Lana Croft, seorang mahasiswi biasa, tiba-tiba terbangun sebagai tokoh antagonis kaya raya dalam novel zombie apokaliptik yang baru dibacanya. Tak hanya mewarisi kekayaan dan wajah "Campus Goddess" yang mencolok, ia juga mewarisi takdir kematian mengerikan: dilempar ke gerombolan zombie oleh pemeran utama pria.
Karena itu dia membuat rencana menjauhi tokoh dalam novel. Namun, takdir mempermainkannya. Saat kabut virus menyelimuti dunia, Lana justru terjebak satu atap dengan pemeran utama pria.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YukiLuffy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Di gerbang utama Enklave, Chloe Vance dan kelompoknya terhenti. Prajurit dengan sopan mengarahkan mereka ke jalur pendaftaran sipil. Chloe melihat antrean panjang yang berliku, lalu menatap iri ke arah RV Kael yang telah menghilang di jalur VIP. Ia tahu dia memiliki takdir, tetapi kenyataan saat ini terasa menyakitkan.
Kael tidak berhenti di vila Lucas. Ia memarkir RV di samping vila itu, lalu menarik Lana ke vila miliknya sendiri.
"Mau ke mana, Kakak? Bukankah kita makan malam di rumah Riley?" tanya Lana, bingung.
Kael tersenyum, senyum yang begitu lembut hingga mencairkan benteng terdingin. "Aku membawamu ke rumah kita, Sayang."
Vila Kael sama seperti dirinya—minimalis, elegan, dan menjeritkan kekayaan tanpa batas, tetapi arsitektur baja dan kaca membuatnya tampak dingin.
Namun, kata-kata Kael—"rumah kita"—langsung menghantam Lana dengan gelombang emosi yang tak tertahankan. Sejak transmigrasi, ia tak pernah memiliki tempat yang benar-benar stabil, tempat di mana ia diakui dan dicintai, tempat di mana nasib tragisnya tidak membayangi.
Mata Lana memanas, dan air mata mulai mengalir deras, bercampur haru dan rasa memiliki.
"Hei, kenapa menangis?" Kael segera panik, meletakkan Lana di sofa beludru, dan berlutut di depannya. Ia menyeka air mata gadis itu dengan ibu jarinya, wajahnya dipenuhi kelembutan yang langka.
Lana menggeleng, tidak bisa bicara. Ia hanya memeluk leher Kael dengan erat. "Aku hanya... bahagia," bisiknya, suaranya tercekat.
Kael tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya memeluk Lana erat-erat, membiarkan gadis itu tenang di dadanya. Setelah Lana tenang, Kael menatap bibirnya yang basah. Lana merespons dengan senyum manis dan mencium pipi Kael.
Kael tersentak. Ia menahan kepala Lana, memperdalam ciuman itu menjadi pertukaran yang mendominasi dan penuh hasrat. Lana berjuang sebentar, lalu menyerah, membiarkan Kael mengambil semua napasnya.
Malam itu, mereka berkumpul di vila Lucas untuk merayakan keberhasilan misi. Lana mengeluarkan bahan-bahan high-end dari dimensinya—steak marmer, truffle oil, dan sebotol anggur merah Bordeaux yang sangat mahal.
Di tengah tawa dan puji-pujian tim, Lana minum. Anggur merah, ditambah dengan kelelahan fisik dan kebahagiaan emosional yang intens, segera membuatnya mabuk. Wajah Lana merona, dan matanya berkaca-kaca karena gembira.
Kael, yang sadar penuh, tersenyum geli melihat Lana yang terus berusaha meraih botol anggur.
"Cukup, Sayang," Kael menarik botol itu menjauh.
Lana, dengan mata yang kabur, menatap Kael dengan tatapan yang sangat marah. "Hei! Kau... kau mencuri minumanku! Kau harus menuangkannya untukku!"
"Tidak," tolak Kael lembut.
Lana cemberut. Ia berdiri, terhuyung, dan menunjuk Kael dengan jari telunjuk yang gemetar. "Kau jahat! Kau hanya tahu cara menyiksaku! Aku tidak mau bicara denganmu lagi!"
Melihat tingkah Lana yang menggemaskan, Kael tertawa kecil. Ia segera menarik Lana dari pinggang dan membawanya pulang ke vilanya.
Di kamar utama yang luas, Kael meletakkan Lana di tempat tidur. Gadis itu kini tenang, matanya menatap Kael dengan intensitas yang aneh.
"Tuan Tampan..." Lana bergumam, lalu tiba-tiba mencium Kael.
Tangannya yang nakal menyelinap di bawah kaus Kael, meraba perutnya. "Kau punya... delapan kotak perut? Wow!"
Rasa geli dan sentuhan Lana yang tak terduga segera menghancurkan sisa-sisa kendali Kael. Ia merasakan hasrat yang liar dan membakar di dalam dirinya.
Saat tangan Lana mulai bergerak lebih rendah, Kael mencengkeram pergelangan tangannya, mendorongnya ke bantal. Matanya yang gelap, seperti malam tanpa bintang, menatap Lana.
"Lana. Ini perbuatanmu sendiri," desis Kael, suaranya serak dan berbahaya. "Kau yang memintanya."
Malam itu adalah badai yang mengamuk. Lana, yang mabuk, awalnya protes, suaranya berubah menjadi rintihan lemah di bawah kendali Kael. Semua batas yang tersisa di antara mereka runtuh, dan kamar itu dipenuhi suara desahan, nafas berat, dan ciuman yang mendominasi.
Lana terbangun oleh sinar matahari pagi. Kepala Lana terasa berdenyut, dan seluruh tubuhnya sakit, seolah ia baru saja berlari maraton. Ia meringis.
Ia menemukan dirinya telanjang, dipeluk erat oleh Kael. Memori malam itu—keberanian mabuknya, dan intensitas Kael yang tak tertahankan—segera kembali. Rasa malu yang memalukan memenuhi dirinya.
"Aduh..." Lana menggumam, memukul dada Kael dengan lemah. "Dasar bajingan! Ini semua salahmu!"
Kael membuka matanya, tersenyum penuh kemenangan. "Salahku? Kau yang memanggilku Tuan Tampan dan meraba perutku." Kael memijat pinggang Lana yang sakit, senyumnya semakin lebar.
"Aku tidak peduli! Pokoknya salahmu!" Lana menarik selimut menutupi dirinya. Ia tidak tahan lagi dengan intensitas Kael.
"Aku punya syarat," tuntut Lana, wajahnya merah padam. "Mulai sekarang, kita tidur di kamar terpisah. Aku tidak sanggup lagi."
Wajah Kael langsung mengeras, senyumnya menghilang. Ia menolak tanpa ragu.
"Tidak. Jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku sendiri setelah apa yang terjadi," tolak Kael, suaranya tegas. "Kau milikku. Dan aku akan memilikimu di sampingku. Selamanya."
"Aku akan tidur di kamar Riley!" ancam Lana, mencoba menggertak.
Kael mengangkat alisnya, pandangannya dingin dan menantang. "Cobalah. Aku akan membawa sofa dan tidur di depan kamarnya. Dan kau tidak akan bisa tidur tanpa sentuhanku lagi, Sayang. Kau sudah kecanduan."
mendengar konpirmasi
jadi
mandengar ucapan itu