Trauma masa lalu mengenai seorang pria membuat gadis yang awalnya lemah lembut berubah menjadi liar dan susah diatur. Moza menjadi gadis yang hidup dengan pergaulan bebas, apalagi setelah ibunya meninggal.
Adakah pria yang bisa mengobati trauma yang dialami Moza?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon poppy susan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 30 Jadian
Semenjak kejadian itu, Bagas jadi sering datang ke bar untuk melihat Moza walaupun Moza masih mengacuhkannya tapi Bagas terus mendekati Moza. Bahkan setiap Moza hendak perform, selalu ada bunga di alat DJ Moza dan Moza tahu itu dari siapa. Dimas yang tahu akan hal itu merasa sangat marah dan kesal.
Malam ini Bagas sedang melihat penampilan Moza, dia tidak lupa senyum-senyum sendiri. Dimas yang melihat itu langsung menghampiri Bagas dan mencengkram baju Bagas. "Ikut aku!" seru Dimas.
Dimas menyeret Bagas ke luar bar. "Apa-apaan ini?" Bagas menghempaskan tangan Dimas.
"Maksud kamu apa setiap hari mengirim bunga kepada Moza?" geram Dimas.
"Memangnya kenapa? memangnya selama ini ada larangan jika tidak boleh ada yang ngirim bunga kepada Moza?" seru Bagas.
"Larangan tidak ada, tapi aku tahu apa maksud kamu. Kamu itu bukan sekedar ngirim bunga tapi aku yakin ada maksud lain dibalik itu dan aku gak suka!" bentak Dimas.
"Santai Bro, kamu mau suka atau tidak aku tidak peduli karena setahu aku, kamu dan Moza tidak ada hubungan jadi sah-sah saja jika aku ngirim bunga untuk dia karena mulai sekarang aku akan mengejar cinta Moza," sahut Bagas dengan lantangnya.
"Kurang ajar, tidak ada yang boleh dekat dengan Moza selain aku!" Dimas emosi dan langsung memukul Bagas sampai Bagas tersungkur ke tanah.
Bagas tidak mau kalah, dia pun kembali bangkit dan balas memukul Dimas. Perkelahian pun tak terkendali, keduanya saling pukul dan adu jotos satu sama lain membuat para bodyguard turun tangan untuk melerai keduanya. "Lepaskan aku, Bang!" teriak Dimas.
"Jangan membuat gaduh di sini, gak enak sama tamu kalau kalian mau berantem di tempat lain sana!" bentak Herman.
Dimas hendak menyerang Bagas tapi Herman kembali menahan tubuh Dimas. "Sudah masuk, dan kamu lebih baik pergi dari sini," ucap Herman kepada Bagas.
Herman menyeret tubuh Dimas masuk ke dalam bar, sedangkan Bagas memilih untuk pergi dari sana. "Brengsek, berani sekali dia melarang-melarang aku mendekati Moza memangnya dia siapa?" gumam Bagas dengan sangat emosi.
Beberapa jam kemudian, Moza pun selesai perform dan dia segera pergi ke tempat istirahat khusus dia dan Dimas di bar itu. Moza dan Una kaget saat melihat Dimas sedang diobati oleh Herman. "Kamu kenapa, Dimas?" tanya Moza panik.
"Kamu berkelahi ya?" tanya Una.
"Ini semua gara-gara polisi brengsek itu," sahut Dimas.
"Polisi brengsek? maksud kamu siapa, Bagas?" tanya Moza.
"Iya, siapa lagi kalau bukan dia," kesal Dimas.
"Memangnya kenapa dia sampai mukulin kamu?" tanya Una.
"Entahlah, tiba-tiba saja dia menyerang aku mungkin dia cemburu melihat kamu dekat dengan aku," dusta Dimas.
"Apa! keterlaluan banget dia, memangnya dia siapa berani mukulin kamu kaya gini," geram Moza.
Moza pun beralih mengobati Dimas, sedangkan Dimas tampak tersenyum bahagia di dalam hatinya. Dia tidak peduli jika harus berbohong karena dia yakin jika Moza akan lebih membela dirinya ketimbang membela Bagas. Moza yang mendengar itu semakin benci kepada Bagas.
***
Keesokan harinya....
Moza bangun pagi-pagi sekali, dia sudah bersiap-siap bahkan Una saja belum bangun. Tujuan dia ingin menghampiri Bagas dan memarahi Bagas karena sudah memukuli Dimas. Moza celingukan di jalan, dan dia melihat Bagas sedang berada di jalan mengatur lalu lintas.
Moza menghentikan mobilnya di pinggir jalan, lalu dia keluar dari dalam mobil dan menghampiri Bagas. Bagas yang melihat Moza menyunggingkan senyumannya, dia mengira jika Moza ingin bertemu dengannya. "Moza, ada apa kamu pagi-pagi sudah ada di sini?" tanya Bagas sumringah.
Plaaaakkkkk....
Moza menampar Bagas dengan sangat keras membuat semua anak buah Bagas kaget begitu pun dengan pengguna jalan. Bagas memegang pipinya dengan mata melotot tidak percaya dengan apa yang Moza lakukan. "Kenapa kamu tampar aku?" tanya Bagas bingung.
"Kamu sudah keterlaluan Bagas, ngapain kamu mukulin Dimas? dia tidak salah apa-apa!" bentak Moza.
Bagas mengerutkan keningnya. "Apa! dia bilang apa sama kamu?" tanya Bagas.
"Dimas bilang, kamu mukulin dia tadi malam. Maksud kamu apa melakukan semua itu? kamu tidak berhak mukulin Dimas, dia adalah orang yang selalu ada untukku bahkan dia selalu berusaha melindungi dan menyembuhkan trauma aku akibat ulah kamu dulu!" bentak Moza penuh amarah.
"Dia duluan yang mukul aku, Moza. Masa iya, dia mukulin aku dan aku diam saja," sahut Bagas.
"Gak mungkin, Dimas bukan orang seperti itu. Dia tidak mungkin memulai semuanya, kecuali kalau dia merasa ada sesuatu yang menyinggung dirinya," ucap Moza.
"Demi Allah, Moza. Dia duluan yang mukulin aku," sahut Bagas mencoba menjelaskan.
"Sudahlah, aku sudah tidak percaya dengan semua ucapanmu karena aku lebih percaya ucapan Dimas dibandingkan dirimu. Mulai sekarang, stop datang ke bar dan jangan kirim aku bunga lagi," tegas Moza.
Moza pun segera pergi dari sana, sedangkan Bagas hanya bisa terdiam membeku. Dia tidak menyangka jika Dimas akan berbohong dan memutar balikan fakta yang sebenarnya. Moza melajukan mobilnya menuju apartemen milik Dimas, dia ingin bertemu dan berbicara kepada Dimas.
Moza diam di dalam mobilnya, dia tidak pernah menemui Dimas sampai apartemen selalu menunggu di depan apartemen. Tidak lama kemudian, Dimas pun muncul dan segera menghampiri Moza. "Ada apa, kok pagi-pagi sudah ke apartemen aku? apa ada yang terjadi?" tanya Dimas panik.
Moza tersenyum, dia suka sekali dengan sikap Dimas yang selalu mengkhawatirkan dirinya. "Tidak, aku hanya ingin bertemu saja denganmu," sahut Moza dengan senyumannya.
"Tumben, ada apa?" Dimas merasa bingung dengan sikap Moza.
Moza menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. "Dim, kamu sudah beberapa kali mengatakan cinta kepadaku dan aku selalu menolak kamu, apa kamu benci sama aku?" tanya Moza.
Sekarang giliran Dimas yang tersenyum. "Mana ada aku benci sama kamu, sampai kapan pun aku akan tetap menyayangi dan mencintaimu walaupun cinta aku hanya bertepuk sebelah tangan," sahut Dimas.
"Sebenarnya apa yang mau kamu bicarakan kepadaku?" tanya Dimas.
"Ayo kita pacaran!"
Dimas terdiam, bahkan dia sampai melongo mendengar apa yang barusan Moza katakan. "Apa? kamu ngomong apa barusan?" seru Dimas tidak percaya.
"Aku tidak mau terus-terusan terikat dengan trauma masa lalu, untuk ke depannya aku butuh seseorang yang bisa menjaga dan menyayangi aku sepenuh hatinya dan orang itu adalah kamu," sahut Moza.
"Serius, kamu mau menerima aku sebagai seseorang yang spesial di hati kamu?" tanya Dimas kembali.
Moza mengangguk sembari tersenyum. Dimas benar-benar sangat bahagia, dia pun langsung memeluk Moza. "Terima kasih, Moza, aku janji akan menjaga dan membuatmu bahagia," ucap Dimas.
"Aku pegang janji kamu," sahut Moza.
Akhirnya Moza dan Dimas pun jadian. Moza merasa kasihan kepada Dimas yang selama ini selalu ada untuk dirinya. Bahkan Dimas rela menunggu bertahun-tahun walaupun Moza sudah menolaknya berkali-kali.