NovelToon NovelToon
Mengejar Cinta Gasekil (Gadis Seratus Kilo)

Mengejar Cinta Gasekil (Gadis Seratus Kilo)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Karena Taruhan / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Idola sekolah / Cintapertama
Popularitas:20.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

Raska adalah siswa paling tampan sekaligus pangeran sekolah yang disukai banyak gadis. Tapi bagi Elvara, gadis gendut yang cuek dan hanya fokus belajar, Raska bukan siapa-siapa. Justru karena sikap Elvara itu, teman-teman Raska meledek bahwa “gelar pangeran sekolah” miliknya tidak berarti apa-apa jika masih ada satu siswi yang tidak mengaguminya. Raska terjebak taruhan: ia harus membuat Elvara jatuh hati.

Awalnya semua terasa hanya permainan, sampai perhatian Raska pada Elvara berubah menjadi nyata. Saat Elvara diledek sebagai “putri kodok”, Raska berdiri membelanya.

Namun di malam kelulusan, sebuah insiden yang dipicu adik tiri Raska mengubah segalanya. Raska dan Elvara kehilangan kendali, dan hubungan itu meninggalkan luka yang tidak pernah mereka inginkan.

Bagaimana hubungan mereka setelah malam itu?

Yuk, ikuti ceritanya! Happy reading! 🤗

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

27. Konsultasi

Asep berlari kecil menuju belakang sekolah, ngos-ngosan seperti habis sprint 100 meter.

“Bro! Bro! Parah, Roy barusan nongol di perpustakaan. Dia ngomong sama Elvara!”

Vicky yang baru datang sambil merapikan rambut langsung mengangkat alis, gaya sok paham seperti biasa.

“Wah, ini fix. Dia pasti mau ngibulin Elvara. Kejadian kemarin di vila 'kan bikin semua orang heboh. Dia takut Elvara mulai naksir lo, Ras.”

Gayus ikut bersuara sambil menyilangkan tangan, nada ilmiahnya muncul.

“Menurut analisis perilaku, Roy sebelumnya nol interaksi sama Elvara. Tapi setelah taruhan dan kejadian kemarin, stimulus ketakutan kalah mulai muncul. Jadi sangat mungkin dia melakukan pendekatan preventif, alias mulai panik.”

Asep langsung mengangguk cepat. “Nah itu! Dia panik, Bro. Baru liat Lo nyelametin Elvara dikit aja udah gemeter.”

Vicky menambahkan sambil terkekeh, “Playboy kelas menengah aja gak sepanikan itu, sumpah.”

Raska hanya tertawa pendek. Dingin, datar, tanpa senyum.

Bukan tawa senang. Tapi tawa sinis yang menyiratkan satu hal: ia tahu betul siapa Roy.

“Dari awal dia yang paling yakin bakal menang,” gumam Raska. “Dan sekarang baru permulaan aja dia udah ketakutan begitu.”

Tiga komentator saling pandang.

Asep berubah serius. “Bahaya nih, Bro. Orang takut kalah biasanya nekat.”

Gayus mengerutkan dahi. “Secara ilmiah, orang terdesak menghasilkan keputusan impulsif.”

Vicky menghela napas berat. “Ya intinya, dia bakal makin ribut.”

Raska menyelipkan tangan ke saku, ekspresinya kembali datar.

“Biarin. Gue lihat sejauh apa dia berani.”

***

Ruangan itu sunyi. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan.

Dokter Wira meletakkan pulpen, menatap Raska dengan tenang, tatapan yang sudah ia kenal selama bertahun-tahun.

“Raska… sebelum kita mulai, apakah mimpi buruknya masih muncul?”

Raska tidak langsung menjawab.

Ia bersandar, menegakkan punggung seolah menjaga jarak.

Lima detik.

Enam.

“…Masih.”

Dokter Wira mengangguk perlahan. “Frekuensinya meningkat, tetap, atau berkurang?”

Untuk pertama kalinya sejak duduk, Raska mengalihkan pandangan. Gambar itu kembali menghantam: Elvara pucat, tak bergerak…

Persis seperti ibunya.

Ia menelan ludah.

“Masih tetap. Tapi… kemarin itu… mirip.”

Alis Dokter Wira naik sedikit. “Kemarin?”

Raska menarik napas panjang. Napas orang yang tidak ingin bicara, tetapi tahu ia harus bicara.

Ia kemudian menceritakan kejadian di kolam renang. Tanpa drama, tanpa suara bergetar. Tapi jemarinya yang menggenggam lutut menunjukkan semuanya.

Dokter Wira mencatat beberapa baris. “Mirip bagian mana, Raska?”

Raska mengepalkan tangan kuat-kuat hingga buku jarinya memutih.

Ia tidak suka membuka isi kepalanya, terlalu banyak hal gelap di sana. Namun setiap ia menutup mulut, dadanya seperti ditekan dari dalam.

“Wajah Elvara… dingin. Pucat. Sama kayak… waktu itu.”

Dokter Wira berhenti menulis. “Waktu kamu menemukan Mama kamu?”

Kata itu seperti memukul tenggorokan Raska. Ia mengangguk pelan, rahangnya mengeras.

“Aku takut terlambat lagi.”

Dokter Wira menghela napas, pendek, terukur, bukan kasihan, tapi paham.

“Raska… kamu sudah menyebut itu berkali-kali. Perasaan bersalah. Takut kejadian terulang. Tapi kamu harus ingat: waktu itu kamu baru sepuluh tahun.”

Raska menatap lantai, bahunya menegang. “Siang itu… mereka ribut. Papa bilang Mama jadi orang lain. Papa… nuduh macam-macam. Aku dengar semuanya.”

Hening sejenak.

“Terus malamnya—”

Suara Raska patah. Ia memejamkan mata.

“…Aku yang nemuin beliau.”

Ruangan terasa semakin sunyi. Jam dinding berdetak makin keras.

Dokter Wira menatapnya lembut, tapi tajam. “Itu bukan salah kamu. Kamu tidak bertanggung jawab atas kematian Mama kamu.”

Raska mengerjap. Pengakuan itu sudah ia dengar puluhan kali. Namun ia selalu menolaknya dalam diam.

Dokter Wira melanjutkan, lebih hati-hati. “Dan reaksi kamu ke Elvara… sangat wajar. Otakmu menghubungkan situasinya. Itu pemicu trauma.”

Raska menarik napas gemetar yang berusaha ditahan agar tak terdengar.

“Aku benci rasa ini… tapi aku gak bisa hilangin.”

“Karena trauma tidak hilang dengan paksa,” jawab Dokter Wira. “Itu sebabnya kamu terapi. Kamu belajar bertahan.”

Raska mengembuskan napas. Lelah, seperti ada beban besar di punggungnya.

Hening beberapa detik sebelum Dokter Wira berkata dengan nada berbeda, lebih serius.

“Raska, boleh aku tanya sesuatu?

Kenapa kejadian dengan Elvara membuatmu lebih terguncang… dibanding semua kejadian sebelumnya?”

Rahang Raska mengeras.

“…Aku gak tahu.”

“Kamu tahu.” Nada Dokter Wira lembut, tapi tak memberi ruang kabur.

Ada lima detik jeda.

Enam.

Akhirnya, dengan suara rendah yang terdengar seperti pengakuan paling berat: “Aku takut kehilangan dia.”

Dokter Wira tidak kaget. Ia hanya mengangguk pelan. “Seseorang yang kamu pedulikan… membuka pintu paling lebar menuju trauma kamu. Itu manusiawi, bukan kelemahan.”

Raska memejamkan mata sesaat, menenangkan napas yang tak stabil. “Apa aku bisa sembuh?”

“Bisa,” jawab Dokter Wira mantap.

“Tapi butuh waktu. Dan butuh keterusterangan… terutama pada dirimu sendiri.”

 

Saat sesi berakhir, dokter berkata pelan tapi tegas:

“Raska… kamu tidak harus menyelamatkan semua orang hanya karena kamu gagal di masa lalu.”

Raska menatap meja, suaranya hampir tak terdengar. “Tapi setidaknya… aku gak mau gagal lagi.”

Dokter Wira memandangnya lama. Ada kekhawatiran yang jelas. Karena kalimat itu berarti satu hal:

Trauma Raska belum pulih.

Ia hanya belajar hidup sambil membawa luka yang tak pernah benar-benar sembuh.

***

Roy mengetuk pintu ruang kerja Nata dengan sedikit keras. Lebih keras dari yang sopan, tapi ia menahannya agar terlihat wajar.

Tok. Tok. Tok.

“Masuk,” suara Nata datar tanpa menoleh dari dokumen-dokumennya.

Roy masuk, mencoba tersenyum meski wajahnya penuh kesal. “Pa… aku boleh ngomong sebentar?”

Nata baru mengangkat wajah. Singkat, dingin, sibuk. “Cepat. Papa ada meeting.”

Roy menelan ludah. Ia melangkah mendekat sambil menahan kekesalan yang hampir meledak.

“Aku mau minta motor sport, Pa.”

Nata menutup map dokumen. “Untuk apa?”

Roy mencoba terlihat wajar, padahal nada suaranya jelas iri. “Ya… 'kan Kak Raska punya. Dia punya mobil, punya motor juga. Masak aku enggak? Aku cuma… pengen punya kendaraan sendiri, Pa. Biar gak terus dianter sopir.”

Nata menghela napas pelan. Napas orang yang sudah sering mendengar permintaan serupa.

“Dana bulanan kamu cukup untuk nabung. Papa sudah bilang.”

Roy mengepalkan tangan. “Tapi Pa… motor sport itu mahal. Kalau aku nabung dari uang jajan, setahun dua tahun baru bisa kebeli. Kan ribet. Kenapa gak Papa beliin aja?”

Nata menatapnya lama, tanpa emosi. “Kalau kamu benar-benar mau, kamu nabung. Kalau tidak bisa nabung untuk membeli motor, berarti kamu tidak siap bertanggung jawab punya motor.”

Roy menggertakkan gigi. “Tapi Kak Raska langsung bisa punya!”

Nada Nata langsung menajam. Dingin.

“Raska beli motornya dengan uang tabungan sendiri. Papa tidak mengeluarkan sepeser pun.”

Roy terdiam. Itu memukul egonya.

Nata menambahkan, tetap datar tapi tegas. “Kalau kamu juga ingin sesuatu, lakukan dengan cara yang sama. Usaha. Bukan minta.”

Wajah Roy memerah. Emosi naik, tapi ia masih menjaga nada bicara. “Papa tuh pilih kasih… semuanya selalu buat Raska!”

Nata perlahan berdiri. Roy refleks mundur setengah langkah.

“Roy.”

Hanya dipanggil namanya saja, tapi cukup menusuk.

“Kamu minta motor hanya karena kakakmu punya. Bukan karena kamu butuh. Itu namanya iri.”

Roy mengatupkan bibir, terbakar malu tapi tidak berani membantah.

“Belajarlah bekerja untuk sesuatu yang kamu inginkan. Papa tidak akan memberi motor sport. Titik.”

Nata kembali duduk dan membuka dokumen, jelas mengakhiri percakapan.

“Kalau hanya itu, kamu boleh keluar.”

Roy menggenggam gagang pintu dengan tangan bergetar. Bibirnya menegang, rahang mengeras.

Sekali lagi, Raska menang, dia kalah.

Dan kebencian itu tumbuh semakin pekat.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

1
anonim
Laporan Asep tentang Roy di perpustakaan - ngomong sama Elvara - juga omongan Vicky, Gayus juga Asep, ditanggapi Raska hanya dengan tawa sinis. Bagi Raska - Roy bukan ancaman.

Raska selama ini berarti berusaha sendiri mengatasi masalah traumanya dengan konsultasi ke dokter Wira.

Tanya jawab antara dokter Wira dengan Raska - kesimpulannya - trauma Raska belum pulih.

Ya betul itu pak Nata, Roy iri terhadap Raska. Kalah segala-galanya maka mau mencurangi kakak tirinya.
Kyky ANi
kasian Raska,, kira2 dia minum obat apa ya,,,
anonim
Elvara menceritakan kronologi insiden dia dan Bella jatuh ke kolam.

Raska...yang tahu sengaja atau tidak sengaja nabrak - ya Bella.

Elvara pribadi yang baik, tidak mau menuduh. Tapi yang pasti kamu sengaja di tabrak Bella - biar kamu jatuh ke dalam kolam. Bella mungkin tidak menyangka ketika nabrak kamu - dirinya mental - kecebur juga 😄.

Elvaraaaaaa...jujur amat 😂.

Tuh lihat reaksinya trio komentator 😂.

Raskaaaaa....jujur juga 😂👍🏻👍🏻.

Trio komentator langsung meledak ibaratnya sedang menyaksikan tanding sepak bola jagoannya tembus gawang 😄.

Raska kupingnya memanas - Elvara biasa...tanpa ekspresi bergumam - "Drama banget kalian." 😄.

Weeeeh Bella nguping.
Waduh masih ada lain kali - rencana jahat apa lagi Bella ??

Bella mimpimu cuma mimpi - mana ada jadi kenyataan - Raska tidak mungkin pilih kau.
Puji Hastuti
Lanjut kk, maki keren
anonim
Raska sedang tidak baik-baik saja. Bayangan masa lalu yang muncul dalam mimpinya menjadikan terbangun, jadi kurang tidur.

Tiga temannya mengkhawatirkan kondisi Raska. Mereka bertiga peduli - kalimat yang keluar dari masing-masing cukup menghibur. Yang di rasa Raska ketegangan sedikit melonggar - menggeleng halus, bergumam lirih - "...kalian emang nyebelin." Ini bentuk ungkapan Raska yang "POSITIF," terhadap ke tiga temannya yang selalu ada untuknya.

( ***Ini Author mesti bikin cerita kelanjutan mereka berempat sampai masing-masing punya keluarga, pertemanan berlanjut 😄. )

Roy mimpinya ketinggian.

Elvara masih seperti biasa yang dilakukan ketika jam istirahat. Duduk di bawah pohon, membaca buku, sambil ngemil - kripik.
Kyky ANi
Raska beruntung punya teman yang setia dan selalu mengerti dia,, walaupun kadang selalu nyeselin,,
Cicih Sophiana
semoga pak Nata punya pikiran untuk tes DNA si Roy...
Anitha Ramto
Semoga Raska cepat sembuh dari troumanya...

dan semoga si Roy selalu gagal dalam semua hal😄
Anitha Ramto
Good El....kamu tidak terpengaruh oleh omongan si Roy yang manipulatif itu...
Fadillah Ahmad
Lanjutkan Kak Nana... 🙏🙏🙏😁

Aku Sudah menduga, novel ini beda dari yang sebelumnya. Novel kali ini, selain memberikan pelajaram tentang ketulusan cinta, juga ada melibafkan Para medis juga.

Seperti Dokter Wira, Dokter Pesikiater Raska, Karen itu sangat mengguncang kejiwaan Raska, yang telah dia tanggung sejak usia 10 tahun. Untung saja Raska berusaha berobat, jika tidak, penyakitnya makin parah dan membuat tempramen Raska meningkat, yang bisa-bisa membuat dia tidak bisa tidur nyenyak, dan itu bisa mebuat dia menjadi emosional, bahkan mungkin bisa melempar barang-barang di Apartemen nya, jika sudah parah.

Mantap kak Nana... 🙏🙏🙏😁
Siti Jumiati
lanjut kak
Fadillah Ahmad
Apakah Dokter Wira nih adalah Dokter Pesikiater Raska kah kak? Sejak kapan itu kak Nana? 🙏🙏🙏😁
🌠Naπa Kiarra🍁: Iya. Udah lama, Kak.
total 1 replies
Fadillah Ahmad
Lanjutkan Kak Nana... 🙏🙏🙏😁
septiana
mau bagaimana pun usaha mu kau akan tetap kalah dari Raska kalau hanya mengandalkan ego dan iri dengki..
Fadillah Ahmad
Maaf kak 🙏🙏🙏 ini Juga tidak ada tanda kutipnya kak 🙏🙏🙏 Mohon di revisi ya kak Nana 🙏🙏🙏😁
🌠Naπa Kiarra🍁: Siap, Kak🤗🙏
total 1 replies
Fadillah Ahmad
Maaf kak Nana... 🙏🙏🙏 Tanda Kutipnya nggk ada nih kak 🙏🙏🙏
Fadillah Ahmad
Apa? Lain kali? Jadi, kamu masih belum kapok juga ya? Ha? Wah, nggk ada otak nih cewek! 🤬🤬🤬
Hanima
oo irian jaya 🤭
Diana Dwiari
Weh,anak tiri yg ga tau diri....manja....apa2 minta
Endang Sulistiyowati
Usaha Roy kalo mau sesuatu, jangan numpuk iri dengki dengan ketidakmampuanmu itu.

Kasian Raska, mungkin dia butuh teman yg tulus mengerti supaya dia mau membuka diri, bercerita, supaya traumanya perlahan sembuh. Semangat Raska..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!