almira dan yang lainnya.
"Aku ke atas dulu. Jika kalian membutuhkan sesuatu, langsung ke ruanganku," pesan Quin seraya melanjutkan langkah menapaki anak tangga.
"Siap, Nyonya Angga," celetuk Al lalu tergelak.
Mendengar Al menyebut nama Angga, Quin memutar bola matanya malas.
*****
Menjelang siang, Quin menghentikan aktifitasnya sejenak. Menyandarkan punggung di kursi kerja mengistirahatkan tubuhnya.
"Quin," sapa Al seraya menghampiri.
"Al, ada apa?"
"Kami ingin cari makan siang, ada titipan nggak?" tawar Al.
"Es boba seperti biasa. Ini duitnya, sekalian buat bayar makanan kalian," kata El sembari memberikan beberapa lembar uang.
"Baiklah, kami meluncur sekarang," pamit Al sembari tertawa lalu meninggalkan Quin.
Sepeninggal Al, Quin beranjak dari tempat duduk menuju galeri pakaian. Memperhatikan deretan gaun yang telah selesai sekaligus akan diambil oleh sang pemilik.
Asik memperhatikan pakaian itu, Quin terkejut ketika seseorang memeluknya dari belakang. Sang designer memutar badan seraya berkata, "Angga?"
Angga tersenyum lalu ingin mendaratkan ciuman di bibir Quin. Namun, dengan cepat gadis itu menghindar.
'Ada apa dengannya? Tumben juga dia memanggil namaku bahkan menolak ciumanku,' batin Angga dengan perasaan kecewa.
"Sayang, kenapa ponselmu nggak bisa dihubungi sejak kemarin?"
"Lowbet," jawab Quin singkat.
Angga menghela nafas. "Sayang, papa ingin bertemu denganku di restoran xxx. Sebaiknya kita ke sana bersama."
"Baiklah."
Angga mengernyit karena ia merasa Quin bersikap dingin padanya. Bahkan menjawab pertanyaannya dengan ketus.
...----------------...