Mira tiba-tiba terjebak di dalam kamar hotel bersama dengan Angga—bosnya yang dingin, arogan, dan cuek. Tak disangka, setelah kejadian malam itu, hidup Mira benar-benar terbawa oleh arus drama rumah tangga yang berkepanjangan dan melelahkan.
Mira bahkan mengandung benih dari bosnya itu. Tapi, cinta tak pernah hadir di antara mereka. Namun, Mira tetap berusaha menjadi istri yang baik meskipun cintanya bertepuk sebelah tangan. Hingga suatu waktu, Mira memilih untuk mundur dan menyudahi perjuangannya untuk mendapatkan hati Angga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SUDAH BERCINTA
"HRRR HRRR HRRR ...."
Suara dengkuran Angga terdengar begitu merdu. Pria itu tertidur setelah menuntaskan hasratnya kepada Mira. Ya, Mira diperawani oleh suaminya sendiri dengan perasaan hambar dan penuh paksaan. Meskipun Angga melakukannya dengan pelan, dan tanpa unsur kekerasan, tapi Mira sangat terpukul karena Angga mengambilnya secara paksa. Dan satu hal lagi, Angga terus menyebut nama Carla selama mereka berhubungan badan.
Sebenarnya Mira tidak menyesal kalaupun harus melayani suaminya. Toh, mereka sudah halal dan sah. Tapi, ada hati yang teremas ngilu saat Mira mendapati tubuhnya dijamah oleh suaminya, sementara pria itu tak menganggapnya ada. Angga hanya mengingat Carla. Bahkan saat dia melepaskan benih-benihnya ke dalam rahim istrinya, hanya nama Carla yang ia ingat.
"Setidakpenting itukah hubungan kita ini, Pak?" Mira masih terisak di sudut ranjang seraya menenggelamkan wajahnya di antara lutut dan dadanya. Ia meringkuk, tubuhnya panas dingin, dan jiwanya panas membara.
Rasa sakit dan perih saat selaput daranya terkoyak oleh rudal milik Angga, tak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit di dalam hatinya yang kian dalam, melebar, dan semakin parah. Kini Mira sedang meratapi nasibnya yang sangat menyakitkan itu. Dia menangis, terisak, lalu kembali tersedu.
Mira menangis selama berham-jam, bahkan hingga mendekati waktu subuh. Setelah dia merasa lelah dengan isak tangisnya sendiri, Mira pun beranjak dari duduknya. Dia berdiri di samping Angga yang sedang tertidur, dia mengambil segelas air putih di atas nakas dan meneguknya.
Dia berhenti sejenak, menatap wajah suaminya yang sedang mendengkur pulas. Tiba-tiba ada sebuah perasaan baru muncul. Ada sebuah dorongan dan gejolak yang hadir.
"Kenapa aku jadi memikirkan hubungan gak jelas ini? Bukankah dari awal memang pernikahan ini tidak penting? Apa lagi yang kuharapkan dari Pak Angga? Berharap bahwa dia akan menerimaku dan kami akan menjadi pasangan suami istri seperti orang-orang di luaran sana? Haisss ...! Itu hanya khayalanku saja." Mira mendengkus. Dia masih berdiri di samping suaminya dengan keadaan tanpa busana.
"Tapi ... kenapa dia melakukannya dengan perlahan? Meskipun dia sedang dalam keadan mabuk, dia sama sekali tak melakukannya dengan kasar. Apakah dia tahu kalau yang sedang dia ajak bercinta adalah gadis yang masih perawan? Apakah dia sadar kalau akulah yang sedang ia gerayangi? Lalu kenapa dia hanya menyebut Carla? Apa susahnya sih menyebut namaku? Bukankah kata Mira lebih mudah diucapkan dan dieja dari pada kata Carla?" Wanita itu menarik nafas panjang.
"Ah, apa yang sedang aku pikirkan? Apa yang sedang aku harapkan dari dia? Sadar, Mira! Sadar! Kau ini hanya wanita yang kebetulan dibutuhkan oleh keluarga Arthoyudo. Kau hanya dijadikan tameng untuk menyelamatkan harga diri mereka! Setelah semuanya kembali normal, kau akan dibuang!" Akal sehat Mira mulai bergejolak, mencoba menyadarkan hatinya yang melow.
Mira pun terdiam, dia masih merasakan perihnya diperawani. Wanita itu kembali menatap tubuhnya dalam remang-remang cahaya lampu tidur. Dia melihat ada cupang di payudaranya, bahkan ada beberapa stempel berwarna merah ditinggalkan bibir Angga di sana. Mira tersenyum getir. Dia mengingat bagaimana suaminya meninggalkan stempel tanda kepemilikan di leher dan di dadanya.
"Baiklah! Karena aku sudah terlanjur masuk, maka aku harus mengikuti permainan ini sampai menang," bisiknya.
"Aku tidak akan menghancurkan hidupku sendiri dengan derai air mata ini, sedangkan Pak Angga berbahagia dan bebas menjamah tubuhku dengan bangga. Ah, tidak! Aku tidak boleh lemah!" bisiknya lagi.
Mira segera menghapus air mata di pipinya dengan kasar, dan melirik Angga dengan tatapan nyalang. Dia mendekatkan wajahnya ke hadapan wajah sang suami dengan keadan tubuh yang masih tel*njang. Dia menatap wajah itu lama, menelisik seluruh yang ada di hadapannya. Bibir Angga yang merah, bulu matanya yang indah, bahkan Mira juga memindai bentuk hidung hingga jambang tipis di pipinya.
"Baiklah, Pak. Mari kita nikmati drama ini bersama. Rasanya tidak adil, jika hanya Bapak yang menikmati," gumam Mira dengan senyuman sinis.
Dia segera naik ke atas ranjang dan membenamkan diri di dada sang suami. Dia memeluk sang suami dengan posisi se erotis mungkin. Dibiarkanya Angga merengkuh tubuhnya agar besok pagi Angga tau kalau pria itu telah menjebol keperawanan istrinya. Darah di seprei itu akan menjadi saksi bisu pergumulan mereka.
"Emmhhhh ...." Pria itu menggeliat dan mempererat pelukannya, dia memeluk Mira seperti memeluk bantal guling.
Mira merasa risih, tapi dia harus terus maju. Mereka pun tidur berdua di atas ranjang dan saling berpelukan. Mira sebenarnya muak saat berdekatan dengan suaminya dan dalam keadan tanpa busana begitu, tapi ... dia harus menang dalam pertempuran ini.
"Kalau dipikir-pikir, benar juga kata Mama. Aku harus hamil dan melahirkan keturunan untuk pewaris Arthoyudo. Aku harus bisa mengikuti permainan Pak Angga," bisiknya lalu ia pun masuk ke dalam selimut. Dia tenggelam dalam lengan kekar suaminya, dan kini ... mereka berdua berada di dalam satu selimut bersama.
****
Matahari pagi mulai menyingsing di kaki langit. Cahayanya mulai menyusup melewati celah jendela. Angga mengerjap karena merasa silau. Berulang kali ia mengucek matanya hingga ia mulai memicing, dan akhirnya, kedua matanya mulai membuka.
Angga terbelalak saat melihat Mira tengah tidur di sampingnya, dia tersentak kaget saat lengan kirinya merengkuh tubuh istrinya. Dia segera menarik tangannya dan mencoba menata nafas agar lebih rileks dan lebih santai.
"Mir ... Mira ...!" Dia pun mulai menggoyang-goyang bahu Mira.
"Mira ...! Bangun!" pekiknya sambil memegangi kepalanya yang terasa masih pening.
"Mir ... kenapa kita tidur sekamar?" sungutnya.
"Mir ...! Kamu jangan mulai lancang dan kurang ajar, ya!" Angga mulai kesal karena Mira masih terpejam.
"Mir ...!" teriaknya sambil menarik selimut secara paksa dari tubuh wanita itu.
Angga kian terbelak saat melihat Mira dalam keadaan tel*njang, dirinya juga tidak memakai baju sehelai pun.
"Mira ...! Jangan bermain-main dengan saya! Saya tidak suka!" pekiknya sambil terus menarik selimut itu agar lepas dari tubuh Mira.
"Saya akan tuntut kamu!" ancamnya dengan nafas gusar.
Angga kian terbelalak saat matanya melihat ada darah di seprei yang mereka jadikan alas tidur.
"Mira ...! Bangun!" teriaknya lagi sambil menghempaskan tubuh Mira dengan kasar.
Mira meringis saat tubuhnya diguncang berulang kali oleh suaminya.
"Sudah kubilang bangun ya bangun!" Angga kian meradang.
"Aahhh ... sakit, Pak," ucapnya dengan mata terpejam.
"Kamu ngapain di kamar saya!" Angga menatap istrinya dengan tatapan garang.
"Bapak yang memaksa saya kesini," kata Mira sambil menarik selimut dan membalutkannya kembali ke seluruh tubuhnya. Dia merasa malu saat tubuhnya yang tanpa busana dilihat oleh Angga.
"Tidak mungkin! Kamu pasti menjebak saya!" Angga kian memekik.
"Bapak semalam mabuk berat dan membawa saya ke kamar ini dengan paksa. Lalu Bapak memaksa saya, Bapak melakukannya dengan paksa. Ya, bapak melakukannya sambil memanggil nama perempuan lain." Mira terbata, lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia terisak.
"Tidak Mir! Aku tidak akan sebodoh itu! Kau pasti telah menjebakku!" Angga terlihat tidak terima.
"Untuk apa saya menjebak Bapak? Saya yang rugi? Saya kehilangan keperawanan hanya untuk bermain jebak-jebakan? Sangat tidak etis! Lagi pula saya tidak mencintai Bapak. Untuk apa saya melakukan hubungan suami istri dengan pria yang tidak saya cintai? Memangnya saya pelacur?" kata Mira.
"Diamlah! Sekarang juga ... cepat keluar dari kamar saya!" Pria itu mendelik geram.
Mira menyorot mata Angga dengan sangat tajam, lalu dia pun beranjak dari tempat tidur suaminya dan berjalan terseok-seok meninggalkan pria itu di seorang diri.
Angga masih mematung, menyaksikan wanita itu keluar dari kamarnya dan menuruni tangga perlahan. Dia terus memperhatikan bagaimana Mira yang berjalan tertatih, jalannya mengangkang dan sesekali ia meringis seperti menahan sesuatu yang perih di area selangkangannya. Pria itu merasa tak enak hati saat memperhatikan istrinya yang terlihat sangat kesakitan.
Wanita itu berjalan masuk ke dalam kamarnya dengan lesu. Badannya terasa meriang, apalagi dia menangis berjam-jam sejak usai diperawani sampai menjelang subuh.
"SIAL ...!" umpatnya sambil memukul pintu kamarnya.
"Apakah aku benar-benar telah melakukannya? Apakah aku sudah bercinta dengan Mira? Ah ...!"