Arshaka Beyazid Aksara, pemuda taat agama yang harus merelakan hatinya melepas Ning Nadheera Adzillatul Ilma, cinta pertamanya, calon istrinya, putri pimpinan pondok pesantren tempat ia menimba ilmu. Mengikhlaskan hati untuk menerima takdir yang digariskan olehNya. Berkali-kali merestock kesabaran yang luar biasa untuk mendidik Sandra, istri nakalnya tersebut yang kerap kali meminta cerai.
Prinsipnya yang berdiri tegak bahwa pernikahan adalah hal yang sakral, sekeras Sandra meminta cerai, sekeras dia mempertahankan pernikahannya.
Namun bagaimana jika Sandra sengaja menyeleweng dengan lelaki lain hanya untuk bercerai dengan Arshaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Flou, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
APARTEMEN ARSHAKA
"Eh lho Arshaka? Udah pulang dari Jawa Timur?"
Mia melemparkan tatapan terkejut sekaligus heran saat bel rumah berbunyi dan ia mendapati Arshaka berdiri di sana.
Arshaka lebih dulu menyalami ibu mertuanya tersebut. "Iya, sudah selesai urusan saya, Ma. Arkana membawa Sandra ke sini?" tanyanya.
"Iya, masih tidur. Masuk dulu." Mia membawa menantunya masuk. "Semalem dia mabuk lagi. Mama nggak tau kapan dia keluar rumah Mama udah tidur. Begitulah kelakuan Sandra. Mama bingung mau gimana lagi mendidik dia. Susah banget diatur. Salah kami dulu manjain dia banget."
Arshaka mengangguk saja tak ingin memberikan komentar apapun. Melihat bagaimana karakter Sandra saja dia sudah bisa menyimpulkan bagaimana mereka mendidik Sandra, juga karakter bawaan salah satu dari keduanya.
"Di mana kamarnya, Ma?"
"Di atas. Naik aja. Pintu kamarnya warna putih, nggak dikunci. Ngomong-ngomong, kamu suka sarapan pake apa, Nak? Biar Mama buatin."
"Terima kasih, tapi tidak usah. Saya sudah sarapan, Ma. Izin naik ke atas," balasnya menilik wajah Mia.
Setelah Mia menganggukkan kepala, Arshaka melangkah gontai dengan raganya yang sedikit lelah.
Seharusnya Arshaka pulang ke Bandung esok hari. Namun, semalam Kenneth memberinya kabar bahwa Sandra mabuk lagi, dan kembali dibawa pulang paksa olehnya juga Arkana. Alhasil, ia segera rembukan panjang dengan panitia Haflah, menyusun rancangan acara yang cukup matang—mengabaikan waktu istirahatnya yang tersita banyak, demi bisa sampai di Bandung pagi ini.
Sembari berjalan, Arshaka membawa pandangannya, melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Geleng-geleng kepala, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih, anak gadis mana yang jam segitu masih terlelap nyenyak sedang sang ibunda sudah membuat dapur berasap.
Berhenti tungkai panjangnya di depan kamar yang dia yakini itu kamar Sandra. Lantas ia tekan tuas pintu dan mendorongnya ke dalam.
"Astaghfirullah."
Arshaka spontan memalingkan wajah saat matanya mengarah ke kasur dan melihat sosok istrinya yang tidur dengan dress tersingkap hingga nyaris sampai paha atas. Dia yang tidak terbiasa menemukan pemandangan tersebut tentu saja merasakan sesuatu dalam dadanya yang berdetak penuh rasa panik, sebab saat Sandra tidur di kamarnya, perempuan itu selalu memakai baju tidur yang panjang.
"Dia istrimu, Arshaka. Halal untuk dilihat, dia halal untukmu," gumamnya lagi mengingatkan diri.
Setelah berhasil mengendalikan hatinya, ditutup pintu kamar Sandra dan ia berjalan menuju pembaringan.
"Sandra," panggilnya menepuk pipi Sandra setelah dia membenarkan dress yang tersingkap itu. "Sudah siang. Bangun."
Alih-alih terjaga, Sandra justru semakin nyenyak dalam tidurnya. Telinganya bagai tidak menangkap sama sekali panggilan Arshaka.
Sekali lagi Arshaka memanggil, tetap tidak mendapat tanggapan. Tidak ada pilihan lain, dia langsung mengangkat tubuh Sandra. Kamar mandi bukan tujuan Arshaka, dia ingin membawa Sandra ke apartemennya yang terletak tak jauh dari kampus.
"Eh, kenapa dibopong begitu?" tanya Sandra terperanjat begitu melihat Sandra dalam gendongan Arshaka.
"Tidak bisa dibangunkan. Saya bawa Sandra pulang, Ma," timpal Arshaka.
"Kamu nggak mau istirahat dulu? Muka kamu keliatan capek banget. Istirahat aja dulu di sini sambil nunggu Sandra bangun."
Arshaka menggeleng. Dia tidak begitu lelah, sudah biasa melakukan perjalanan jauh. Begadang pun seakan menjadi makanan sehari-harinya. Sehingga tubuhnya tidak lagi kaget.
"Istirahat di apartemen saja nanti, Ma. Saya bawa Sandra ke apartemen, bukan orang tua saya. Pamit dulu. Mama baik-baik. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," pamitnya sedikit menundukkan kepala sebagai tanda hormat sebab ia tidak bisa menyalami Mia.
Mia takjub dengan sopan santun Arshaka. Dia pandangi lekat punggung menantunya tersebut. Ada rasa haru juga harap yang begitu besar pada Arshaka. Berharap di tangannya, Sandra bisa berubah menjadi perempuan penurut dan lemah lembut.
"Salah aku didik dia dengan harta. Harusnya aku didik dia dengan Al Qur'an. Dijamin bener anak itu. Untung aja setelah papanya bangkrut, dia nggak uring-uringan." Mia membuang napas panjang. "Hah, udah telat nyesel. Apa boleh buat. Sekarang cuma pasrah dah berharap di tangan suaminya dia bisa berubah."
Arshaka meletakkan Sandra dengan hati-hati di kursi penumpang. Membenarkan posisi istrinya, lalu ia sedikit turunkan sandaran kursi agar tidur Sandra jauh lebih nyaman. Setelah ia menutupi paha Sandra yang terekspos dengan jaket miliknya, barulah ia masuk ke dalam mobil.
Sebelum mengemudi, ia letakkan ponsel di stand holder. Mengaktifkan bluetooth agar terhubung dengan earphone dan ia hubungi tantenya, adik dari Narestha.
"Assalamualaikum, Aunty," sapanya sembari memutar setir mobil.
"Wa'alaikumsalam. Ada apa, Boy?"
"Bisa aku minta tolong?"
"Iya. Katakan."
"Tolong kirimkan baju, celana dan kerudung untuk istriku. Aku tidak tahu size-nya, dia sedikit lebih berisi dari Arvhi. Mungkin Aunty bisa memilihkan yang pas untuknya. Tidak ada pakaian yang terbuka, semua harus panjang dan tidak ketat. Ada kan di butik?"
Ia membawa pandangannya pada Sandra yang menggeliat pelan. Dipikir akan bangun, gadis itu hanya menguap lalu lanjut tidur dan dia usap kepala istrinya dengan lembut.
"Ada. Tapi model lama. Aku belum keluarin produk terbaru. Tak apa?"
Arshaka menyenggut walau dari seberang Aurora tidak melihatnya. "Tidak apa, Aunty. Kirimkan ke apartemen ya? Maaf merepotkan. Nanti tagihannya kirim saja, aku transfer seperti biasa."
"Kenapa apartemen? Bukankah kalian tinggal di rumah Kak Nares?"
"Senyaman apapun rumah mertua, menantu tetap akan merasa kesepian sebab dia hanyalah orang asing. Lagi pula baiknya memang seperti itu, tinggal terpisah dari orang tua agar tidak ada yang merasa tidak enak lalu berakhir pertengkaran tak berujung."
***
"Kamu tidak mau bangun, Sandra?" Ia menepuk-nepuk pipi Sandra yang sedikit tembam. "Apakah efek alkohol seperti ini? Zhen sering mabuk, tapi tidak tidur seperti kerbau."
Ting!
[Arkana: Sudah sampai, Kak? Istrimu akan terlelap sampai siang, Ken bilang begitu. Sebab semalam ada lelaki yang menggodanya. Bahkan ... eum ... mereka hampir berciuman. Ken inisiatif untuk mencari tahu siapa lelaki itu, dan ternyata dia mencampurkan obat tidur dosis tinggi di botol alkohol terakhir Sandra.]
Arshaka terdiam sejenak membaca pesan yang Arkana kirimkan. Dia melemparkan tatapan pada Sandra. Cinta itu belum ada di hatinya, tetapi sebagai seorang suami tentu ia merasa gelisah sebab tidak terima.
[Baik, terima kasih.]
Sekarang, banyak yang harus Arshaka cari tahu tentang hidup Sandra, yang utama adalah pertemanannya. Sebab perempuan akan mudah sekali terhasut jika sudah berkumpul dengan teman-temannya. Tempo hari ia hanya mencari tahu perihal keluarga Sandra saja, belum sampai pertemanan gadis itu.
"Tanggung jawab saya besar sekali, Sandra. Semoga kamu tidak mempersulit apa yang ingin saya perbaiki darimu."
Arshaka merapikan rambut Sandra yang acak-acakan serta sedikit menutupi wajahnya. Lalu ia tutup tubuh istrinya dengan selimut hingga dada sebelum akhirnya ia tandang ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh.
Termenung di bawah genangan air bathup, Arshaka membuka mata. Membiarkan sesak mendera jiwa, membiarkan luka memeluk dirinya dengan sangat erat, membiarkan hatinya merintih perih dengan sangat lirih. Suara lembut Nadheera yang begitu terluka kembali menggerus hatinya tanpa ampun.
"Menikah adalah ibadah terpanjang. Kelak akan lahir keturunanmu dari perempuan yang kamu nikahi, Kak. Demi Allah, perempuan adalah madrasah bagi anak-anaknya, sumber ilmu bagi keturunannya. Di atas tubuhnya lelaki akan beribadah, di bawah telapak kaki, surga untuk anaknya. Kenapa harus dia jika masih bisa mencari perempuan yang lebih baik lagi, atau paling tidak dengan dia yang memahami dasar-dasar ilmu agama dan tahu cara menjaga kehormatannya."
"Kak, Abah tidak sanggup mendidik istrinya sebelum Umi dan semua orang di sini tahu akan hal itu, termasuk kamu. Puluhan tahun bahtera rumah tangga mereka jalani, tapi tidak sedikitpun beliau menemani langkah Abah. Dunia menjadi titik utama beliau memandang sesuatu. Demi Allah, saya takut dia tidak ingin menemani kamu, tidak bisa kamu gandeng untuk taat padaNya, tak sudi menemani langkah tertatihmu seperti beliau yang tidak ingin menemani Abah sampai akhir hayatnya. Kamu tahu bahwa Istiqomah sendirian itu sangat berat, apalagi jika ditambahkan hal-hal tidak enak di depan mata dan mengusik hati."
"Setiap insan memiliki hak mutlak untuk menolak, sekalipun orang tua sendiri jika itu tidak baik untuknya, untuk ibadahnya. Saya tahu bagaimana kerasnya pendirianmu, Kak. Kenapa? Apa yang terjadi denganmu saat itu sampai lemah dan tidak bisa menolak pernikahan tersebut?"
Arshaka menerima pernikahan ini. Namun siapa yang bisa menahan saat kecewa itu menyelundup masuk tanpa permisi.
Dia menerima Sandra dalam hidupnya. Akan tetapi, siapa yang bisa mengatakan bahwa mudah untuk melepaskan cinta pertama.
"Bagiamana biasa saya melupakanmu? Sebab Rabb saya lah, saya mengingatmu. Dan sebab kamu lah saya mengingat Rabb saya, Ning."
Mendesah berat, Arshaka terkekeh seorang diri. "Tanpa meletus balon hijau pun hati saya sudah sangat kacau."
Ini novel pertama saya, semoga kalian suka ya. Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, Sayangku🥰