Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2. KEPUTUSAN SERIBU HARI
..."Antara bertahan di masa lalu, atau berjalan menuju takdir yang belum dikenal."...
...---•---...
Doni teringat berita-berita yang dulu hanya ia baca sekilas: perceraian kontroversial, spekulasi perselingkuhan, rumor depresi. Media seperti kawanan hiu yang mencium darah, mengerubungi setiap langkah Naira Adani.
Mungkin itu alasannya. Naira membutuhkan seseorang yang bisa dipercaya. Seseorang yang menjaga jarak, yang tidak akan menjual ceritanya ke media, yang hanya akan melakukan tugasnya: memasak.
Tapi bisakah Doni benar-benar melakukan itu? Memasak tanpa melibatkan perasaannya?
Sejak Sari meninggal, memasak adalah satu-satunya cara Doni menyalurkan rasa cintanya. Setiap potongan sayur, setiap taburan garam, setiap adukan saus, semuanya adalah bentuk perasaan yang tak lagi bisa ia terjemahkan menjadi kata-kata. Ia memasak untuk pelanggan yang tidak ia kenal, tapi di setiap hidangan ada kehangatan yang ia titipkan. Harapannya sederhana: semoga makanan itu bisa membuat seseorang tersenyum, walau hanya sebentar.
Jika ia harus memasak untuk Naira selama seribu hari, bisakah ia mematikan rasa pedulinya? Bisakah ia melihat seseorang menikmati masakannya setiap hari tanpa ikatan emosional sama sekali?
Ia bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju dinding dekat kasir. Foto Sari masih tergantung di sana. Perempuan berambut panjang itu tersenyum lebar, matanya bulat dan hangat. Tangannya memegang pisau koki, topi koki miring lucu di kepalanya. Itu foto saat hari kelulusan mereka dari sekolah kuliner, hari terakhir segalanya terasa sempurna.
"Aku tidak tahu harus bagaimana, Sari." Suaranya pelan, hampir seperti doa. "Restoran kita hampir bangkrut. Kalau aku tidak mengambil kesempatan ini, kita bisa kehilangan semua yang sudah kita bangun. Tapi kalau aku ambil, aku harus meninggalkan ini semua selama tiga tahun."
Jari-jarinya menyentuh bingkai foto, menyapu debu tipis yang menempel di permukaannya.
Foto itu tentu tidak menjawab. Sari tetap tersenyum seperti biasa. Tapi entah kenapa, Doni merasa ada kehangatan samar di dadanya. Ia teringat kata-kata Sari dulu, saat mereka berdua masih berdiri di dapur restoran yang baru dibuka:
"Memasak bukan cuma soal membuat kenyang, Don. Tapi soal menyembuhkan hati. Kalau ada orang butuh makananmu, itu artinya mereka butuh kehangatan yang kamu punya."
Naira Adani, aktris terkenal yang punya segalanya, tapi mungkin kehilangan sesuatu yang paling penting: kehangatan sejati.
Mungkin ia membutuhkan lebih dari sekadar koki. Mungkin ia membutuhkan seseorang yang bisa memasak dengan hati, bukan hanya dengan resep.
...---•---...
Pagi berikutnya, Doni duduk di warung kopi langganannya. Bangku kayu di bawahnya terasa dingin walau matahari sudah mulai naik. Ia memesan kopi hitam tanpa gula, seperti biasa. Asap panas mengepul dari cangkir keramik yang sudah pecah di pinggirnya, sementara laptop tuanya terbuka di meja. Kursor berkedip di kolom email, seperti jantung yang berdebar menunggu keputusan.
Jari-jarinya mulai mengetik pelan. Bunyi ketukan keyboard terdengar pelan di antara obrolan pengunjung lain.
Kepada Yth. PT Kulina Rasa Sejahtera,
Setelah mempertimbangkan dengan matang, saya menyatakan bersedia menerima posisi koki pribadi untuk Naira Adani selama 1000 hari. Saya siap menandatangani kontrak dan mulai bekerja sesuai jadwal yang ditentukan.
Hormat saya,
Doni Pradipta
Tangannya melayang di atas tombol kirim. Satu klik, dan hidupnya akan berubah. Satu klik, dan ia akan melangkah ke dunia yang sama sekali tidak ia kenal.
Tapi ia juga ingat tagihan yang menumpuk di laci meja kasir, surat peringatan dari bank yang datang setiap minggu, dan wajah-wajah para kokinya yang menggantungkan hidup dari gaji yang sering terlambat.
Ia menekan kirim.
Email terkirim. Bunyi whoosh pelan dari speaker laptop terasa seperti pintu yang tertutup di belakangnya. Doni menutup laptopnya dengan klik yang berat, lalu meneguk kopinya sampai habis. Rasanya pahit, tapi hangat mengalir turun ke tenggorokan.
...---•---...
Di luar jendela, Bandung mulai ramai. Angkot berwarna biru lewat dengan musik dangdut yang menggelegar, pedagang kaki lima membuka lapak, orang-orang berlalu-lalang menjalani hidup biasa. Tidak ada yang tahu bahwa di sudut warung kopi kecil ini, seseorang baru saja mengikatkan takdirnya sendiri.
Ponselnya berdering. Nomor Jakarta. Tania.
"Pak Doni, kami sudah terima emailnya. Terima kasih atas keputusannya!" Suara Tania terdengar riang. "Tim kami akan datang besok untuk penjelasan lengkap. Kontrak dimulai lusa. Bapak sudah siap?"
"Siap." Nada suaranya terdengar lebih tegas daripada perasaannya yang sebenarnya.
"Sempurna! Oh ya, satu hal lagi, Pak. Klien meminta agar pertemuan pertama dilakukan langsung di rumah beliau. Jadi besok Bapak akan kami antar ke kediamannya di Dago Pakar, Bandung. Manajer beliau yang akan menyambut."
"Baik."
"Sampai jumpa besok, Pak Doni. Selamat bergabung di program Koki Pribadi untuk Selebriti!"
Telepon terputus. Doni menatap ponselnya lama, layarnya perlahan meredup menjadi hitam. Besok. Lusa. Seribu hari akan dimulai.
...---•---...
Ia melangkah keluar dari warung kopi. Udara pagi masih sejuk, bau kopi bercampur aroma gorengan dari pedagang sebelah. Doni berjalan menuju restorannya yang tidak jauh dari situ, melewati toko-toko yang baru membuka pintu, menyapu trotoar, menyiram tanaman di pot-pot plastik.
Dapur Sari sudah buka. Andi sibuk menyiapkan bahan untuk makan siang. Suara pisau menetak talenan berirama teratur, irama yang sudah akrab selama bertahun-tahun. Bau bawang putih tumis mulai menguar dari kompor.
"Chef!" seru Andi begitu melihatnya. Pisau di tangannya berhenti di udara. "Jadi bagaimana? Sudah dapat kabar?"
"Aku terima. Mulai lusa."
"Lusa?!" Pisau di tangan Andi nyaris jatuh. "Cepat sekali! Terus restoran bagaimana?"
"Kamu yang pegang kendali sementara aku pergi. Aku sudah bicara sama pihak bank, mereka setuju tunda penagihan selama aku menjalani kontrak ini. Gajimu dan yang lain tetap jalan, malah bisa lebih lancar."
Andi terdiam. Matanya berkaca-kaca, lalu senyumnya merekah lebar. "Gila, Chef. Ini kesempatan besar. Tapi... kami akan rindu masakanmu."
Doni menepuk bahu anak muda itu. Tangannya terasa berat, seperti sedang melepas sesuatu yang berharga. "Tiga tahun cepat, kok. Setelah itu, kita renovasi restoran ini. Kita buat lebih bagus."
Tapi dalam hati, Doni bertanya-tanya: apakah ia benar-benar akan kembali sebagai Doni yang sama? Atau seribu hari itu akan mengubahnya menjadi orang lain?
Ia menatap lagi foto Sari di dinding. Senyumnya yang tidak pernah pudar, matanya yang masih berbinar walau hanya di balik kaca foto.
"Doakan aku, Sari." Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. "Semoga aku tidak kehilangan diriku sendiri di sana."
Foto itu tetap tersenyum.
Dan Doni berusaha meyakinkan diri bahwa senyum itu adalah restu yang ia butuhkan.
Besok, ia akan melangkah ke dunia baru. Dunia Naira Adani. Dunia yang tidak ia kenal, tapi entah kenapa, ia merasa memang ditakdirkan untuk masuk ke sana.
Undian. Takdir. Atau mungkin... sebuah ujian yang menyamar sebagai hadiah.
Doni tidak tahu. Yang ia tahu, seribu hari itu akan dimulai, dan hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Di talenan, potongan bawang bombai menunggu untuk ditumis. Doni mengambil spatula, menyalakan kompor. Api biru menyala, bunyi desisan gas mengisi keheningan. Ia menuang minyak, menunggu sampai permukaannya berkilau dan panas.
Lalu ia memasukkan bawang. Bunyi gemericik keras, aroma harum langsung menyebar. Andi berdiri di sebelahnya, ikut mengaduk wajan lain. Mereka bekerja berdampingan seperti biasa, seperti tidak ada yang akan berubah.
Tapi keduanya tahu, ini adalah hari-hari terakhir mereka bekerja bersama untuk waktu yang lama.
...---•---...
...Bersambung...