Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.
Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.
Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.
Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Memar
Pria itu berdiri di hadapannya, dengan wajah kusut dan aroma alkohol yang samar. Rambutnya sedikit berantakan, matanya merah seperti habis begadang.
“Kita perlu ngomong,” katanya pelan tapi tegas. Dimas meraih pergelangan tangan Livia dengan kasar.
Livia berusaha melepaskan genggaman tangannya. “Nggak ada yang perlu dibahas, Dimas. semua udah lama selesai.”
Mendengar penolakan Livia, justru membuat Dimas semakin menarik tangannya lebih erat, membuat Livia tersentak.
“Belum selesai buat gue, Liv. Gue masih cinta sama lo!”
Beberapa pengunjung sempat melirik ke arah mereka, tapi Dimas menunduk, berusaha menjaga suara tetap rendah.
“Lepasin, Dimas. Lo bikin gue malu,” bisik Livia tajam.
“Gue cuma mau lo dengerin gue sekali aja,” katanya dengan nada memohon.
“Udah cukup! Lo nyakitin gue lebih dari sekali, dan gue nggak mau ngulangin kesalahan yang sama.”
Livia berusaha menarik tangannya lagi, tapi genggaman Dimas tetap kuat. Matanya kini memancarkan campuran antara marah dan putus asa.
“Lo berubah, Vi. Dulu lo nggak kayak gini.”
“Ya, karena lo yang ngajarin gue buat nggak percaya lagi sama siapa pun!”
Suara Livia meninggi tanpa ia sadari. Beberapa orang mulai memperhatikan, termasuk pelayan kafe yang ragu untuk mendekat.
Tepat saat Dimas hendak menariknya lebih dekat, seseorang muncul dari arah belakan. Dafi datang, wajahnya dingin, tatapannya tajam.
“Lepasin dia, Dim.”
Dimas menoleh, sedikit kaget. “Bukan urusan lo, Daf.”
“Kalau lo udah nyentuh Livia lagi, ini jadi urusan gue,” sahut Dafi datar sambil mendekat. Reno pun sudah ikut berdiri di belakangnya, ekspresinya jauh lebih siap untuk berkelahi.
Dimas menatap keduanya, lalu akhirnya melepaskan genggamannya dengan kasar.
Livia menarik napas berat, menatap mantan kekasihnya itu dengan mata berair.
“Berhenti cari gue, Dimas. Tolong... jangan ganggu hidup gue lagi.”
Dimas menatapnya lama sebelum akhirnya berbalik pergi tanpa sepatah kata.
Livia berdiri diam di tempat, tangannya masih gemetar. Dafi pelan-pelan menepuk bahunya.
“Lo nggak pa-pa ?”
Ia menggeleng. “Nggak. gue nggak pa-pa.”
Reno memandang mereka berdua lalu mendesah. “Udah, yuk. Nggak usah di sini. Kita pulang aja malam ini.”
Livia menatap ke arah pintu keluar kafe yang baru saja ditinggalkan Dimas. Di hatinya, ada perasaan yang aneh, antara lega, marah, dan sedih.
Mungkin, seberapa jauh pun ia mencoba lari, masa lalu selalu tahu cara menemukan dirinya lagi.
Malam sudah larut ketika mobil Dafi berhenti di depan apartemen Livia.
Reno menoleh dari kursi depan, suaranya lembut kali ini.
“Lo yakin bisa sendiri, Liv?”
Livia mengangguk, berusaha tersenyum meski matanya masih sembab.
“Iya. Gue cuma butuh istirahat. Makasih udah nganterin gue.”
“Kalau ada apa-apa, langsung hubungin gue,” kata Dafi sebelum ia turun.
Livia menatap mereka sejenak, dua sahabat yang selalu ada di setiap titik terburuk hidupnya, lalu ia melangkah masuk ke gedung apartemen dengan langkah pelan.
Begitu pintu apartemennya tertutup, keheningan langsung menyelimuti ruangan.
Ia melepaskan sepatunya, menyalakan lampu seadanya, lalu duduk disofa.
Kedua tangannya gemetar ketika ia membuka lengan bajunya, memar keunguan terlihat jelas di pergelangan tangan kanannya.
Livia menatapnya lama.
Hening.
Lalu air matanya jatuh begitu saja tanpa bisa ia tahan.
Ingatan itu kembali.
Dimas yang dulu ia cintai begitu dalam, pria yang awalnya lembut, perhatian, tapi berubah menjadi sosok asing yang penuh amarah.
Teriakan, bentakan, bahkan tamparan dan pukulan yang pernah ia terima semua datang silih berganti di pikirannya.
Ia memejamkan mata, menekan dada yang tiba-tiba terasa sesak.
“Kenapa gue dulu nggak kabur lebih cepat...” bisiknya dengan suara serak.
Livia menggenggam pergelangan tangannya yang memar, seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa semua itu sudah berakhir.
Bahwa luka itu hanya sisa, tapi nyatanya, rasa sakitnya masih sama.
Teleponnya bergetar di atas meja, itu pesan dari Reno:
“Tidur yang nyenyak, Liv. Jangan mikirin dia lagi. Lo nggak sendiri.”
Livia menatap layar itu lama, lalu meletakkannya pelan di sisi tempat tidur.
Ia berbaring menghadap jendela, menatap lampu kota yang berkelip di kejauhan.
Air matanya mengalir lagi, tapi kali ini tanpa suara.
Malam menjadi saksi satu hal, bahwa di balik tawa dan kebebasannya, Livia hanya gadis yang sedang berjuang menyembuhkan diri dari luka yang belum benar-benar sembuh.
...🌼...
Pagi itu, matahari menembus tirai tipis apartemen Livia. Ia sudah bersiap sejak pukul enam, menatap pantulan dirinya di cermin.
Wajahnya tampak segar, riasannya sedikit tajam namun tetap menawan, tidak ada tanda-tanda bahwa semalam ia menangis hingga tertidur.
Rambutnya dibiarkan terurai, sedikit bergelombang di ujung. Blazer krem membingkai tubuhnya dengan rapi, dan sepatu hak yang berkilau menyempurnakan penampilannya.
Tak ada yang tahu, di balik semua itu, pergelangan tangannya masih terlihat memar, tersembunyi di balik lengan panjang blazernya.
Livia tersenyum pada pantulan dirinya. Senyum yang sudah terlatih.
“Lihat? Lo baik-baik aja,” katanya pelan pada bayangannya sendiri.
Sesampainya di kantor, suasana ramai seperti biasa. Beberapa karyawan menyapa Livia dengan ramah, beberapa lagi hanya menatapnya sekilas, melihatnya kagum tapi segan.
Bagaimana tidak, Livia selalu terlihat sempurna; bekerja cepat, rapi, dan nyaris tak pernah terlihat goyah.
“Pagi, Liv! Kok glowing banget hari ini?” sapa Rani sambil terkekeh.
Livia tertawa ringan. “Efek tidur cukup, kali ya.”
Ia memang tertidur sedikit lebih lama dari biasanya, dia tertidur karena lelah menangis.
Burhan lewat di dekat meja mereka dan menatap Livia sejenak.
“Pagi, Liv. Semangat hari ini?”
“Selalu, Pak,” jawab Livia sopan.
Namun entah kenapa, tatapan Burhan terasa sedikit lebih lama dari biasanya. Seolah pria itu bisa melihat sesuatu di balik senyum yang Livia tunjukkan.
Tapi Livia terlalu lihai untuk membiarkannya terlihat.
Beberapa jam kemudian, Livia kembali fokus menatap layar komputer, menyiapkan laporan yang harus diserahkan siang nanti. Tangannya sempat terasa nyeri saat mengetik, tapi ia tak mengeluh.
Baginya, rasa sakit fisik jauh lebih mudah ditanggung daripada luka di dalam dada yang tak pernah sembuh sepenuhnya.
Ia hidup dengan cara yang hanya ia pahami sendiri, menyembunyikan segalanya di balik pesona dan tawa.
Dan tanpa ia sadari, dari balik pintu kaca ruang kerja, Narendra sempat melirik ke arah kubikel administrasi. Pandangannya berhenti sebentar pada sosok Livia yang sedang serius mengetik.
Ada sesuatu dalam ekspresi perempuan itu yang membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan begitu saja.
Senyum yang indah… tapi terasa menyimpan sesuatu.
Jam makan siang tiba, suasana kantor mendadak riuh.
Aroma makanan dari kantin di lantai bawah mulai tercium, tawa dan obrolan mengalir di sepanjang koridor.
Namun, Livia tidak ikut ke sana.
Begitu jam menunjukkan pukul dua belas, ia mengambil es kopi dari mesin minuman, memasukkannya ke paper bag kecil, lalu menyelipkan sebungkus rokok ke dalam saku blazer.
Tanpa banyak bicara, ia naik ke lantai paling atas, area atap yang jarang dipakai, tempat beberapa karyawan kadang menyelinap untuk menenangkan diri.
Udara di sana terasa lebih jujur.
Angin meniup rambutnya, sementara langit biru tampak luas di atas kepala.
Livia duduk di bangku semen dekat pagar pengaman, membuka kopi dinginnya, dan menyalakan sebatang rokok.
Asap pertama keluar perlahan dari bibirnya, membaur bersama hembusan angin.
Di bawah sana, kota bergerak tanpa peduli orang-orang berlari mengejar waktu, sama seperti dirinya.
Ia menatap ujung jarinya yang bergetar ringan.
Luka di pergelangan tangannya masih terlihat membiru, dan perihnya masih terasa.
Ia meneguk kopinya, menatap langit dengan pandangan kosong.
“Hidup tuh aneh, ya…” gumamnya lirih. “Yang nyakitin malah yang paling susah dilupain.”
Asap rokok menaik pelan, seolah menyahut perkataannya.
Bagi banyak orang, Livia terlihat perempuan kuat, cantik, dan independent.
Tapi hanya di tempat seperti ini, di atas ketinggian dan kesunyian, ia bisa menjadi dirinya sendiri: seorang gadis yang masih belajar berdamai dengan masa lalu yang terus menghantui.
Teleponnya bergetar di saku.
Pesan dari Burhan:
> “Jangan lupa laporan untuk meeting sore nanti, Liv. Dan makan, jangan cuma minum kopi.”
Livia tersenyum kecil.
“Bahkan kopi aja udah cukup, Pak Burhan,” ujarnya pelan, sambil mengetik balasan.
Ia menatap kota sekali lagi sebelum berdiri.
Dari tempat setinggi itu, semuanya tampak kecil, kecuali rasa sepinya sendiri.
Beberapa saat kemudian, terdengar langkah bergema di koridor lantai paling atas, Narendra bersama Burhan muncul dari bawah.
“Saya cuma mau lihat ruang emergency dan area generator, Pak,” kata Narendra sambil melirik catatan di tabletnya.
“Baik, Pak. Tapi agak berdebu di atas, soalnya jarang dikunjungi,” jawab Burhan.
Begitu mereka keluar melalui pintu besi menuju rooftop, udara siang langsung menyapa, angin berhembus kencang, membawa aroma beton panas dan sisa asap kota.
Namun langkah Narendra terhenti.
Di sisi lain atap, duduk bersandar pada pagar pembatas, ada sosok perempuan yang tengah memegang segelas es kopi dan sebatang rokok.
Rambutnya tergerai tertiup angin, wajahnya menatap jauh ke langit, seolah dunia di bawah sana tak lagi penting.
Livia.
Burhan juga ikut terdiam, lalu tersenyum kaku. “Ah, itu… Livia Pak,. Kadang dia ke sini buat… ya, mungkin nyari udara segar.”
Nada suaranya canggung, seolah sedang meminta maaf.
Narendra mengangguk pelan. “Tak masalah.”
Tapi matanya belum beralih dari sosok itu. Ada sesuatu pada cara Livia duduk, ia terlihat tenang, tapi lelah. Seperti seseorang yang sedang bersembunyi dari dunia, walau tak tahu apa yang sedang ia hindari.
Livia baru sadar ada langkah mendekat. Ia buru-buru mematikan rokoknya dan berdiri, wajahnya sedikit terkejut melihat siapa yang datang.
“Pak… Narendra?”
Narendra mengangguk sopan. “Saya tidak bermaksud mengganggu. Kami hanya ingin mengecek ruangan di area ini.”
“Oh, nggak apa-apa, Pak. Saya memang cuma… cari angin,” jawabnya cepat, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.
Burhan mencoba mencairkan suasana. “Dibalik kerja kerasnya, Livia ini gampang burn out Pak. Kadang saya pikir dia perlu udara segar biar nggak stres sama angka-angka.”
Narendra tersenyum tipis. “Saya mengerti. Semua orang butuh tempat tenang, kan?”
Tatapannya jatuh pada gelas kopi di tangan Livia, lalu ke wajahnya yang setengah disembunyikan oleh cahaya matahari.
“Rooftop ini lumayan indah dari atas,” lanjut Narendra pelan. “Pemandangannya membuat semua hal terlihat lebih kecil.”
Livia menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Termasuk segala masalah yang ada ya, Pak?”
Narendra menatapnya, kali ini sedikit lebih lama.
“Termasuk itu.”
Hening beberapa detik. Angin berembus, membawa aroma kopi dan debu.
Burhan sibuk mengecek pintu ruang emergensi, tanpa sengaja memberi ruang tanpa kata di antara keduanya.
Livia menunduk pelan, lalu berkata, “Saya turun duluan, Pak. Takut telat nyiapin laporan.”
“Baik. Hati-hati di tangga,” jawab Narendra sopan.
Begitu Livia melangkah pergi, Narendra mengikuti dengan tatapan tak sengaja yang tertahan lebih lama dari seharusnya.
Ada sesuatu dalam sosok perempuan itu, campuran antara kekuatan dan kesedihan, yang anehnya membuat hatinya terasa… hangat dan berat di saat bersamaan.
Burhan menoleh setelah Livia menghilang. “Anak itu memang beda, Pak. Keras kepala, tapi dia selalu tulus dalam bekerja.”
Narendra hanya mengangguk, menatap langit biru yang mulai memutih di atas gedung.
“Ya… saya bisa lihat itu.”
...🥂...
...🥂...
...🥂...
...Bersambung.......
lanjut dong🙏🙏🙏