Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#14
Happy Reading...
.
.
.
Sore itu, Raka pulang dengan langkah berat. Hatinya masih di liputi ke gundahan karena resep obat yang tersimpan di saku kemejanya. Keputusan yang ia ambil pagi tadi seolah melekat di pikirannya sepanjang hari, menghantui langkahnya hingga kembali ke rumah.
Namun tepat saat ia membuka pintu dan melangkah masuk, langkahnya terhenti.
Dari ruang keluarga, terdengar suara tawa kecil Jingga bercampur suara lembut Naira. Raka tidak sengaja berhenti di ambang pintu berusaha untuk tidak terlihat oleh mereka berdua.
Naira duduk di bawah di atas karpet sedangkan Jingga di pangkuannya sambil memeluk boneka kelinci favoritnya.
Senyum hangat tergambar di bibir perempuan itu, senyum yang Raka tidak pernah lihat sejak pertengkaran mereka.
“Jingga tahu tidak…” ucap Naira sambil membelai rambut anak itu, “Di dalam perut Mama ada adik kecil.”
Jingga mengangkat kepala dengan mata bulat yang berbinar. “Adek kecil?”
“Iya, Sayang,” jawab Naira penuh kelembutan. “Adek kecil yang nanti bisa Jingga sayang. Bisa Jingga ajak bermain. Kalau Jingga besar, Jingga bisa bantu mama jaga adiknya, ya?”
Jingga tertawa kecil, lalu menepuk perut Naira dengan tangan mungilnya. “Halo adek… aku kakak Jingga…”
Naira terkekeh lembut. “Hati-hati… adiknya masih kecil sekali, sayang.”
Raka terpaku. Suaranya tercekat. Punggungnya menegang. Ia melihat bagaimana Jingga merapat pada Naira, memeluk perutnya seolah benar-benar sedang memeluk adiknya. Pemandangan itu… entah kenapa membuat dadanya terasa sesak.
“Nanti kalau adiknya lahir, Jingga jangan nakal, ya. Kakak harus bisa berbagi mainan.” Naira melanjutkan, ia masih belum menyadari keberadaan Raka.
“Jingga baik…” jawab Jingga polos, “Jingga sayang Mama… sayang adek… sayang papa.. Sayang semuanya.” Ucapan itu menghantam dada Raka lebih keras daripada tamparan mana pun.
Untuk sesaat, ia semakin merasa ragu.
Tangan yang tadi menggenggam jasnya kini perlahan melemah. Ia menghembuskan napas panjang dan penuh kebimbangan yang tidak ia tunjukkan pada siapa pun.
Namun saat masih sibuk dengan pikirannya, Jingga menoleh dan melihatnya.
“Papa…!” panggilnya sambil tersenyum cerah.
Raka tersentak kecil. Ia hanya membalas dengan senyuman lalu memilih berjalan melewati mereka begitu saja.
Jingga memanggilnya lagi. “Papa… sini liat adek…” Ajaknya sambil menunjuk perut Naira.
Namun Raka hanya terus melangkah, seolah panggilan itu tidak pernah ia terdengar.
Naira menatap punggung Raka yang menjauh dengan mata sendu. Ada sesuatu yang semakin mengganjal dihatinya tapi ia tidak tahu apa. Tapi yang pasti, Raka saat ini semakin menjauh darinya.
.
.
.
Setelah mengabaikan panggilan Jingga dan melewati Naira tanpa sepatah kata pun, Raka memilih masuk ke kamar yang sejak seminggu terakhir menjadi tempatnya untuk menenangkan diri. Ia menutup pintu pelan, lalu bersandar pada daun pintu dengan kepala tertunduk.
Sesak. Seolah semua masalah memenuhi ruang kepalanya sehingga membuatnya tidak bisa bernapas dengan benar.
Raka berjalan perlahan menuju meja kecil di sudut kamar dan menarik laci paling atas. Ia mengambil sebuah bingkai foto. Foto lama dirinya bersama Nayla, istrinya yang telah tiada. Foto itu sudah berkali-kali ia pegang, namun malam ini rasanya berat, jauh lebih berat dari biasanya.
Ia duduk di tepi ranjang sambil menatap foto itu lama. “Aku harus bagaimana, Nay…?” bisiknya pelan, nyaris seperti rintihan. “Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa…” Ia mengusap wajahnya kasar, lalu menghela napas panjang.
“Aku tahu… ini berdosa,” lanjutnya dengan suara bergetar. “Tapi aku… aku juga tidak bisa membiarkan anak yang bahkan aku tidak tahu siapa ayah kandungnya itu terlahir ke dunia ini. Kamu mengerti, kan Nay…?"
Raka memejamkan kedua matanya. Bayangan Jingga yang memeluk perut Naira tadi kembali muncul. Ia menggeleng keras, berusaha menepis bayangan itu. Ia tidak mau membiarkannya mengubah keputusan yang sudah ia buat. Setidaknya itulah yang ia yakinkan pada dirinya sendiri.
“Tapi… kenapa sekarang aku justru ragu?” gumamnya pelan. “Aku merasa seperti seorang pengecut yang tidak bisa memegang keputusannya sendiri?”
Ia menatap foto Nayla lagi. Tatapannya seperti memohon jawaban dari seseorang yang akan menentukan nasibnya kedepan.
Suara Raka terdengar serak. “Sebenarnya kehidupan seperti apa yang kamu jalani, Naira…? Apa yang kamu sembunyikan dariku selama ini?” Untuk kali ini nama Naira yang terucap.
Sejak hari kecelakaan itu, ia beberapa kali memikirkan hal- hal yang tidak pernah bisa dijelaskan oleh perempuan itu. Luka-luka memar yang ditemukan dokter pada tubuhnya, Nairapun tidak ingat.
Raka menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang, menatap langit-langit kamar.
“Apa kamu benar- benar hidup bahagia seperti yang aku lihat Nay…?” bisiknya kosong. “Atau kamu hidup dalam kehidupan yang tidak pernah aku ketahui…”
Lalu sebuah nama terlintas di kepalanya. Nama seseorang yang sudah lama tidak pernah bertemu dengannya.
Arvino. Tunangan Naira.
Laki- laki yang ia tahu pernah mengisi hidup Naira. "Atau ini anak Arvino?" Ucap Raka lirih. "Tapi tidak mungkin jika melihat bagaimana kehidupan yang Arvino jalani di keluarganya."
.
.
.
Raka berjalan perlahan memasuki kamarnya bersama Naira. Lampu kamar redup, hanya memberi cahaya lembut yang jatuh di wajah gadis itu. Ternyata Naira sudah tertidur sambil memeluk Jingga, boneka kelinci yang selalu ia bawa berada disisi lain Jingga. Nafasnya teratur, namun wajahnya tampak lelah. Kedua matanya sembab.
Raka mendekat dengan hati-hati, lalu merapikan selimut yang sedikit tersingkap dari tubuh Naira. Tidak ada suara, tidak ada gerakan lain selain napasnya yang tenang. Setelah memastikan Naira dan Jingga nyaman, Raka berjalan menuju kamar mandi untuk berganti pakaian.
Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan kaus longgar dan celana tidur. Langkahnya pelan, seolah takut membangunkan Naira. Ia naik ke tempat tidur dengan hati-hati, memilih sisi yang kosong. Tubuhnya perlahan ia rebahkan, lalu ia tidur menyamping menghadap Naira.
Satu tangannya ia jadikan bantal tambahan, sementara matanya tak lepas dari wajah Naira yang tenang namun masih menyimpan sisa kesedihan. Raka menghela napas pendek. Ada sesuatu yang menyesakkan dadanya saat melihat gadis itu dalam kondisi seperti ini.
Untuk pertama kalinya, Raka mengangkat tangannya perlahan. Ujung jarinya menyentuh pipi Naira, menghapus sisa air mata yang belum sempat mengering. Sentuhan itu membuat hatinya bergetar aneh. Ia tidak mengerti, atau mungkin tidak ingin mencoba untuk lebih mengerti.
“Apa aku harus mempertahankan anak ini…?” gumam Raka dalam hati.
Matanya melirik samar ke perut Naira yang terlihat sedikit membesar. Ada nyawa di sana. Nyawa yang bahkan tidak meminta untuk hadir.
Raka menutup mata sejenak, lalu membukanya kembali sambil menatap Naira. Kalau aku membiarkanmu melahirkan anak ini, apa ini bisa membuat hidupmu akan semakin hancur? Atau… justru ini takdir yang harus kujalani meski aku tidak mau?
Ia menarik napas panjang. Nayla… kalau kamu masih ada, apa kamu akan menyuruhku mempertahankan anak ini? Atau kamu akan marah karena aku membiarkan semua ini terjadi pada Naira?
Raka menundukkan kepala sedikit, suaranya hampir tidak terdengar.
“Aku harus bagaimana…? Aku tidak ingin membuat kesalahan.”
.
.
.
Jangan Lupa tinggalkan jejak...