"Aku hamil."
Savanna yang mendengar sahabatnya hamil pun terkejut, dia menatap sahabatnya dengan tatapan tak percaya.
"Dengan Darren , maaf Savanna."
"Nadia, kalian ...." Savanna membekap mulutnya sendiri, rasanya dunianya runtuh saat itu juga. Dimana Darren merupakan kekasihnya sekaligus calon suaminya telah menghamili sahabatnya.
***
"Pergi, nikahi dia. Anggap saja kita gak pernah kenal, aku ... anggap aku gak pernah ada di hidup kalian."
Sejak saat itu, Savanna memilih pergi keluar kota. Hingga, 6 tahun kemudian Savanna kembali lagi ke kota kelahirannya dan dia bertemu dengan seorang bocah yang duduk di pinggir jalan sedang menangis sambil mengoceh.
"Daddy lupa maca cama dedek hiks ... dedek di tindal, nda betul itu hiks ..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gibran membongkar semuanya
Darren kembali ke dalam ruang rawat Gibran dengan perasaan tak menentu, dirinya kembali bertemu dengan sang pujaan hati. Namun, dirinya di benci oleh orang yang ia cintai.
Sakit? tentu saja. Hati Darren sangat remuk saat ini, mendapati Savanna menatapnya dengan sorot mata penuh kebencian. Tidak seperti dulu, menatapnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
"Daddy,"
Darren mengangkat wajahnya, dia menatap Gibran yang kini menatapnya dengan kening mengerut. Seketika Darren mengusap kasar wajahnya, dia hampir saja melupakan masalah putranya.
"Gibran butuh apa?" Tanya Darren. Pasalnya, tadi Gibran tertidur setelah minum obat. Namun, tak di sangka anaknya itu terbangun.
"Daddy sedih?" Tanya Gibran menatap Darren yang duduk di kursi samping brankar.
"Im fine." Sahut Darren saat putranya bertanya apakah dia sedih.
"Solly daddy, dedek buat daddy sedih." Sesal Gibran sambil melengkungkan bibirnya kebawah.
Darren dengan panik pun bangkit dari duduknya, dia beralih duduk di tepi brankar dan memangku putranya.
"No, jangan menangis baby. Daddy hanya kepikiran dengan kondisi mu saja," ujar Darren menenangkan.
"Solly daddy," ujar Gibran.
"Kenapa kau terus mengucap sorry? daddy tidak akan memaafkanmu sebelum kamu sembuh, oke. Kamu harus sembuh," ujar Darren dan memeluk putranya dengan hati-hati.
Gibran memeluk daddynya, di saat dirinya sakit sebelumnya Darren tak pernah merawatnya sampai seperti ini. Bahkan, Darren selalu menitipkannya pada pengasuh itu.
"Daddy, jangan titipin dedek dan abang cama bibi. Dedek takut, mau cama daddy aja hiks ... Dedek janji nda lewel, nda nanis nda nakal duga. Tapi janan titipin cama bibi. Solly daddy, dedek nda mau cakit tapi badan dedek yang cakit cendili,"
Deghh!!
Inikah alasan putranya menahan sakit? Apakah senyum ceria yang putranya tunjukkan hanyalah untuk menutup lukanya? setiap putranya sakit, dia selalu menitipkannya pada pengasuh. Sedangkan dirinya sibuk bekerja dan hanya sesekali menengok.
Darren pikir, uang sudah menutupi kebahagiaan putranya. Namun, uang yang ia kejar itu ternyata membawa kesengsaraan bagi putranya.
"Dedek janji bakal cembuh, tapi daddy aja yang lawaaaatt hiks ... janan cama bibi hiks ... dedek takuuuttt hiks ....,"
Air mata Darren terjatuh mulus di pipinya, tangannya menangkup pipi putranya dan menatap kedua mata sang putra dalam.
"Kasih tau daddy, apa dia melukaimu? apa dia memukulmu? Bilang sama daddy,"
Gibran menggeleng, mulutnya terkunci. Dirinya takut membongkar kebusukan pengasuh itu karena ancaman tersebut.
"Bilang sama daddy, jika Gibran bilang daddy janji akan memecatnya dan kalian tidak akan pernah bertemu dengannya lagi." Tegas Darren.
"Plomis?" Tanya Gibran dengan sorot mata yang tak dapat terbaca.
"Ya!" Yakin Darren.
Gibran tertunduk dalam, ancaman pengasuh itu membuat mentalnya menciut seketika. Gibran hanyalah seorang anak kecil, ancaman orang dewasa membuatnya takut. Namun, ketika dia mendapat dukungan dari Darren. Seketika keberaniannya pun muncul.
Sejenak, Gibran melirik tempat tidur tambahan di sebelahnya. DI sana terdapat Gabriel yang sedang tertidur sambil memeluk bukunya.
"Hei, jangan melihat abang. Lihat saja daddy, jawab pertanyaan daddy yang tadi. Apa yang dia lakukan dengan kalian?" Tanya Darren dengan hati-hati.
Gibran akan menceritakannya, Darren pun berinisiatif mengambil ponselnya dan merekam percakapannya dengan sang putra.
"Dia celing pukul dedek dan abang kalau tidak menulut, abang jal4ng di pukul kalena abang celalu menulut. Iya, dedek nakal kalna tidak menulut. Tapi, dia pukulna kenceng cekali. Di cubit pipina teluc di putel duga. Pelnah, Dedek gak cengaja nompol di kacul. Dia talik tangan dedek telus dolong ke kamal mandi. Cini dedek kenak pinggilan bak kamal mandi." Gibran kemudian mengangkat baju pasien nya dan menunjukkan sebuah luka yang ia terima. Luka yang sama persis seperti hasil rontgen tadi pagi.
Itu tandanya Dimas benar, jika luka itu bukan hanya sekedar pukulan biasa. Bahkan, posisi tulang anaknya sampai bergeser. Itu tandanya, ada hal yang lebih kasar yang pengasuh itu lakukan.
"Dia ancam dedek cama abang, kalau bilang daddy dia bakal pukul kita. Dedek takut, daddy jal4ng pulang jadina kita takut bilang." Cicit Gibran.
Darren mematikan rekaman, dia memeluk putranya lagi. Rasa kegagalan sebagai seorang ayah menyeruak dalam hatinya.
"Maaf, daddy telah gagal menjaga kalian. Maafkan daddy sayang." Lirih Darren.
Darren melepas pelukannya pada sang putra, dia kembali membaringkan Gibran sebab takut terjadi sesuatu pada tulang belakang putranya.
"Jangan banyak gerak, besok adek akan melakukan terapi. Jangan takut, om Dimas akan menemani adek nanti hm." Ujar Darren sambil mengusap kepala putranya.
"Tidurlah, masih jam sebelas malam." Titah Darren.
Gibran mengangguk, dia kembali memejamkan matanya. Darren pun menepuk paha putranya agar segera tertidur.
Malam itu, Darren bahkan kesulitan untuk tidur. Dia sedang merancang rencana bagaimana caranya agar pengasuh itu bisa dia jebloskan ke dalama jeruji besi.
"Aku tidak peduli, sebanyak apapun uang yang akan aku keluarkan demi hak putraku." Batin Darren dengan sorot mata yang tajam.
***
Pagi hari, ruangan Gibran di datangi oleh kedua polisi dan pengacara khusus yang Gibran sewa. Mereka tengah mencari bukti dan pengakuan bocah itu.
"Oh ya, om boleh tanya sesuatu tidak?" Tanya seorang pengacara Gibran yang bernama Tuan Will.
Gibran yang tengah memainkan mainan mobilannya pun mengangguk setuju, Tuan Will segera mengeluarkan alat perekam suara dan ia letakkan dekat dengan anak itu.
"Gibran punya pengasuh? boleh om tahu seperti apa dia?" Tanya Tuan Will.
"Ooo om tanya cama daddy caja, tadi malem dedek udah kacih tau daddy. Panjang celitana, dedek capek ngomongna," ujar Gibran dengan acuh.
Tuan Will terkekeh gemas, dia mengacak rambut Gibran membuat sang empu kesal. Tatapan Tuan Will pun beralih menatap Darren yang tengah berbicara dengan kedua polisi.
"Maaf tuan, apakah semalam putra anda menceritakan sesuatu?" Tanya Tuan Will bergabung bersama ketiganya.
"Iya, oh aku juga merekamnya. Sebentar," ujar Darren dan menyerahkan ponselnya.
Tuan Will mendengar kan perkataan polos anak itu, seketika senyumnya mengembang. Dia telah menemukan banyak bukti untuk menjatuhkan pengasuh itu dengan hukuman yang berat.
"Ada lagi?" Tanya Tuan Will.
"Bukti Visum, sedang di proses oleh temanku. Sore ini akan keluar," ujar Dareen.
"Selain itu, apakah ada CCTV?" Tanya Tuan Will kembali.
"Tidak, aku tidak menaruh CCTV di kamarnya. Hanya di depan kamar saja dan tempat-tempat yang penting." Jawab Darren.
Tuan WIll mengangguk sambil tersenyum, dia meletakkan ponsel Darren kembali dan menatap wajah Darren dengan serius.
"Bagaimana bisa anda memasang CCTV pada sebuah harta, sedangkan buah hati anda di percayakan dengan orang asing?" Tanya Tuan Will membuat Darren tertunduk.
"Maaf, anda tidak bisa mencari kesalahan klien anda tuan Will." Sahut seorang polisi.
"Kita sama-sama sebagai seorang ayah, tentu tahu jika harta yang paling berharga adalah keluarga kita. Meninggalkan anak sekecil mereka dengan seorang pengasuh dan menyerahkan padanya hak penuh atas mereka adalah kesalahan yang fatal." Sarkas Tuan Will.
Tuan Will merupakan pengacara terkenal, banyak kasus korban kekerasan, penganiayaan yang dia menangkan. Dirinya tak menerima kasus kejahatan, sebab dirinya sudah memiliki prinsip. Bahwa menjadi pengacara, dia ingin agar negaranya terbebas dari penjahat.