Arash Maulidia, mahasiswi magang semester enam yang ceroboh namun gigih, tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena satu tabrakan kecil di area parkir.
Mobil yang ia senggol ternyata milik Devan Adhitama — CEO muda, perfeksionis, dan terkenal dingin hingga ke nadinya.
Alih-alih memecat atau menuntut ganti rugi, Devan menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat:
Arash harus menjadi asisten pribadinya.
Tanpa gaji tambahan. Tanpa pilihan. Tanpa ruang untuk salah.
Hari-hari Arash berubah menjadi ujian mental tanpa henti.
Setiap kesalahan berarti denda waktu, setiap keberhasilan hanya membuka tugas yang lebih mustahil dari sebelumnya.
Devan memperlakukan Arash bukan sebagai manusia, tapi sebagai mesin yang harus bekerja sempurna — bahkan detik napasnya pun harus efisien.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah yang Tak Pernah Jadi Pulang
Pagi itu..
Devan sudah melajukan mobil sejak matahari bahkan belum sepenuhnya muncul. Jalanan masih lengang, udara pagi masih dingin, namun pikirannya justru sesak. Ia memutar setir masuk ke area perumahan kecil di pinggiran kota—tempat yang hanya ia datangi ketika luka lama kembali berdarah.
Mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Catnya masih sama seperti empat tahun lalu, halaman depan dipenuhi rumput yang sengaja ia tanam sendiri, dan pohon jambu yang dulu ia pilih dari bibit kecil kini tumbuh lebih tinggi darinya.
Rumah itu… rumah impiannya.
Rumah yang harusnya menjadi tempatnya pulang. Tempat anak-anaknya berlari-lari. Tempat ia pulang kerja dan disambut pelukan hangat sang istrinya.
Namun semuanya hanya tinggal angan.
Devan turun, membuka pagar besi hitam, dan melangkah masuk. Ia menatap setiap sudut rumah itu, lalu menarik napas panjang yang terdengar berat.
Hari ini… tepat empat tahun sejak kehidupan dan harapannya dirusak.
Di teras belakang, Devan duduk di kursi kayu. Dulu ia membuat teras itu khusus agar bisa bersantai bersama Chyntia. Namun sekarang, hanya ada dirinya dan udara pagi yang menusuk.
Ingatan itu kembali menyergap—tajam, jelas, memuakkan.
Empat tahun lalu, ia baru pulang dari Kanada. S2-nya selesai. Ia pulang tidak memberi kabar karena ingin memberi kejutan pada wanita yang ia pacari sejak SMA. Sepuluh tahun hubungan mereka… sepuluh tahun ia mencintai Chyntia dengan seluruh hatinya.
Sepuluh tahun ia percaya buta.
Namun yang ia temukan saat membuka pintu apartemen Chyntia… bukan senyum bahagia.
Melainkan pengkhianatan.
Ia melihat tubuh Chyntia dan Joshua—sahabatnya, orang yang ia anggap keluarga—berada di tempat tidur. Tangan mereka saling menggenggam, tubuh mereka saling menempel, suara mereka…
Devan memejamkan mata keras ketika memori itu muncul. Rahangnya menegang.
Semua barang branded yang ia berikan. Semua perjalanan ke luar negeri. Semua usaha untuk membahagiakan Chyntia.
Ternyata tidak cukup.
Alasan Chyntia sederhana—sederhana tapi menghancurkan.
“Gue kosong, Dev. Lo jarang di sini. Gue butuh kepuasan batin yang lo nggak bisa kasih setiap gue ingin. Joshua ada, dia lebih ngerti, lebih bisa…”
Devan mengusap wajahnya kasar. Ia bahkan bukan orang pertama Chyntia, padahal ia sudah memberikan segalanya. Ia tak pernah mempermasalahkan itu, ia mencintainya dengan tulus.
Dan cinta itu dibayar dengan kehancuran.
Ia menarik napas panjang, tatapannya kosong ke halaman yang dulu ia rawat penuh harapan.
“Kalau bukan karena gue kuat… gue pasti udah gila,” gumamnya lirih.
......................
Sementara itu, jauh dari rumah itu, seorang gadis sedang tenggelam dalam dunia yang jauh berbeda.
Di kamar kos kecilnya, Arash sedang duduk di lantai dengan bantal besar sebagai sandaran. Laptop mahalnya—yang ia sembunyikan dari semua orang di kantor—bertengger di pangkuannya. Drama China yang ia tonton sudah masuk episode 15, dan ia bahkan tidak sadar sudah menontonnya hampir empat jam.
Hari Minggu. Hari malas. Hari istirahat dari segala drama kantor, terutama drama bernama Devan Adhitama.
Ia menguap pelan, meraih sebungkus keripik, lalu melanjutkan menonton.
Ponselnya sebenarnya sudah ia charge semalaman, tapi ia malas membuka data seluler. Ia butuh istirahat. Ia ingin menghabiskan hari tanpa diganggu siapapun.
Terutama pria arogan yang kemarin membuat jantungnya seperti naik roller coaster—antara takut, marah, dan… entahlah.
Perutnya tiba-tiba berbunyi.
“Aduh lapar…” rengeknya lemas.
Ia malas bangun. Sangat malas.
Akhirnya ia meraih ponsel, menyalakan data, dan langsung membuka aplikasi makanan online.
Namun…
Ding! Ding! Ding!
Notifikasi berderet masuk. Puluhan.
Arash membeku.
Nama pengirimnya sama semuanya.
Devan.
Pesannya tak sempat ia baca, karena baru melihat deretan notifikasi saja sudah membuat dadanya sesak.
“Aduh… Pak Devan lagi apa sih?” Arash menegakkan tubuh, tapi wajahnya menegang.
Ia menatap layar beberapa detik—lalu memutuskan menekan aplikasi makanan dulu. Ia memesan makanan tanpa pikir panjang, dan secepat itu pula mematikan kembali data seluler.
“Nanti aja lihatnya… lagi nggak kuat,” gumamnya sambil merosot ke bantal.
......................
Di rumah kecil itu, Devan masih duduk mematung. Ia mengambil ponselnya, membuka chat Arash yang belum centang dua.
Ia mengetik satu pesan lagi.
“Arash… kamu lagi apa?”
Namun setelah menatap layar beberapa detik, ia menghapus semuanya.
Ia bersandar, menatap langit biru yang tertutup sebagian oleh daun jambu yang bergoyang tertiup angin.
Dalam hati, ia bicara lirih, hampir seperti sebuah pengakuan yang ia simpan bertahun-tahun.
“Kenapa perasaan gue sekarang malah kayak… takut kehilangan kamu Rash?”
Angin pagi berhembus, namun sesak di dadanya tidak ikut hilang.
Dan untuk pertama kalinya setelah empat tahun, Devan bertanya-tanya…
Apakah hatinya sudah mulai goyah?
Atau justru mulai sembuh—karena seseorang yang bahkan tidak pernah ia duga?
mellow banget...... beneran nangis aku ini.....
pe di ledekin ma bocil......😭😭😭😭
😡
ga sabar tunggu update nya....💪
dengan begitu Devan bisa istirahat dari kerjaan nya...ga seperti robot lagi....
di tambah bonus...bisa lebih intens lagi dengan Arash.....💪