NovelToon NovelToon
Sultan Setelah Koma

Sultan Setelah Koma

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Mafia / Pengganti / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kebangkitan pecundang / EXO
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

JIWA ASEP DI TUBUH PEWARIS PRATAMA
​Aksa Pratama. Pewaris triliuner. Ganteng. Lemah. Dan... KOMA setelah disiksa ibu tiri sendiri.
​Semua orang menunggu Aksa mati agar harta Pratama Group bisa dijarah.
​Tapi yang bangun BUKAN Aksa. Melainkan ASEP SUNANDAR.
​Pemuda Sunda dari kampung, jago Silat Cimande (Paling Jago Se-Jawa Barat!), humoris kayak Kabayan, dan Savage-nya minta ampun!

simak kisahnya ada gaya action, romansa, komedi ada

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MANDI PERTAMA DI RUMAH MEWAH

BAB 5: MANDI PERTAMA DI RUMAH ORANG KAYA (REVISI NATURAL)

​Asep tidur siang sebentar buat recovery, tapi tidurnya kacau balau. Mimpi buruk terus menghantam: Mamahnya nangis di depan makam yang gelap, Ale adiknya murung, tatapannya kosong tanpa semangat. Pas dia bangun, perutnya langsung keroncongan keras banget, seolah ada drum di dalamnya.

​"Aduh, buset... Laperrr. Kapan makan euy..." Asep garuk-garuk perut sambil duduk di pinggir ranjang yang empuknya kelewatan.

​Tiba-tiba, ada ketukan pelan di pintu.

​"Tok... tokk... tokk..."

​"Mas Aksa? Saya Bi Ijah. Mau saya antarkan makanan?" Suara seorang wanita dari luar. Ramah sekali, suaranya lembut.

​"Eh, iya! Masuk, Bi! Bawa sini!"

​Pintu terbuka. Masuklah seorang wanita paruh baya, rambutnya diikat rapi, pakai seragam pembantu yang bersih. Wajahnya ramah, senyumnya tulus banget. Di tangannya ada nampan berisi semangkuk besar sup ayam yang asapnya masih mengepul, nasi putih pulen, sama jus jeruk dingin.

​"Ini makanan buat Mas Aksa. Nyonya Ratna pesan saya buatkan yang lembut dulu, buat perut Mas Aksa yang katanya masih sensitif," kata Bi Ijah sambil menata nampan di meja kecil.

​"Wah! Rezeki anak soleh!" Mata Asep langsung berbinar. "Terima kasih banyak, Bi Ijah! Wanginya enak pisan... eh, enak banget!"

​"Pisan? Maksud Mas Aksa?" Bi Ijah mengerutkan dahi, bingung.

​Anjir, keceplosan lagi.

​"Eh... maksud saya... ya ampun, wanginya enak banget, Bi, hehe..." Asep nyengir kaku, pura-pura garuk kepala.

​Bi Ijah senyum geli. "Mas Aksa ini kenapa jadi lebih ceria ya? Biasanya Mas Aksa itu pendiam, jarang ngomong, makan juga susah. Sekarang malah senyum-senyum, ketawa."

​"Ah... itu... saya lagi happy aja, Bi! Abis bangun dari koma kan... rasanya... rasanya hidup itu... indah!" Asep ngeles sekenanya, lalu langsung mengambil sendok—begitu suapan pertama sup ayam itu masuk ke mulutnya...

​"ENAK ANJIR INIII!!" teriak Asep, matanya melek lebar. Ia sampai ngejedot meja kecil saking kagetnya dengan rasa sup itu.

​Bi Ijah kaget sampai mundur selangkah. "Mas Aksa... kenapa teriak begitu?"

​"Ini... ini enak banget, Bi! Beneran! Ini masakan siapa?! Ini kayak masakan chef mahal! Bintang lima!" Asep makan dengan lahap banget. Susah payah dia menahan diri agar tidak makan seperti orang yang tidak pernah lihat makanan enak sebulan terakhir (padahal memang begitu).

​Bi Ijah ketawa pelan, menutup mulut. "Saya yang masak, Mas... Biasa aja, kok..."

​"BIASA AJA?! Bi Ijah teh... maksud saya, Bi Ijah ini jago masak banget! Lebih enak dari..." Asep berhenti, menahan diri untuk tidak membandingkannya dengan masakan Mamahnya. "...dari restoran mahal yang pernah saya coba!"

​Mata Bi Ijah berkaca-kaca. Dia tampak terharu. "Mas Aksa sekarang jadi lucu ya... Saya senang lihat Mas Aksa kayak gini. Lebih... hidup."

​Asep berhenti mengunyah. "Hidup?"

​"Iya, Mas... Maaf ya kalau saya lancang ngomong ini..." Bi Ijah duduk di kursi terdekat, tangannya meremas ujung celemek. "Selama ini Mas Aksa tuh kayak... kayak orang yang enggak punya semangat. Menyendiri di kamar, jarang makan, sering nangis. Bi Ijah sering dengar Mas Aksa nangis malam-malam, sampe bilang 'Aku enggak kuat... Aku pengen mati aja...' Bi Ijah sedih banget lihatnya, tapi enggak tahu harus bagaimana..." Bi Ijah cepat-cepat mengelap sudut matanya.

​Asep langsung terdiam, sendoknya menggantung di udara. Jadi... Aksa yang asli itu... separah ini? Sepengen itu buat mati?

​Aksa... kamu teh kenapa nggak cerita ke orang tua kamu? Kenapa kamu pendam sendiri? Rasa iba yang dalam menghantamnya.

​"Tapi sekarang... Mas Aksa beda. Ada api di mata Mas Aksa, senyumnya tulus. Bi Ijah senang banget... Makanya Bi Ijah bilang... Mas Aksa sekarang lebih hidup," Bi Ijah berdiri sambil tersenyum tulus. "Yaudah, Mas makan yang banyak ya biar cepat sembuh. Kalau mau nambah, panggil Bi Ijah aja."

​"Terima kasih banyak, Bi Ijah..." bisik Asep, senyumnya kali ini bukan ngeles, tapi penuh rasa terima kasih.

​Setelah Bi Ijah keluar, Asep melanjutkan makannya sambil berpikir keras.

​Aksa... lo gimana bisa bertahan selama ini? Sendirian... sedih... dibully... Nggak punya tempat buat ngungsi.

​"Tapi tenang, euy. Sekarang abdi yang ada di tubuh kamu. Abdi bakal buat hidup kamu jadi lebih baik," celetuk Asep pelan. "Aku janji. Walau aku nggak kenal kamu, aku nggak akan sia-siain tubuh yang kamu kasih—walau nggak sengaja."

​Setelah makan, Asep merasa badannya lengket banget—keringatan, dan bau obat rumah sakit masih nempel. Dia buka lemari, ambil handuk. Handuknya super lembut dan wangi banget—beda jauh sama handuk dekil di rumahnya Bandung yang warnanya sudah enggak jelas.

​"Yaudah, mandi ah, biar seger," Asep masuk ke kamar mandi sambil bawa handuk.

​Begitu dia lihat kamar mandinya...

​"ANJIIIIRRR! INI KAMAR MANDI APA KUBIKEL TEMPAT SPA HOTEL BINTANG TUJUH?!"

​Kamar mandi Aksa itu... MEWAH ABIS. Ada bathtub gede yang bisa buat tiga orang berendem. Shower-nya pakai teknologi rain shower yang kepalanya segede piring. Wastafel marmer putih mengkilap. Cermin gede satu dinding. Bahkan ada sauna kecil di sudut!

​"Euy... orang kaya mah mandi pun dimanja pisan... Di Bandung mah mandi pake gayung, airnya dingin, kadang suka ada kecoak nyelonong lewat..." Asep geleng-geleng kepala, matanya melihat sekeliling dengan penuh kekaguman.

​Tapi begitu dia lihat sabun-sabunnya—shower gel, shampoo, conditioner, body lotion—semuanya branded mahal. Ada yang tulisannya bahasa Inggris, ada yang bahasa Prancis.

​"Ini... ini gimana makenya? Kok banyak banget? Yang mana buat badan? Yang mana buat rambut? Yang mana buat... apaan sih ini, parfum rambut?!" Asep frustrasi, mengambil satu per satu botolnya, mencoba membaca label, tapi enggak mengerti.

​Di rumah mah cuma ada sabun batang satu buat mandi, keramas, semuanya. Simple. Ini mah ribet anjir.

​Dia ambil satu botol yang ada gambar rambutnya. "Yaudah, ini kayaknya shampoo..."

​Ternyata itu conditioner—harus dipakai setelah shampoo.

​Asep tuang ke tangan, lalu gosok-gosok ke rambut. "Kok lengket gini ya... Licin... Aneh..."

​Dia bilas, tapi rambutnya malah jadi lepek kayak habis pakai gel.

​"Ah sial. Salah kayaknya. Coba yang ini!" Dia ambil botol lain.

​Ternyata itu body lotion.

​"Eh ini juga bukan! Aduh..." Asep mengacak rambutnya sendiri.

​Akhirnya, setelah 45 menit trial and error—sambil nyalain shower yang ternyata punya sepuluh mode berbeda (rain, massage, mist, tropical waterfall, dll.) yang bikin dia basah kuyup enggak jelas—Asep selesai mandi. Rambutnya entah kenapa jadi super lembut dan wangi kayak bintang iklan TV.

​Dia keluar kamar mandi, handuk melilit di pinggang, lalu menatap cermin besar di kamar.

​Dan baru sadar...

​Tubuh Aksa itu... kurus kering banget. Tulang rusuknya kelihatan jelas. Perutnya rata, tapi bukan six pack—cuma emang kurus. Lengannya kecil, enggak ada otot sama sekali. Kayak orang yang enggak pernah olahraga dan enggak pernah makan teratur.

​"Astaga... Aksa teh kayak enggak pernah makan... Tulang semua..." gumam Asep sambil mengelus perutnya yang rata. "Pantesan gampang dibully... Badannya lemah gini. Harus gendut dikit nih biar ada tenaga. Dan... harus latihan silat lagi biar kuat."

​Asep mencoba menggerakkan tubuhnya—jurus silat dasar yang dulu dia hafal di luar kepala. Gerakan tangannya masih luwes (muscle memory jiwa kayaknya ikut pindah), tapi badannya terasa enggak punya tenaga sama sekali. Kayak menggerakkan tubuh boneka kayu.

​"Harus latihan dari awal lagi ieu mah... Dari nol. Tapi gapapa, aku udah biasa mulai dari nol," Asep senyum tipis, menatap pantulan dirinya di cermin.

​Aksa... aku pinjam tubuh kamu ya. Aku janji bakal jaga ini baik-baik. Aku nggak akan sia-siain...

​Dia pakai baju—baju tidur yang ada di lemari. Semua baju Aksa branded mahal semua. Ada Gucci, Louis Vuitton, Balenciaga. Bahkan ada Supreme yang masih ada price tag-nya—Rp25 juta buat satu kaos!

​"KOK MAHAL BANGET ANJIR! Ini mah bisa buat bayar kontrakan setahun!" Asep memegang kaosnya pelan-pelan, takut robek. "Aksa teh... duitnya ke mana aja sih... Beli baju mahal-mahal tapi badan kurus enggak keurus... Prioritasnya gimana sih?"

​Akhirnya dia pilih yang paling simpel—kaos hitam polos sama celana training. Tapi pas dia cek harga di tag yang masih menempel... Rp18 juta.

​"Ya Allah... hamba pakai baju seharga motor..." Asep geleng-geleng kepala, pasrah.

​TOK TOK!

​"Aa! Makan malam! Yuk turun!" suara Arkan dari luar, ceria banget.

​"Oke! Tunggu sebentar ya!"

​Asep mengecek diri di cermin sekali lagi—rambutnya basah, mukanya segar, badannya bersih (walaupun kurus).

​"Yaudah... saatnya ketemu keluarga besar Pratama. Semoga enggak ada drama dulu malam ini..." gumam Asep sambil menarik napas panjang, menyiapkan mental.

​Tapi... harapannya salah besar. Karena yang menunggunya di bawah... bukan cuma keluarga yang baik hati.

​BERSAMBUNG

1
Dewiendahsetiowati
mantab Asep
Dri Andri: makasih ya kak
total 2 replies
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Dri Andri: terimakasih kak dewi
total 1 replies
Tình nhạt phai
Keren banget, semoga ceritanya terus berkualitas author!
Dri Andri: Oke simak lebih dalam yahh
total 1 replies
DreamHaunter
Pengen lebih banyak!
Dri Andri: Oke selanjutnya saya bikin bayak kata yaa
simak terus yah
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!