Annisa Dwi Az Zahra gadis periang berusia 20 tahun yang memutuskan ingin menikah muda dengan lelaki pujaannya yang bernama Rian Abdul Wahab, namun kenyataan pahit harus diterima ketika sebuah tragedi menimpanya.
Akankah Nisa bertemu bahagia setelah masa depan dan impiannya hancur karena tragedi yang menimpanya?
"Kini aku sadar setelah kepergianmu aku merasa kehilangan, hatiku hampa dan selalu merindukan keberadaanmu, aku telah jatuh cinta tanpa kusadari" Fahri
"Kamu laki-laki baik, demi kebaikan kita semua tolong lepaskan aku, karena bertahan pun bukan bahagia dan pahala yang kita dapat melainkan Dosa" Nisa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝐈𝐩𝐞𝐫'𝐒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Sunguh Berbeda sekali
"Ayo silahkan duduk kita sarapan dulu, kalian udah kenalan belum? kenalin ini Rian anak ibu." Bu Widya mengenalkan Rian pada Nisa sambil melihat keduanya secara bergantian.
Sedangkan Rian yang ditanya sang ibu menggelengkan kepalanya sambil menarik kursi yang mau didudukinya.
"Kenalin saya Nisa om" Nisa lebih dulu mengulurkan tangan pada Rian sambil menunduk, Ia tidak berani menatap muka Rian yang kalem dan jarang terlihat ekspresinya itu.
Tapi entah kenapa sorot matanya yang teduh seperti mampu menembus jantungnya.
"Nah kan dipanggil om juga akhirnya, biar mikir kalau usianya sudah pantas buat mencari pendamping."
Ujar bu Widya yang hanya mampu berbicara dalam hati kemudian langsung membuang muka sambil mengulum senyum ketika Ia mendengar anaknya dipanggil om.
"Saya Rian. Dan tolong jangan panggil om, saya ini masih bujangan belum jadi om-om dan belum pernah nikah sama tantemu."
Rian kembali mempertegas bahwa Ia tidak mau dipanggil om sambil menerima uluran tangan Nisa.
Entah mempertegas tidak mau dipanggil om atau mempertegas statusnya yang masih belum punya pasangan, hanya Rian yang tau.
"I iya om mas" Jawab Nisa gugup sambil diiringi anggukan kepala kemudian menutup mulut karena lagi-lagi keceplosan manggil om.
Rian hanya membuang nafas kasar mendengar jawaban Nisa kemudian Ia duduk dan mengambil piring yang sudah terisi nasi goreng buatan ibunya, Ia sarapan dengan cepat tanpa bersuara.
"Ayo nak sarapan dulu, sengaja tadi ibu bikin nasi goreng banyak pas tau Caca mau kesini." Bu Widya menyodorkan piring nasi goreng kehadapan Nisa.
"Nisa udah sarapan bu dirumah tadi sebelum berangkat, karena ayah mewajibkan sarapan dulu sebelum aktivitas apalagi mau kerja, kalau tidak sarapan pasti tidak dapat ijin keluar rumah walaupun mau kerja." Nisa menjelaskan panjang lebar aturan sang ayah dirumahnya.
"Yaah padahal ibu sudah senang mau sarapan bareng, yasudah tapi jangan pergi dulu ya, temenin ibu sama Rian sarapan sekalian nanti ibu bawain bekal untuk makan siang, anggap saja sebagai gantinya karena tidak sarapan disini." Titah Bu Widya pada Nisa tanpa mau ditolak.
"Iya bu Nisa tungguin, ibu sarapannya tidak usah buru-buru, Nisa mulai ngajar jam kedua kok hari ini datangnya telat juga tidak apa-apa kalau cuma sekali."
Nisa menenangkan bu Widya, Ia merasa tidak enak karena sudah menolak diajak sarapan.
"Ibu sejak kapan jadi pemaksa gini?" tanya Rian keheranan yang menyaksikan ibunya memaksa Nisa buat menungguinya sarapan, Ia bangkit dari duduknya sambil membawa piring kosong ke arah wastafel.
"Tidak apa-apa om eh kak mas, saya tidak buru-buru kok."
Nisa membela bu Widya, supaya tidak dipertanyakan lagi oleh Rian, Ia menggigit bibirnya kesal sendiri karena panggilan om terus Ia pakai, padahal Rian sudah dua kali menegaskan tidak mau dipanggil om.
"Ya Allah tolong hambaMu ini yang memiliki bibir susah untuk dikendalikan, semoga om Rian memiliki hati seluas samudera dan terus bisa memaafkan hamba.
Tapi tadi saja aku sudah ditegur dua kali dan barusan memanggilnya om yang ketiga kalinya, aku takut digetok mana orangnya dingin banget, hiks.
Ini gara-gara Adit sih manggil om jadinya aku ikut-ikutan juga."
Nisa menggerutu dan menjerit meminta pertolongan yang hanya mampu terucap dalam hati.
"Itu Cacanya saja tidak keberatan kok nungguin ibu." Ujar bu Widya pada Rian yang sudah kembali duduk di kursinya sambil mengelap mulut memakai tissue.
"Itu bocah kenapa dari tadi sering bengong sendiri kayak orang kesambet padahal lagi ada orang, gimana kalau sendirian.
Waktu sama Adit periang sampai-sampai terus menertawaiku sekarang pendiam, ini aslinya yang mana? karakternya sungguh berbeda sekali bikin orang bingung, tapi masih kelihatan polos dan kekanakkan."
Gumam Rian kebingungan dalam hati, Ia memperhatikan Nisa melalui sudut matanya sekilas-sekilas.
Dan gerak gerik Rian tak luput dari perhatian Bu Widya yang kemudian tersenyum samar.
"Bu. Ri berangkat sekarang, mba Nina sebentar lagi sampai barusan ngechat ngasih tau sudah didepan komplek tapi mampir dulu ke Yom*rt mau ada yang dibeli katanya."
Rian pamit pada ibunya dan memberitahu kalau sepupunya yang bernama Nina sebentar lagi sampai, Ia beranjak berdiri kemudian mencium tangan sang ibu.
Tanpa diduga tiba-tiba Nisa berdiri dan mengulurkan tangan menyalami Rian dan mencium punggung tangannya.
"Cup" Rian kaget dan seketika mematung, ketika punggung tangannya ditempeli benda kenyal dan sedikit lembab.
Seumur-umur dalam hidupnya baru kali ini Ia diperlakukan seperti itu oleh seorang perempuan yang sudah baligh.
Karena selama ini yang suka mencium tangannya hanya Naina sang keponakan kesayangan yang berusia belum genap 2 tahun.
Ia tidak tau entah rasa apa yang tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhnya dan membuat kulitnya seperti tiba-tiba panas.
"Assalamu'alaikum..."
Genggaman tangan dua insan berbeda jenis yang sempat menempel beberapa detik dan sepertinya tidak begitu disadari Nisa tiba-tiba terlepas, ketika ada suara salam dari arah pintu depan kemudian seorang perempuan masuk kedalam rumah.
Nisa langsung melepaskan genggaman tangannya setengah dilempar seperti orang habis menyentuh benda yang menggelikan.
"Astaghfirullah haladzhim, maaf om barusan aku reflek, berasa dirumah yang pamit Aa, maaf."
Nisa mengatupkan kedua tangannya didada meminta maaf pada Rian dengan wajah yang memerah seperti tomat, karena menahan malu.
"Tidak apa-apa, cuma lain kali ingat dulu kejadian awalnya gimana jangan main lempar saja seperti korban yang dipaksa, padahal pelaku." Rian mengingatkan setengah menyindir Nisa kemudian melengos pergi tanpa menyapa Nina sepupunya yang baru datang dan pamit lagi pada sang ibu.
Sedangkan Bu Widya dan Nina hanya bengong menyaksikan Rian dan Nisa yang terlihat seolah-olah seperti pasangan suami istri yang sedang merajuk.
Bu Widya langsung menyapa Nina dan bertanya kabar untuk mengalihkan perhatian Nina terhadap Nisa.
Ia tidak ingin membuat Nisa merasa malu karena ada yang memperhatikan kejadian konyol yang dialaminya, jadi lebih baik pura-pura tidak melihatnya.
"Ca, kenalin ini mbak Nina, keponakan ibu sepupunya Rian." bu Widya mengenalkan Nina pada Nisa dan kemudian Nisa dan Nina pun saling bersalaman dan memperkenalkan diri masing-masing.
"Bu, mbak Nina, Nisa pamit dulu ya sudah siang, Insya Allah kapan-kapan kalau ada waktu Nisa kesini lagi."
Setelah berbincang sebentar dengan Nina dan bu Widya.
Akhirnya Nisa berpamitan karena melihat jam yang menempel di dinding diatas tv sudah menunjukkan jam 07.40
"Iya sayang, sebentar dulu ibu mau ngambil jam tangannya sama bekal yang tadi untuk makan siang."
Bu Widya bergegas mengambil jam tangan Nisa dilaci yang ketinggalan kemarin, kemudian mengambil kotak bekal yang sudah Ia sediain.
Ia menghampiri Nisa dan menyerahkan jam serta kotak bekalnya.
"Hati-hati ya dijalan dan jangan lupa bekalnya dimakan, kabarin ibu kalau sudah sampai."
Bu Widya mewanti-wanti Nisa supaya hati-hati dijalan.
Ia mengelus kepala Nisa yang tertutup pashmina dengan penuh sayang, ketika Nisa mencium tangannya.
"Terimakasih banyak ibu, entah kebaikan apa yang sudah Nisa perbuat hingga dipertemukan dengan orang baik seperti ibu." Nisa merasa terharu dengan sikap dan kebaikan Bu Widya, padahal baru kenal 2 hari tapi Ia sudah seperti sosok kedua ibunya, penuh perhatian dan kasih sayang yang tulus.
Bu Widya menarik tangan Nisa kemudian memeluknya dengan erat, mencurahkan segala rasa kerinduan terhadap anak perempuannya.
Setelah beberapa saat saling mencurahkan rasa.
Akhirnya Bu Widya mengurai pelukannya karena Ia sadar waktu terus berputar dan beranjak siang.
Nisa pun beralih cipika cipiki pada Nina.
"Assalamu'alaikum" Setelah memakai helm dan naik ke atas motor maticnya, Nisa mengucap salam sambil melambaikan tangan, yang langsung dijawab dengan kompak oleh Bu Widya dan Nina.
"Yasallam aku malu banget tadi, Nisa kenapa atuh kamu teh, ada apa? kenapa malah mempermalukan diri sendiri pakai acara cium tangan segala, hiks... ibuuu tolong Nisa.
Untung Bu Widya orang baik tidak seperti anaknya yang menyebalkan, aku mencium tangannya kan gak sengaja, bukannya senang ada yang mau cium tangan sama jones. Nyesal aku waktu itu bilang ganteng.
Aku sumpahin kepalanya kejedot meja!! huft.
Tapi jangan kencang-kencang sih, kasian.
Sepanjang perjalanan Nisa menggerutu, kesal pada diri sendiri dan Rian yang menurutnya begitu menyebalkan.
🍁
Jedukk
"Aww, astaghfirullah haladzim" Rian mengusap-usap kepalanya yang kejedot sudutan meja ketika hendak bangkit sehabis mengambil pulpen yang jatuh ke kolong mejanya.
🍁🍁🍁🍁🍁
jagain fahri atuhhh
masih membanggongkan ceritanya😯