NovelToon NovelToon
Suami Setengah Pakai

Suami Setengah Pakai

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aluina_

Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

Ketenangan baruku adalah badai bagi Kak Binar. Perlawananku yang tak terduga dan elegan membuatnya kehilangan pijakan. Taktik manipulasi halusnya tidak lagi mempan, dan sindiran-sindirannya selalu berhasil kupatahkan dengan senyum dan logika yang memojokkannya. Dia seperti pemain catur yang semua langkahnya sudah bisa ditebak oleh lawan. Dan itu membuatnya semakin frustrasi dan nekat.

Menyadari bahwa perang psikologisnya gagal, Kak Binar memutuskan untuk mengubah arena pertempuran. Dia tidak bisa lagi mengendalikanku secara emosional, jadi dia mulai mencoba mengendalikanku secara fisik, menggunakan rumah sebagai kerajaannya di mana dia adalah sang ratu dan aku hanyalah rakyat jelata.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil.

"Arin, nanti tolong setrika kemeja Mas Danu yang warna biru langit ya," pintanya suatu pagi saat aku sedang bersiap berangkat kerja. "Tanganku lagi sakit, nih. Nggak kuat pegang setrika."

Aku menatap tangannya yang sedang memegang cangkir teh dengan sempurna, tidak ada tanda-tanda kesakitan. Aku tahu ini adalah tes. "Bukannya biasanya tugas Bibi, Kak?" tanyaku.

"Bibi lagi sibuk nyuci gorden. Lagian, apa salahnya sih bantu kakak ipar sendiri? Kamu kan juga istrinya," katanya, menekankan kata 'juga' dengan nada sinis. Dia ingin mereduksi statusku menjadi asisten rumah tangga kedua.

Dulu, aku mungkin akan menurutinya demi menghindari keributan. Tapi tidak lagi.

"Maaf, Kak. Aku sudah mau telat," jawabku sambil melirik jam tanganku. "Mungkin Mas Danu bisa pakai kemeja lain hari ini. Atau kalau memang harus yang itu, Kakak bisa minta tolong Mas Danu sendiri. Dia kan punya dua tangan yang sehat."

Aku sengaja mengatakannya saat Mas Danu baru saja turun dari tangga. Dia berhenti, mendengar perkataanku, dan menatap Kak Binar yang wajahnya langsung memerah karena marah dan malu.

"Arin!" desisnya.

"Aku berangkat dulu, semua," kataku ceria, mengabaikannya, dan berjalan melewati mereka.

Itu adalah deklarasi perang terbuka. Aku tidak akan lagi menjadi pesuruhnya.

Sejak saat itu, "perintah-perintah" Kak Binar menjadi semakin sering dan tidak masuk akal. Dia akan menumpahkan jus di lantai dan memanggilku untuk membersihkannya dengan alasan "pinggangku lagi sakit". Dia akan membongkar isi lemarinya dan memintaku merapikannya dengan alasan "aku pusing lihat baju berantakan".

Setiap kali, aku akan menolaknya dengan sopan tapi tegas, seringkali di depan anggota keluarga lain. "Maaf, Kak. Aku sedang kerja." "Maaf, Kak. Itu kan tugas Bibi." "Kak, coba deh pakai balsem ini untuk pinggangnya, manjur lho."

Penolakanku yang konsisten membuatnya tampak seperti tiran yang malas dan manja, sementara aku terlihat seperti adik ipar yang sibuk namun tetap sopan. Perlahan, simpati di rumah itu mulai bergeser. Ayah dan Ibu, yang awalnya selalu membelanya, kini seringkali terlihat lelah dengan tingkah lakunya. Mereka mulai melihat pola yang sama yang kulihat selama ini.

Pertarungan kami memuncak pada suatu hari Minggu, hari di mana seluruh keluarga berkumpul. Kak Binar telah merencanakan serangan terbesarnya. Dia mengumumkan akan memasak makan siang spesial untuk semua orang, sesuatu yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dilakukannya.

"Hari ini, biar Binar yang masak. Spesial buat Mas Danu dan keluarga," katanya dengan senyum lebar pagi itu.

Semua orang tentu saja senang. Tapi aku tahu, ini bukan tentang memasak. Ini adalah sebuah pertunjukan. Dan aku akan menjadi salah satu propertinya.

Benar saja. Saat aku sedang membaca buku di ruang keluarga, dia memanggilku ke dapur. Dapur sudah seperti kapal pecah. Panci, wajan, bahan-bahan masakan berserakan di mana-mana.

"Arin, sini, bantu Kakak!" serunya. "Tolong potongin semua bawang ini, ya. Sama cabainya sekalian. Terus nanti kamu ulek bumbunya sampai halus. Tangan Kakak lagi nggak kuat ngulek."

Dia menunjuk pada setumpuk besar bawang merah, bawang putih, dan cabai rawit. Ini bukan lagi permintaan tolong, ini adalah perbudakan. Dia sengaja memberiku pekerjaan paling melelahkan dan membuat pedih mata, sementara dia mungkin hanya akan berdiri di samping kompor dan mengaduk-aduk masakannya. Dia ingin menunjukkan kepada semua orang siapa yang bekerja dan siapa bosnya.

Aku menatap tumpukan bawang itu, lalu menatapnya. Inilah saatnya. Aku tidak bisa lagi menghindar. Aku harus menghadapinya secara langsung.

"Nggak mau, Kak," jawabku singkat.

Matanya melebar karena terkejut. "Apa kamu bilang?"

"Aku bilang, aku nggak mau," ulangku dengan suara yang lebih keras dan jelas. "Kalau Kakak mau masak, ya masak saja sendiri. Jangan jadikan orang lain sebagai asisten dadakan."

"Kamu... berani kamu ya sama aku?!" suaranya mulai meninggi. "Aku ini kakakmu! Istri pertama suamimu! Kamu harusnya hormat!"

"Hormat itu didapat, Kak. Bukan dipaksakan," balasku tajam. "Selama ini aku sudah cukup sabar dengan semua kelakuan Kakak. Kakak pikir aku tidak tahu apa yang Kakak coba lakukan? Kakak sengaja kan melakukan ini semua untuk mempermalukan aku? Untuk membuatku terlihat seperti pembantu di rumah ini?"

"Memang itu kan posisimu!" pekiknya, akhirnya topengnya terlepas sepenuhnya. Wajahnya dipenuhi kebencian murni. "Kamu itu cuma istri cadangan! Cuma inkubator! Jadi jangan mimpi kamu bisa sejajar denganku!"

"CUKUP!"

Suara berat itu menggelegar dari ambang pintu dapur. Mas Danu berdiri di sana, wajahnya merah padam karena amarah yang tak tertahankan. Di belakangnya ada Ayah dan Ibu yang tampak syok mendengar pengakuan kejam Kak Binar.

"Jaga mulutmu, Binar," desis Mas Danu, berjalan mendekat. Setiap langkahnya terasa berat dan mengancam. "Jangan pernah... jangan pernah kamu bicara seperti itu lagi pada Arini."

"Kenapa, Mas?! Kamu marah karena aku bilang yang sebenarnya?" tantang Kak Binar, tidak mau kalah. "Kamu lebih bela dia sekarang daripada istrimu sendiri yang lagi sakit ini?!"

"Sakitmu itu tidak memberimu hak untuk menjadi monster!" bentak Mas Danu. "Aku sudah muak dengan semua permainanmu! Kamu sengaja menyakiti adikmu sendiri, memanipulasi semua orang dengan penyakitmu! Kamu pikir aku tidak lihat?"

"Permainan? Monster?" Kak Binar tertawa histeris. "Aku jadi seperti ini karena siapa, Mas? Karena kamu! Karena kamu tidak bisa memberiku apa yang paling kuinginkan! Seorang anak!"

"Aku tidak bisa atau kamu yang tidak bisa?!" balas Mas Danu, suaranya menusuk. "Dan bahkan saat Arini sudah setuju untuk menolong kita, apa yang kamu lakukan? Kamu malah menyiksanya! Kamu tidak mau dia bahagia, kan? Kamu takut! Kamu takut kalau aku sadar bahwa wanita yang kunikahi karena utang budi ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan adiknya yang tulus!"

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Mas Danu. Tangan Kak Binar.

Hening. Semua orang terpaku.

Wajah Mas Danu tidak bergerak. Dia hanya menatap lurus ke arah istrinya, matanya menyiratkan kekecewaan yang begitu dalam.

"Kita sudah selesai, Binar," bisiknya, suaranya terdengar serak dan final.

Kak Binar membeku, tangannya yang tadi menampar masih tergantung di udara. Wajahnya berubah dari marah menjadi panik. "Apa... apa maksudmu, Mas?"

"Pernikahan kita. Sudah selesai," ulang Mas Danu. "Aku tidak bisa lagi hidup dengan wanita yang hatinya dipenuhi kebencian seperti kamu."

"Nggak! Kamu nggak bisa gitu, Mas! Aku istrimu! Aku sakit!" jeritnya panik, mencoba meraih lengan Mas Danu.

Mas Danu mundur selangkah, menghindari sentuhannya. "Penyakitmu adalah urusanku, aku akan tetap bertanggung jawab untuk pengobatanmu sampai kamu sembuh. Tapi hatimu... hatimu sudah terlalu busuk. Aku tidak bisa memperbaikinya."

"Ayah! Ibu! Tolong bilang sesuatu sama Mas Danu!" raung Kak Binar, beralih pada orang tua kami.

Ayah hanya bisa memijat keningnya, tampak begitu lelah dan kecewa. Tapi Ibu, yang selama ini selalu membelanya, justru melangkah maju.

"Binar," kata Ibu dengan suara yang bergetar namun tegas. "Sudah cukup, Nak. Selama ini Ibu selalu membelamu, karena Ibu pikir kamu menderita. Tapi hari ini Ibu sadar... kamu bukan hanya menderita, kamu juga sengaja membuat orang lain menderita. Terutama adikmu sendiri."

Ibu menatapku, matanya berkaca-kaca. "Maafkan Ibu, Arini. Ibu sudah buta selama ini."

Dunia Kak Binar runtuh di depan matanya. Suaminya telah meninggalkannya. Orang tuanya tidak lagi membelanya. Dia telah kehilangan semua sekutunya.

Dia menatapku dengan tatapan nanar, tatapan seekor hewan yang terluka dan terpojok. Dia melihatku bukan lagi sebagai adik atau saingan, tapi sebagai sumber dari semua kehancurannya.

"Ini semua gara-gara kamu," desisnya, suaranya dipenuhi racun. "Dasar ular! Kamu merebut semuanya dariku!"

Dengan teriakan frustrasi, dia menyambar pisau buah yang tergeletak di meja dan mengacungkannya ke arahku.

"KAK!" teriakku, refleks mundur.

"BINAR, JANGAN GILA!" bentak Mas Danu dan Ayah bersamaan.

Mas Danu bergerak cepat, menahan pergelangan tangan Kak Binar sebelum ia bisa melakukan hal nekat. Ayah membantu memeganginya. Pisau itu jatuh ke lantai dengan bunyi denting yang mengerikan.

Kak Binar meronta-ronta, menangis, dan berteriak histeris. Dia sudah benar-benar kehilangan kendali.

Di tengah kekacauan itu, aku hanya bisa berdiri mematung, jantungku berdebar kencang. Pertarungan sengit ini akhirnya mencapai puncaknya. Tidak ada lagi sindiran, tidak ada lagi permainan. Yang tersisa hanyalah kebencian murni dan kehancuran. Aku mungkin telah memenangkan pertempuran, tapi melihat kakakku hancur seperti itu, aku tidak merasa seperti seorang pemenang sama sekali. Aku hanya merasa kosong.

1
Ma Em
Akhirnya Arini sdh bisa menerima Danu dan sekarang sdh bahagia bersama putra putrinya begitu juga dgn Binar sdh menyadari semua kesalahannya dan sdh berbaikan , semoga tdk ada lagi konflik diantara Arini dan Binar dan selalu rukun 🤲🤲.
Ma Em
Arini keluargamu emang sinting tdk ada yg normal otaknya dari ayahmu ibumu juga kakakmu yg merasa paling benar .
Sri Wahyuni Abuzar
ini maksud nya gimana yaa..sebelumnya arini sudah mengelus perutnya yg makin membuncit ketika danu merakit ayunan kayu..kemudian chatingan sm binar di paris (jaga keponakan aku) ... lhaa tetiba baru mau ngabarin ke ortu nya arini bahwa arini hamil...dan janjian ketemu sama binar di cafe buat kasih tau arini hamil..
kan jadi bingung baca nya..
Sri Wahyuni Abuzar
danu yg nyetir mobil ke rumkit..ayah duduk di kursi samping danu..lalu binar dan ibu nya duduk di kursi belakang..pantas kalau arini bilang dia seperti g keliatan karena duduk di depan..di kursi depan bagian mana lagi yaa bingung aku tuuh 🤔
Noivella: makasih kak. astaga aku baru sadar typo maksudnya kursi paling belakang😭😭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!