Naolin Farah Adyawarman, gadis berusia delapan belas tahun yang baru menyelesaikan pendidikan SMA-nya.
Tidak ada yang istimewa dari hidup Naolin, bahkan dia hampir tidak pernah melihat dunia luar.
Karena Naolin adalah anak yang harus disembunyikan, dari khalayak luas. Sebab Naolin adalah anak har*m, sang Papi kandung dengan entah siapa Mami kandungnya.
Hal itu terjadi karena Naolin, diberikan secara sukarela oleh Mami kandungnya yang merupakam gund*k, dari Papinya.
Menurut cerita keluarga Papi, Mami kandungnya Naolin ingin hidup bebas dan belum siap memiliki anak.
Tapi entahlah itu benar atau tidak. Yang jelas, keputusan Maminya itu justru menjerumuskan Naolin ke lembah kesengsaraan!
Karena Naolin akhirnya hidup dengan Mama dan Kakak tiri yang jah*t. Sementara Papi kandungnya selalu berusaha untuk tutup mata, karena katanya merasa bersalah sempat menduakan sang istri sah.
Tapi saat Naolin telah menyelesaikan SMA-nya secara homeschooling, dia dibebaskan dari rumah yang iba
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss D.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Semua orang tertawa, tapi aku sambil meletakkan sebuah kamera dan alat perekam suara di tas yang dibawa oleh Pak Galih.
Setelah membayar semua belanjaannya, Pak Galih langsung pergi. Tapi aku melihat mobilnya diparkir di toko, yang berada di seberang minimarket.
Lalu Pak Galih tampak tidak keluar lagi dari mobilnya. Oke, dia sedang mengintai Mbak Ainur.
Seharian ini aku membantu di minimarket, karena mau sambil mengawasi Mbak Ainur. Lalu melihat ritme kerja di minimarket juga.
"Mbak, nanti pulangnya ikut saya ya," ucapku.
"Boleh Kak Naolin, soalnya saya tidak ada kendaraan juga. Terima kasih ya," jawab Mbak Ainur.
"Lalu Abang Anwar pulang dengan siapa?" rengek Bang Anwar.
"Astaghfirullah, malu sama kumis Bang. Kamu kelihatan sangar Bang, dengan kumis dan jambang. Kenapa tiba-tiba jadi merengek minta diantar pulang," goda Mbak Ainur.
"Namanya juga usaha Nur, kan supaya hemat bensin," jawab Bang Anwar lucu.
Kami jadi tertawa, karena kedua karyawanku ini sangat lucu-lucu sekali.
Jam lima sore minimarket tutup, dan Mbak Ainur langsung ikut mobilku.
"Mbak, suami kamu kerja apa?" tanyaku, untuk membuka obrolan.
"Buka usaha showroom mobil bekas, tapi katanya sedang sepi pembeli. Makanya Mbak ikut bekerja, untuk bantu-bantu biaya makan."
Aku langsung merasa tersentuh, mendengar jawaban tulus Mbak Ainur. Tapi sayang sekali, Pak Edison malah ingin membunbun, Mbak Ainur.
"Mbak, aku dapat kiriman video suamimu dari salah satu temanku. Coba deh, Mbak tonton dulu," ucapku.
Mbak Ainur tampak kebingungan, tapi dia tetap menerima handphone yang aku sodorkan kepadanya.
Mbak Ainur tampak menonton dengan serius, dan akhirnya dia menangis.
"Ya Allah, ini benar Bang Edison. Padahal aku sampai kabur dari rumah, dan durhaka pada Mamak. Karena Mamak tidak menyukai Bang Edison, yang memang dulunya sudah punya anak dan istri."
"Tapi memang Bang Edison, sudah dalam proses cerai. Hanya saja menurut Mamak, tidak baik aku menjadi orang ketiga dalam hubungan pernikahan yang belum ketuk palu di pengadilan agama."
"Kasihan sekali Mamakku, yang selama ini sudah membesarkan aku dan kedua Adikku seorang diri."
Aku langsung menepikan mobil, agar bisa mengajak Mbak Ainur mengobrol dengan lebih serius.
"Mbak, kamu harus bersembunyi. Karena Mbak bisa lihat sendiri kan, kalau orang yang diminta untuk membunbun, kamu, adalah Pak Galih yang tadi berbelanja di minimarket."
"Ajak Mamak dan kedua Adikmu juga, karena Pak Edison pasti akan mencari kamu ke keluarga. Temanku akan memberi tumpangan, di sebuah rumah yang jauh dari sini."
"Semua makan dan hal lainnya akan temanku sediakan. Jadi Mbak, Mamak, dan kedua Adikmu tidak perlu keluar dari rumah tersebut. Pokoknya sampai masalah ini selesai, oke?"
"Oke," jawab Mbak Ainur pelan.
Akhirnya kami berdua langsung menjemput Mamak dan kedua Adik Mbak Ainur. Yang ternyata tinggalnya tidak jauh dari minimarket.
Tapi dari kaca spion, aku bisa melihat mobil Pak Galih terus mengikuti kami. Jadilah aku mencoba mencari jalan lain, untuk bisa kabur.
"Mbak Ainur, kita diikuti oleh mobilnya Pak Galih," ucapku.
"Gampang Kak Naolin, kamu masukkan saja mobil ke gang yang ada di depan itu. Mobil Kakak muat masuk ke gang itu, sementara mobil Pak Galih tidak bisa."
"Karena mobil Pak Galih jenis yang besar, jadi tidak bisa melewati gang kecil seperti itu."
Aku mengangguk, dan memasuki gang sempit itu. Lalu Mbak Ainur memberitahu aku, jalan mana yang menuju ke rumah keluarganya.
"Itu rumahku," tunjuk Mbak Ainur.
"Cepat minta Mamak dan kedua Adiknya Mbak, untuk naik ke mobil. Bawa barang seadanya saja, nanti kalau butuh sesuatu biar aku yang sediakan," ucapku.
"Iya, sebentar Kak Naolin," jawab Mbak Ainur.
Aku menunggu di dalam mobil, sambil melihat ke sekitar. Karena takutnya, Pak Galih sudah berhasil menyusul kami.
Tapi sampai Mbak Ainur dan keluarganya memasuki mobil, Pak Galih belum juga menemukan kami.
"Mak, ini boss kecil kami, namanya Naolin. Naolin, ini Mamak, Ani, dan Andi, Adiknya Mbak," ucap Mbak Ainur.
Aku langsung menyalami semua orang, dan setelah itu aku segera melajukan mobil menuju rumah kontrakan yang sudah aku persiapkan.
Letaknya di pinggiran kota, dan agak jauh jaraknya antar tetangga. Aku sudah mempersiapkan semuanya, karena letaknya tidak jauh juga dari rumah tempat aku tinggal.
"Nah, ini rumahnya. Ayo semuanya masuk," ajakku.
Kami berlima turun dari mobil, dan memasuki halaman mungil rumah bercat putih ini.
"Waahh, rumahnya lebih bagus daripada rumah kita," puji Ani, yang masih SMP.
"Iya, terima kasih ya Kak Naolin. Karena sudah mau membantu keluarga Mamak," ujar Mamak.
"Sama-sama Mak, kan sesama manusia harus saling tolong menolong," jawabku.
"Kak Naolin, terus bagaimana dengan sekolah kami?" tanya Ani dan Andi.
Aku jadi kebingungan, karena pendidikan dan kabur dari pembunbun, sama pentingnya!
"Biarlah libur dulu, kan hanya sampai temannya Kak Naolin bisa menangkap Bang Edison dan Pak Galih," jawab Mbak Ainur.
Kedua Adiknya Mbak Ainur mengangguk, dan aku pamit pulang. Karena mau mengurus masalah Pak Galih dan Pak Edison.
Aku tidak langsung pulang ke rumah, karena mau mengintai Pak Edison di showroom mobil bekas miliknya.
Sesampainya di depan showroom mobil bekas milik Pak Edison, tampak sudah tutup. Wajar sih, karena sudah jam delapan malam juga.
Jadilah aku putar balik, ke rumahnya Pak Edison. Ternyata Pak Edison baru saja sampai ke rumahnya, dan tampak kebingungan saat melihat kondisi rumah masih gelap.
Pak Edison tampak masuk sebentar, lalu beliau keluar lagi dengan wajah panik.
"Sepertinya dia sudah sadar, kalau istri yang hendak dibunbun, tidak akan pernah kembali lagi ke rumah," ucapku pada diri sendiri.
Pak Edison memasuki mobilnya, dan aku langsung mengikutinya. Ternyata Pak Edison kembali menemui Pak Galih di club malam.
Kali ini aku memakai topi dan masker, baru memasuki club malam. Begitu memasuki club malam, aku langsung disambut dengan suara musik berdentum-dentum.
Tampak Pak Galih terkejut, saat melihat kedatangan Pak Edison. Aku bergegas mendekati keduanya, dan duduk di samping meja mereka.
"Lho, Pak Edison. Kenapa anda menemui saya lagi di club malam! Kan sudah saya bilang, kita komunikasinya lewat handphone saja!" omel Pak Galih.
"Nggak bisa Pak, karena ini sangat darurat! Istri anda hilang kan? Sama seperti istri saya dan keluarganya! Sepertinya ada yang sudah tahu tentang rencana kita, dan membocorkan pada istri saya dan istri Bapak!" ucap Pak Edison, dengan wajah panik.
"Istri saya hilang? Tidak mungkin, karena istri saya itu pegawai teladan! Tapi coba saya tanya ke pesantren, tempat anak saya mondok ya," ujar Pak Galih.
Pak Edison mengangguk, dan beliau tampak menenggak segelas minuman beralkohol. Sepertinya untuk menenangkan pikiran.
Sementara Pak Galih pergi sebentar, dan tidak lama beliau kembali.
"Anak saya juga dijemput oleh istri, dan tidak tahu dibawa kemana! Aduhhh, kacau sekali ini! Padahal anak dan istri, sudah saya daftarkan ke asuransi jiwa yang mahal!" omel Pak Galih.
Pak Edison juga tampak kalut, dan keduanya tampak diam beberapa lama. Sampai tiba-tiba saja!
"Saya curiga dengan ..."