Reyhan menikahi Miranda, wanita yang dulu menghancurkan hidupnya, entah secara langsung atau tidak. Reyhan menikahinya bukan karena cinta, tetapi karena ingin membalas dendam dengan cara yang paling menyakitkan.
Kini, Miranda telah menjadi istrinya, terikat dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.
Malam pertama mereka seharusnya menjadi awal dari penderitaan Mira, awal dari pembalasan yang selama ini ia rencanakan.
Mira tidak pernah mengira pernikahannya akan berubah menjadi neraka. Reyhan bukan hanya suami yang dingin, dia adalah pria yang penuh kebencian, seseorang yang ingin menghancurkannya perlahan. Tapi di balik kata-kata tajam dan tatapan penuh amarah, ada sesuatu dalam diri Reyhan yang Mira tidak mengerti.
Semakin mereka terjebak dalam pernikahan ini, semakin besar rahasia yang terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyesal
Reyhan keluar dari kantor Hendi dengan langkah berat.
Otaknya terus memutar ulang setiap kata yang baru saja ia dengar.
Mira tidak langsung mati.
Dia masih bernapas saat ditemukan.
Dia bisa diselamatkan.
Tapi tidak ada yang cukup cepat menyadarinya.
Dan sekarang… Reyhan harus hidup dengan kenyataan bahwa dia telah kehilangan wanita yang mencintainya dengan cara yang paling menyakitkan.
Reyhan menggenggam kunci apartemen Mira, erat. Ia melangkah masuk, tangannya bergetar saat menyentuh dinding. Dinding yang dulu menyaksikan Mira menghabiskan hari-harinya sendirian.
Ia berjalan pelan, melihat foto-foto kecil yang masih tertempel di meja kerja Mira.
Foto mereka.
Reyhan mengambil salah satunya. Itu adalah foto dari pernikahan mereka, Mira tersenyum cerah, sementara dirinya hanya menampilkan ekspresi dingin tanpa makna.
Dia tidak pernah benar-benar melihat senyum itu.
Dan sekarang dia tidak akan pernah melihatnya lagi.
Matanya bergerak ke arah meja rias. Ada banyak barang di sana, parfum yang sering dipakai Mira, sisir, lipstik favoritnya. Tangannya bergerak, menyentuh perlahan, seolah dengan menyentuhnya, ia bisa merasakan kehadiran Mira lagi.
Hingga matanya menangkap sesuatu.
Sebuah buku harian.
Tangannya terhenti. Jantungnya berdetak lebih cepat saat ia membuka lembar demi lembar, membaca tulisan Mira yang rapi.
> Hari ini aku kembali ditolak oleh Reyhan. Aku sudah mencoba segala cara, tapi dia masih membenciku. Haruskah aku menyerah?
> Tapi bagaimana bisa aku menyerah, jika hatiku selalu kembali padanya?
"Mira..." Tangannya bergetar.
Halaman demi halaman, isinya hanya tentang dirinya.
Tentang cinta Mira yang tak pernah berubah. Tentang harapannya yang perlahan memudar. Tentang betapa kesepiannya hidup seorang diri dalam pernikahan yang hanya ia perjuangkan sendiri.
> Reyhan, aku mencintaimu. Bahkan jika aku harus mati tanpa pernah mendengar kamu mencintaiku kembali, aku tetap akan mencintaimu.
Air mata Reyhan jatuh di atas halaman itu.
“Kenapa…?” bisiknya lirih, suaranya hampir tidak terdengar.
Kenapa Mira tidak pernah menyerah? Kenapa Mira tetap bertahan, bahkan ketika dia sendiri sudah tak sanggup?
Dan yang paling menyakitkan… Kenapa dia hanya menyadari semuanya setelah Mira pergi?
Reyhan menutup buku itu dengan tangan gemetar, lalu memeluknya erat di dadanya.
Air matanya jatuh tanpa henti.
Di apartemen yang dingin dan sunyi itu, Reyhan akhirnya menyadari bahwa ia telah kehilangan satu-satunya wanita yang benar-benar mencintainya.
Dan penyesalan itu… akan menghantuinya seumur hidup.
Reyhan semakin melangkah perlahan ke dalam apartemen Mira, setiap sudut ruangan terasa begitu asing sekaligus familiar. Napasnya berat, dadanya sesak seolah udara di dalam ruangan ini terlalu tebal untuk dihirup.
Tangannya menyusuri rak buku yang masih dipenuhi novel-novel favorit Mira. Jari-jarinya gemetar saat menyentuh setiap benda yang pernah disentuh Mira.
Di sana, di pojokan ruangan, ada sebuah selimut kecil berwarna biru muda. Selimut yang selalu dipakai Mira saat menunggu Reyhan pulang.
Di meja kerja, masih ada pena dan buku catatan yang terbuka. Reyhan menatapnya, lalu meraihnya dengan hati-hati. Halaman terakhir hanya berisi satu kalimat, yang ditulis dengan goresan tinta yang tampak tergesa-gesa.
> "Mungkin Reyhan memang tidak akan pernah memaafkanku, dan aku harus belajar menerima itu."
Reyhan menggigit bibirnya, menahan gemuruh di dadanya.
Kenapa?
Kenapa Mira harus merasa seperti itu? Kenapa Mira harus merasa tidak diinginkan, bahkan di saat terakhirnya?
Pandangannya mulai kabur karena air mata yang menggantung di pelupuk matanya, tetapi kakinya terus bergerak. Ia melewati lemari pakaian yang masih menyimpan gaun-gaun kesukaan Mira, mencium samar wangi parfum yang pernah menemaninya.
Setiap sudut ruangan terasa dipenuhi dengan bayangan Mira.
Seolah Mira masih di sana.
Seolah dia belum pergi.
Namun, langkahnya terhenti di depan pintu kamar mandi.
Pintu yang setengah terbuka itu terasa begitu mengundang dan mengancam di saat yang bersamaan. Dada Reyhan berdegup kencang, perasaan tak nyaman menjalari tubuhnya. Tapi dia harus masuk.
Dia harus tahu.
Dengan tangan gemetar, Reyhan mendorong pintu kamar mandi, berharap ini hanya kekhawatiran yang berlebihan. Tapi harapan itu segera runtuh begitu matanya menangkap bath up di depannya masih merah.
Airnya keruh, bercampur darah, seperti sebuah tragedi yang baru saja terjadi. Nafas Reyhan tercekat. Jantungnya seperti terhenti sejenak, lalu berdetak tak karuan. Tubuhnya mematung, sebelum mulai gemetar tanpa kendali.
"Ini... ini pasti ilusi," bisik Reyhan dalam hati, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Tapi kenyataan di depannya terlalu jelas, terlalu nyata. Lantai kamar mandi yang dingin membekukan, cahaya lampu yang redup seperti mempertegas aura suram itu, dan bau logam darah yang mengendap, membuatnya nyaris muntah.
"Mira..." Kepalanya pusing, tapi bayangan itu dengan tega terus menghantui.
"Mira... Aku bisa melihatnya," seolah dia masih di sana. Berendam di dalam bath up, pergelangan tangannya terkoyak, darahnya mengalir perlahan. Tatapannya kosong, begitu penuh kesepian.
Reyhan menutup matanya sejenak, tapi bayangan itu tak mau pergi. Ia bisa membayangkannya menangis pelan, tersedu dalam keheningan malam, memikul sesuatu yang terlalu berat untuk dia ceritakan.
Merasa tidak dicintai. Merasa tidak cukup berarti. Dan pada akhirnya… menyerah.
"Mira..." Kakinya mundur dengan sendirinya, tetapi keseimbangannya perlahan hilang, membuatnya terjatuh.
Dunia terasa goyah, berputar-putar tanpa arah, namun hanya ada satu hal yang terus terngiang di dalam pikiran, Reyhan gagal.
Ia telah gagal ada untuknya, gagal mendengarkan, gagal melihat luka yang dia sembunyikan.
"Mira... Kenapa aku tidak menyadarinya lebih awal?" desisnya lemah, hampir tak terdengar.
Reyhan mencengkeram rambutnya, rasa mual naik ke tenggorokannya. Dadanya terasa seperti dihantam batu besar.
Dia tidak bisa bernapas.
Dia ingin berteriak, tapi suaranya tertahan.
Tangannya mencakar lantai marmer, menyesali sesuatu yang sudah terlambat.
“Mira…” bisiknya, nyaris tak terdengar.
Bayangan Mira yang tersenyum lembut tiba-tiba muncul di kepalanya. Senyum yang dulu tidak pernah ia hargai, senyum yang dulu sering ia abaikan.
Dan sekarang, senyum itu hanya ada dalam ingatannya.
Reyhan terisak, air matanya jatuh tak terbendung.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa kehilangan sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan kembali.
Mira sudah pergi.
Dan tidak ada cara untuk mengubahnya.
Dengan tubuh gemetar, Reyhan merangkak ke arah bath up itu, menyentuh air yang masih tampak merah. Namun saat jarinya menyentuh permukaan air.
"Miranda... Maafka aku, tolong maafkan aku!"
"Betapa bodohnya aku, Mira," Reyhan mengangkat kepalanya.
Apakah ini caranya dihantui oleh semua dosa dan kejahatannya terhadap Mira?
Seketika, dia menutup wajahnya dan menangis dalam diam.
Dan di dalam ruangan itu, hanya ada penyesalan yang terus bergema.
Ditempat lain..
Mira duduk di kursi dekat jendela, tatapannya kosong menatap langit senja yang perlahan berubah gelap. Wajahnya pucat, tubuhnya lebih kurus dibanding sebelumnya, dan sorot matanya redup, seperti seseorang yang telah kehilangan harapan. Dia seharusnya sudah mati, tapi kenyataannya dia masih hidup.
Hendi, yang sejak tadi memperhatikannya, menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Mira, kamu bisa terus bersembunyi, tapi kenyataan tidak akan berubah."
Mira tidak menjawab. Tangannya mengepal di atas pahanya, menahan sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Hendi melanjutkan, "Reyhan sudah ke apartemenmu."
Mata Mira sedikit membesar, namun ia buru-buru mengalihkan pandangannya.
"Untuk apa?" suaranya terdengar parau.
"Untuk memastikan kau benar-benar tidak ada, dia ingin melihat semua barangmu, bahkan menangisi sketsa wajahnya yang pernah kau buat." jawab Hendi jujur.
Mira tersenyum miris. "Apa gunanya? Dia tetap tidak peduli padaku."
Hendi menghela napas. "Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ada di dalam kepala Reyhan. Tapi ada satu hal yang jelas, Mira... jika dia benar-benar membencimu, dia tidak akan datang ke apartemenmu dan menangisi peninggalanmu."
Mira menutup matanya, berusaha menahan emosinya.
"Lalu apa? Apa itu artinya dia mencintaiku? Jika dia mencintaiku, kenapa dia menyuruhku mati? Kenapa dia menghancurkan keluargaku? Kenapa dia membiarkan Ayah menderita seperti ini?" suaranya bergetar, dipenuhi rasa sakit.
Hendi menatapnya dengan penuh iba. Ia tahu, luka di hati Mira jauh lebih dalam daripada yang terlihat.
"Mira, ayahmu kritis, kamu benar-benar tidak peduli padanya?" kata Hendi akhirnya, mengubah topik pembicaraan.
Mira terdiam lama. Dadanya terasa sesak saat mendengar kabar tentang sang ayah. Sejak memilih untuk menghilang dan memalsukan kematiannya, Mira memang sudah bertekad untuk tidak kembali. Namun, ini tentang ayahnya.
Pria yang selalu mendukungnya.
Pria yang selalu menyayanginya, bahkan saat seluruh dunia menolaknya.
Air mata perlahan mengalir di pipinya.
"Aku ingin menemuinya..." ucapnya lirih.
Hendi tersenyum kecil. "Kalau begitu, ayo kita pergi ke rumah sakit."
Mira menatapnya ragu. "Tapi... bagaimana kalau Reyhan ada di sana?"
Hendi menatapnya serius. "Kalau kamu takut Reyhan menemukanku, aku bisa mencari cara agar kamu tetap tersembunyi."
Mira menggigit bibirnya, hatinya dipenuhi pergolakan yang sulit dijelaskan.
Akhirnya, ia mengangguk pelan. Bagaimanapun, dia tidak bisa membiarkan ayahnya pergi tanpa melihatnya untuk terakhir kali.
Bersambung...