NovelToon NovelToon
RAHIM TERPILIH

RAHIM TERPILIH

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Dosen / Identitas Tersembunyi / Poligami / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.

"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.

Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.

Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.

Aditya.

Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KEPERCAYAAN

Istri kamu itu, Dit… harusnya belajar jadi ibu yang bener! Jangan hamil tapi masih keluyuran begitu.

Tuduhan Ratna dan Maya masih menggema di kepalanya. Asha duduk perlahan di sofa. Tangannya mengusap perutnya yang masih kecil, seolah mencari kekuatan di sana. Napasnya teratur, tapi matanya berkaca-kaca.

Asha menunduk. Dia bukan tipikal wanita rapuh, tapi kata-kata tajam dua wanita itu seperti memukul tepat ke tempat yang paling sensitif.

Hmmm… mmm.” Ratna menyeringai kecil, meletakkan kantong belanja di meja rias. “Makasih ya, udah ambil pesanan Mama tadi.”

Nada suaranya ringan… terlalu ringan. Seakan ia tak sadar bahwa ucapannya di ruang makan tadi telah menusuk Asha hingga ke hatinya.

Asha menatapnya, tubuhnya menegang. Ia bangkit perlahan dari posisi duduk, matanya melebar sedikit—bukan karena takut, tapi karena kecewa. “Tante…” Suaranya bergetar, namun ia menahan diri untuk tetap tegas, “…kenapa tega memperlakukan aku seperti itu… di depan Mas Adit?”

Ratna mendesis sambil mengangkat alis, “Memperlakukan kamu seperti apa?” Tanyanya datar.

"Tadi Tante marahin aku. Di depan Mas Adit. Di depan Mbak Maya. Seolah aku ini nggak ngerti cara jaga kandungan… seolah aku selalu salah. Padahal, Tante sendiri yang minta aku buat ambil pesanan Tante."

Ratna berdiri tegap, menyilangkan tangan di dada. "Jadi kamu salahin saya, begitu?!"

"Kenapa Tante nggak pernah lihat aku dengan baik? Aku selalu coba menghormati Tante. kenapa, kenapa… Tante selalu buat aku seolah aku ini… salah?”

Sekilas, mata Ratna bergerak. Ada sesuatu yang hampir mirip kejengkelan, atau mungkin ketakutan yang melintas cepat sebelum ia kembali mengeraskan ekspresi.

“Asha.”

Panggilan itu meluncur dari bibir Adit—tegas, dalam, dan cukup keras untuk membuat keduanya terkejut. Ratna menoleh cepat, wajahnya menegang. Sementara Asha spontan mendongak, matanya membesar.

Adit melangkah masuk sepenuhnya, melangkah lebih dekat ke arah mereka. Tatapannya tajam, penuh penasaran.

"Adit, istri kamu… dia nyalahin Mama!” Ucap Ratna cepat dengan suara meninggi, seolah tak memberi ruang untuk mereka bicara dan merasa dirinya yang paling disakiti di ruangan itu.

Nada Ratna bukan sekadar tersinggung—ada tuntutan, ada rasa tidak terima, dan ada hasrat untuk mendapatkan pembelaan dari Adit seperti dulu… sebelum Asha hadir. "Mama cuma ingetin dia soal tadi. Mama cuma khawatir calon cucu Mama kenapa-kenapa kalau Asha terlalu capek. Tapi dia malah nyalahin kalau Mama itu ngekang dia!"

Asha terkejut.

Tubuh Asha refleks tegak, matanya melebar. “Tante…" Lirihnya bergetar. Matanya menoleh memandang Adit. "Mas, ini gak seperti yang kamu bayangkan. Mama kamu yang nyuruh, Mas. Aku tidak sama sekali—"

"Pinter banget ya, kamu!" Potong Ratna cepat. "Kamu yang belanja, pulang telat ke rumah, dan sekarang... kamu menyalahkan dalam posisi ini saya yang salah bahkan kamu nuduh saya sembarangan?!"

"Tante kenapa gak jujur sama Mas Adit?"

Ratna mendesis. "Jujur soal apa?! Jelas-jelas kamu yang—"

“CUKUUUP!”

Potongan suara itu memecah udara seperti kaca yang dilempar keras ke lantai. Adit mengucapkannya cepat—tepat—dan lebih keras dari yang pernah Asha dengar sebelumnya.

Ratna tersentak, bola matanya membesar dan berkaca. Asha bahkan langsung kaku, seolah dunia berhenti sejenak. Tangannya yang tadi menggenggam ujung kain bajunya terlepas, dan detak jantungnya melonjak tak karuan.

Karena ini adalah kali pertama Asha melihat Adit marah.

Rahang pria itu mengeras, garis wajahnya menegang kuat. Otot di rahangnya tampak berkedut, menahan amarah yang sudah meluap. Sorot mata Adit yang biasanya hangat, teduh… kini berubah tajam, menusuk, dan penuh ketegasan yang tidak bisa dibantah.

Dadanya naik turun, napasnya terdengar lebih berat, namun tetap terukur. Ia tidak berteriak, tapi nadanya mengandung kekuatan yang jauh lebih menakutkan daripada teriakan mana pun.

Asha masih memandangnya dengan mata membulat. Ia tidak pernah melihat sisi ini dari suaminya. Biasanya Adit selalu sabar, menenangkan, dan lembut. Tapi sekarang… ekspresi itu sepenuhnya berbeda—tegas, keras, dan tak memberi ruang untuk dibantah.

"Urus istri kamu ini! Mama gak terima kalau di tuduh seperti ini!" Gumam Ratna. Ia menatap Adit sekilas—tatapan yang campur aduk antara tersinggung, kecewa, dan gengsi yang terluka. Lalu ia berbalik cepat, langkahnya berat dan terburu-buru, seolah ingin menutup perdebatan dengan cara meninggalkan mereka.

Dan…

Hening.

Hening yang begitu tebal, seolah mengikat seluruh ruangan. Tak ada suara lain—hanya dengung samar kipas angin dan napas Asha yang bergetar kecil.

Adit masih berdiri di tempatnya, bahunya naik turun perlahan, mencoba meredakan amarah yang masih menusuk-nusuk dadanya.

"Mas..." Lirih Asha kemudian.

"Kita bicara di kamar."

****

Adit menutup pintu kamar perlahan, namun bunyinya tetap terdengar jelas di telinga Asha—seperti palu yang jatuh, memaksa jantungnya berdebar lebih cepat. Suasana di dalam kamar terasa berbeda, lebih berat, lebih padat… seakan dinding ikut menahan napas.

Asha berdiri mematung di tengah ruangan, menggenggam jemari sendiri yang dingin. Sementara Adit berjalan melewatinya, menahan emosi yang jelas-jelas masih bergolak. Bahunya naik turun perlahan, napasnya ditarik panjang sebelum akhirnya ia berbalik menghadap Asha.

Asha menelan saliva, "Mas..."

“Kamu jelasin ke aku. Apa yang sebenarnya terjadi barusan?” Tanya Adit kemudian. “Mas… aku keluar bukan karena kemauanku sendiri.” Lirih Asha. "Tadi… Tante Ratna bilang butuh bahan kue untuk teman arisannya di acara besok."

"Mama yang nyuruh kamu?”

“Iya, Mas." Angguk Asha. "Aku nggak mungkin keluar seenaknya… apalagi kondisi aku lagi hamil muda. Aku takut bikin Mas khawatir.”

Adit mengambil napas dalam. Ia berjalan maju, menahan rambutnya dengan satu tangan, tanda ia sedang mengolah kemarahan, tapi bukan pada Asha.

" Mas, apa kamu gak percaya sama aku?" Desak Asha. Aku gak akan diam… selama itu benar."

Adit mengangguk. "Mulai sekarang, kalau ada yang nyuruh kamu, siapa pun itu… kamu bilang ke aku dulu. Biar aku tahu, siapa yang benar dan siapa yang salah." Jelasnya lembut. "Sekarang... Istirahatlah."

"Mas…” Suara Asha terdengar pelan, hampir patah. Ia menunduk sebentar sebelum kembali mengangkat wajah, menatap Adit yang sejak tadi berdiri tegap di depannya, seolah menghalangi seluruh dunia mendekat.

“Jujur,” Lanjut Asha, suaranya bergetar namun tetap tegas, “Kalau aku keluar rumah tadi… itu bukan permintaan aku. Aku sadar diri, Mas. Aku tahu kondisi aku sekarang, aku harus jaga kandungan aku baik-baik.”

Asha menelan ludah, tangannya menyentuh perutnya refleks. “Tapi aku juga… nggak bisa diam terlalu lama di rumah. Aku harus kembali bekerja, bertanggung jawab atas karir aku dan—”

“Aku paham soal itu,” Potong Adit tanpa menghardik, nadanya lembut namun serius. Ia mendekat setengah langkah, suaranya menurun seperti takut melukai. “Aku ngerti kamu sayang sama pekerjaan kamu. Aku tahu kamu nggak mau kehilangan apa yang sudah kamu bangun selama ini.”

Asha memejamkan mata sebentar, mencoba menahan emosi yang naik.

Adit melanjutkan, lebih pelan, “Setelah kandungan kamu cukup kuat, aku ijinkan kamu kembali menjalani aktivitas seperti biasanya. Ngajar lagi, ketemu mahasiswa... aku tahu itu penting buat kamu.”

Asha menatapnya, ragu, antara lega dan tidak yakin.

“Tapi untuk sementara waktu ini…” Adit mengembuskan napas, kemudian meraih kedua tangan Asha, menggenggamnya dalam jemari hangat yang biasanya jadi tempat Asha bersandar. “…biar aku yang bicara sama rektor kampus kamu.”

Asha terbelalak kecil. “Mas mau… ngomong langsung?”

Adit mengangguk. “Iya. Aku nggak mau kamu stres mikirin pekerjaan kamu. Aku nggak mau kamu merasa bersalah karena harus istirahat. Biar aku jelasin ke pihak kampus soal kondisi kamu. Mereka pasti ngerti.”

Asha menunduk, bukan karena malu—tapi karena hatinya terasa sesak. Campuran lega, terharu, dan takut bersamaan. " Makasih ya, Mas."

"Aku percaya kamu bisa jaga calon anak kita, sayang." Lirih Adit, kemudian mengecup kening Asha. Lama.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!