Fahira Azalwa, seorang gadis cantik yang harus menelan pahitnya kehidupan. Ia berstatus yatim piatu dan tumbuh besar di sebuah pesantren milik sahabat ayahnya.
Selama lima tahun menikah, Fahira belum juga dikaruniai keturunan. Sementara itu, ibu mertua dan adik iparnya yang terkenal bermulut pedas terus menekan dan menyindirnya soal keturunan.
Suaminya, yang sangat mencintainya, tak pernah menuruti keinginan Fahira untuk berpoligami. Namun, tekanan dan hinaan yang terus ia terima membuat Fahira merasa tersiksa batin di rumah mertuanya.
Bagaimana akhir kisah rumah tangga Fahira?
Akankah suaminya menuruti keinginannya untuk berpoligami?
Yuk, simak kisah selengkapnya di novel Rela Di Madu
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 30
Hari ini Viola sudah diperbolehkan pulang.
Zidan tidak bisa menjemput Viola karena pagi ini ada rapat mendadak yang tidak bisa ia tinggalkan. Akhirnya Fahira-lah yang menjemput Viola menggunakan taksi online yang dipesan langsung oleh suaminya.
Dokter datang ke ruang perawatan Viola untuk memeriksa keadaannya terlebih dahulu sebelum ia benar-benar pulang.
"Selamat pagi, Nona Viola," ucap dokter yang datang bersama seorang suster.
"Pagi, Dok," sahut Viola ramah.
Sementara itu, Fahira sibuk membereskan barang-barang milik Viola.
"Saya periksa dulu, ya?"
Dokter memeriksa detak jantung, tekanan darah, dan beberapa hal lainnya. Setelah selesai, ia menuliskan resep untuk dibawa pulang.
"Ini resep yang harus ditebus. Jangan lupa diminum obatnya, ya, Nona Viola," ujarnya sambil menyerahkan kertas resep, yang kemudian diambil alih oleh Fahira.
"Baik, terima kasih, Dokter," sahut Viola sambil tersenyum.
"Sama-sama. Hati-hati selama perjalanan pulang. Semoga lekas sehat kembali, ya. Permisi, selamat pagi," pamit dokter itu.
*Terima kasih, Dokter," jawab Viola. Sang dokter pun mengangguk, lalu pergi bersama suster.
Selesai membereskan semua barang, Fahira dan Viola menuju apotek rumah sakit untuk menebus resep. Setelah itu, mereka berdua menaiki mobil taksi online yang sudah menunggu sejak satu jam sebelumnya.
"Atas nama Ibu Fahira?" tanya sopir taksi.
"Iya, Pak."
"Mari, Bu, silakan." sopir membukakan pintu, dan tak lama kemudian mobil pun melaju.
~~
Sementara itu, di rumah Zidan yang ditempati oleh Ibu Zubaidah...
Bu Zubaidah sedang memarahi asisten rumah tangganya, Mbak Yem. Entah apa kesalahannya, di mata Ibu Zubaidah, Mbak Yem selalu saja salah setiap kali bekerja.
Tak lama, Eva keluar dari kamarnya dan menuruni tangga, menghampiri sang ibu yang masih saja marah-marah.
"Ada apa sih, Bu? Dari subuh loh, Ibu ngomel terus," tanya Eva yang mulai jengkel karena setiap hari mendengar ibunya mengomel tanpa henti.
"Ini, si Yem! Ibu suruh dia belanja sayuran di warung Bu Citra, malah beli yang begini! Gimana Ibu nggak kesal coba? Bikin boros aja!" seru Bu Zubaidah dengan suara tinggi.
Eva mendengkus pelan. "Ya udah sih, Bu, nggak apa-apa. Lagian berapa sih harga sayuran begini? Paling juga cuma sepuluh ribu, kan bisa beli lagi," sahutnya sedikit kesal.
"Sepuluh ribu juga uang, Eva! Kasihan kakakmu kerja banting tulang, uangnya malah dibuang-buang. Pemborosan ini namanya!"
"Astagfirullah, Bu... Bang Zidan kan udah kasih uang belanja buat Ibu, sebulan lima juta. Buat kebutuhan Ibu dan Eva masing-masing sepuluh juta. Gaji Mbak Yem juga Bang Zidan yang bayarin. Masa masalah beginian diributin dari subuh sampai jam sembilan pagi? Kasihan Mbak Yem, tiap hari dimarahin terus sama Ibu."
Mendengar itu, Bu Zubaidah justru semakin kesal dan makin keras menegur Mbak Yem karena Eva membelanya.
Eva memijat pelipisnya yang mulai terasa pening, lalu menghela napas panjang. Ia naik kembali ke kamarnya, mengambil ponsel di atas nakas, dan menekan tombol panggil. Tak lama, sambungan telepon tersambung.
"Halo, ada apa, Eva?" suara Zidan terdengar di seberang.
"Kak, bisa ke rumah nggak hari ini? Mbak Yem minta resign. Tiap hari Ibu terus marah-marah soal hal kecil. Dari subuh sampai sekarang belum berhenti," Eva mengadu panjang lebar.
"Huft... Kenapa lagi sih? Ya sudah, insyaallah nanti setelah kerja Kakak mampir ke rumah," jawab Zidan.
"Baiklah, makasih, Kak. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam..."
Telepon ditutup. Eva turun lagi, berusaha menenangkan ibunya yang masih saja mengomel. Namun bayangan Mbak Yem sudah tidak terlihat, sementara Bu Zubaidah tetap mengomel di ruang keluarga hanya karena urusan sayur.
"Mbak Yem mana, Bu?" tanya Eva, membuat ibunya menoleh.
"Nggak tahu! Dibilangin bukannya minta maaf malah kabur ke kamar! Tidur saja kerjanya!" ketusnya.
"Bu, sampai kapan Ibu begini? Ini udah empat kali loh, dalam dua bulan kita ganti ART. Malu sama tetangga," ujarnya lembut menasihati.
"Apa hubungannya sama tetangga? Dia kerja sama Ibu, bukan sama tetangga!"
"Astagfirullah... pantas aja Mbak Fahira sama Mbak Viola nggak mau tinggal satu rumah sama Ibu. Tiap hari dimarahin terus," gumamnya lirih sambil memijat keningnya.
Tiba-tiba Mbak Yem muncul, membuat Eva kaget. Bu Zubaidah pun menoleh.
"Maaf, Non, bibi mau resign saja," ucapnya pelan.
Eva melihat Mbak Yem sudah membawa koper dan tas di bahunya. Pakaian yang dikenakannya pun sudah rapi, seolah siap pergi. Ia menatap ibunya, meminta penjelasan.
"Bi, nanti sore aja ya pulangnya. Tunggu Bang Zidan datang. Kan gajinya belum dibayar selama dua minggu ini," bujuk Eva lembut.
"Kenapa harus dibayar! Dua minggu kerja nggak becus masih aja minta bayaran!" ketus Bu Zubaidah membuat Mbak Yem menunduk sedih.
"Bu! Tolong diam sebentar, Eva lagi ngomong sama Mbak Yem!" nada suara Eva mulai meninggi. Bu Zubaidah mendengkus kesal dan terdiam.
Setelah itu, Eva kembali membujuk Mbak Yem agar bersabar sampai sore menunggu kakaknya datang.
"Tidak usah, Non. Bibi mau pulang sekarang saja," ucapnya, terlihat sudah sangat tidak nyaman berada di rumah itu.
"Baiklah... tunggu sebentar ya, Bi. Alif telepon Kak Zidan dulu. Kita duduk di teras yuk," ajak Eva sambil merangkul bahu Mbak Yem dan membawanya ke teras depan rumah.
Ia menekan tombol panggil dan kembali menelepon Zidan.
"Ya, ada apa lagi, Eva?"
"Kak, Mbak Yem mau pulang sekarang juga. Eva udah suruh nunggu, tapi nggak mau."
"Huft... baru dua minggu kerja udah minta resign. Ibu marah sampai bikin dia sakit hati ya?"
"Entahlah, Kak. Eva juga nggak ngerti sama Ibu. Semakin ke sini, Ibu makin suka ngomel nggak jelas," keluhnya dengan nada frustrasi.
"Antarkan Mbak Yem ke rumah Abang di jalan X. Abang mau dengar langsung darinya."
"Iya, Kak. Alamatnya yang kemarin, kan?"
"Iya!"
Zidan menutup telepon tanpa menunggu salam. Eva hanya menghela napas berat, paham bahwa kakaknya sudah sangat kesal. Ini sudah keempat kalinya ART mereka resign karena ulah ibunya.
"Bi Yem, nanti bibi ke alamat ini ya. Uang buat bayar taksinya ada nggak?" tanya Eva dengan sopan.
"Nggak ada, Non. Bibi belum punya uang," jawabnya jujur.
"Baiklah, ini buat ongkos taksi sama pegangan ya, Bi." Eva menyerahkan uang lima ratus ribu rupiah.
"Terima kasih, Non. Bibi pergi dulu ya. Ini alamat rumah Tuan Zidan, kan?" tanyanya sambil melihat kertas kecil di tangannya.
"Iya. Nanti di sana, bibi cari yang namanya Mbak Fahira. Bilang aja disuruh Kak Zidan datang ke situ," jelas Eva sambil menepuk lembut bahu Mbak Yem.
"Baik, Non. Maafkan bibi, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Hati-hati ya, Bi."
Eva mengantar kepergian Mbak Yem sampai ke gerbang, tempat taksi sudah menunggu. Ia menghela napas panjang, melepas ART untuk keempat kalinya dengan perasaan lelah dan sedih.
...----------------...
Bersambung....
tapi sayangnya semua sudah di lihat Fahira
dan Fahira inilah resikonya mau di madu pasti sakit dan sangat sakit
dan ku harap kamu sedikit tehas ke ubu mertuamu jangan terlalu lemah dan psrah gotu aja
udah ngehadapin dua istri
tiba di rumah ibumu udah ngadepin ibu dan adikmu juga nikmati hidupmu ya zidan pasti bnyk drama nya
gak di madu hati dan pisik sakit
di madu malah tambah sakit