Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 22.
DUAAARR!!
Pintu joglo tertutup rapat seakan dihantam kekuatan raksasa dari luar dunia manusia. Gelombang tekanannya memecah udara dan membuat warga terpental mundur. Beberapa jatuh terbanting ke tanah; seorang ibu kehilangan sandal, seorang lelaki muda menjerit sambil memegangi telinga berdarah.
Tanah bergetar ringan. Atap joglo berdebu, menumpahkan serpih tanah kering ke kepala para warga.
Warga masih terus berkerumun di halaman dan di jalan depan joglo. Wajah mereka pucat, dibasahi keringat dingin. Tak seorang pun berani mendekat sejak jeritan Kodasih terdengar dari dalam dan pintu yang tertutup rapat.
Dari dalam terdengar suara Kodasih, parau, putus putus, seperti seseorang yang ditarik paksa dari tubuhnya sendiri.
“A.. Argh… s.. stooop… o… jangan.. masuk … ke… tubuh.. ku…”
Lalu datang suara lain. Bukan suara manusia.
Suara itu seperti ribuan perempuan yang berbicara bersamaan dari dasar sumur purba, masing masing bisikan menempel, menempel, lalu membentuk gemuruh mengerikan:
“Dasiihh… cedhakno awakmuuu… Aku mung butuh raga iki…”
(Dasih...dekat kan tubuhmu.. aku Cuma butuh raga ini...)
Seorang warga perempuan yang mendengar suara itu menutup telinganya, lalu tubuh lemas lunglai dan tidak sadarkan diri. Suaminya memeluknya sembari merapal doa yang tak lagi terdengar jelas.
Warga semakin menjauh.. tidak berani melewati ambang halaman.
Seorang lelaki paling tua, memegangi bahunya yang patah. Tulangnya menonjol sedikit di balik kulitnya; ia menggigil, bukan sekadar karena sakit, tetapi karena terbayang makhluk apa yang sedang bersemayam di dalam joglo.
“Gusti…” bisiknya lirih. “Sopo sing iso mandhegno setan iku…?”
(Tuhan..) (Siapa yang bisa menghentikan setan itu..)
Tak ada yang menjawab.
Bahkan jangkrik pun bungkam malam itu.
Namun.. Hening yang mencekam hanya bertahan sekejap, sesaat kemudian terdengar suara..
Prok… Prok… Prok…
Langkah dua pasang sepatu menghantar dua sosok laki laki dari arah bawah... semua menoleh..
Yang pertama seorang prajurit TNI paruh baya dengan seragam lusuh namun terawat, kumis tipisnya bergetar kena angin dingin. Di pundaknya, lampu senter kecil berkedip kedip, menyorot tanah berlubang.
Yang kedua laki laki lebih muda, memakai baju batik gelap, tubuh tegap, membawa tongkat jati kuning dengan ukiran tua dan tas kulit kambing yang berbunyi kemresek oleh daun daun dan akar akaran kering juga barang barang lainnya yang ada di dalam nya.
Mereka berjalan tegap, bukan seperti warga yang ketakutan, tetapi seperti dua orang yang sudah berkali kali berjalan di atas tanah berbahaya.
Tatapan laki laki berbatik itu berbeda. Bening, teduh, tapi keras bagai batu sungai yang telah ditempa arus ribuan kali. Itu bukan tatapan orang yang sedang jatuh cinta. Itu tatapan seseorang yang telah bersumpah menjaga saudaranya, meski harus menembus gelap paling kelam.
Seorang warga berteriak lirih, seperti baru sadar dari mimpi buruk:
“Pak Pono… Kang Arjo…??”
Sarpan menelan ludah keras keras.
“Kang… akhirnya kamu datang …?
“Pak Arjo… sing biyèn dadi kancane Nyi Kodasih… wektu dadi muride Mbah Jati…?” ucap seorang warga yang lain.
(Pak Arjo yang dulu jadi teman Nyi Kodasih waktu jadi murid Mbah Jati?”
Nama Arjo terdengar seperti nama yang sudah lama tak diucapkan, seolah memanggil kembali bayangan masa lalu yang tertutup debu.
Arjo hanya tersenyum tipis.
“Aku dikabari Kang Pono. Tolong … minggir sebentar. Nyi Kodasih… butuh pertolongan ”
Tak ada yang menyangka Arjo kembali. Orang mengatakan ia telah hidup di tempat jauh di luar kabupaten. Dan tidak tertarik kembali ke dusun. Namun malam itu, ia muncul ketika dusun sedang di ambang bencana tak kasatmata.
Laki laki tertua , yang bahunya patah, nekat meraih tangan Arjo.
“Arjo! Ojo mlebu! Ono makhluk setengah iblis neng jero! Aku krungu suarane… iku dudu menungsa!”
“Mau balungku ditugel.”
(Arjo jangan masuk! Ada makluk setngah iblis di dalam! Aku dengar suaranya .. itu bukan suara manusia)
(Tadi tulangku dipatahkan)
Arjo mengusap bahu laki laki tertua dengan lembut, cukup untuk menenangkan panik, dan rasa sakit di bahunya juga berkurang..
“Setan mung kuwat yen ana wong wedi,” katanya tenang.
(Setan Cuma kuat kalau ada orang takut)
Ia menatap pintu joglo. Pintu itu bergetar pelan seperti sedang bernafas.
“Makhluk Itu … bukan setan, bukan jin. Itu … bayangannya Nyi Kodasih sendiri .”
Warga serentak menahan napas.
“Bayangane…?” ulang mereka dalam ketakutan.
Arjo melangkah maju. Setiap langkahnya menggetarkan tanah, bukan karena berat tubuhnya, tapi karena udara di sekitarnya berubah.. seperti ada tekanan tak terlihat yang mengikuti geraknya.
Ketika ia berdiri tepat di depan pintu, bayangan di dalam mendesis:
“Arjoooo… kowe bali maneh…? Ojo nyedhakk… iki raganee… Dasiihhh…”
(Arjo kamu balik lagi? Jangan mendekat..ini raga nya Dasih...)
Arjo tak gentar. Ia mengetuk lantai joglo tiga kali dengan tongkat nya..
Tok.
Tok.
Tok.
Semesta seperti berhenti bernafas.
Angin mati. Suara tangis orang orang lenyap. Warga tidak sadar mereka sedang menahan napas.
Arjo memejamkan mata, menggumamkan mantra tua yang pernah diajarkan Mbah Jati ... mantra yang dulu harus ia ulang ribuan kali hingga lidahnya kelu:
“Sapa sing gawe peteng… kuwi sing kudu nompo cahyané…”
(Siapa yang membuat gelap.. itu yang harus menerima cahayanya..)
Tongkatnya bersinar kuning keemasan. Perlahan, cahaya itu merayap seperti matahari kecil yang terbit dari kayu yang sudah tua.
Joglo mulai bergetar, kali ini lebih kuat.
Bayangan menjerit.. bukan jeritan manusia, tapi jeritan panjang yang membuat bulu kuduk setiap warga berdiri. Tubuh bayangan itu muncul lebih jelas: seperti kain hitam raksasa yang ujung ujungnya terbakar cahaya.
Seorang warga menjerit,
“ASTAGHFIRULLAH… bentuké malah dadi jelas!!”
Bayangan itu meronta, tetapi setiap kali mencoba mendekati Arjo, ia mundur karena merasa terbakar oleh sinar tongkat.
Arjo membuka mata.
“Sudah cukup … Nyi Kodasih.”
Suara Arjo dalam, mantap.
“Bayangan ini … sudah kebanyakan makan pikiran dan hati mu Nyi.. .”
Dari lantai joglo, tubuh Kodasih tampak tergeletak, pucat, seperti mayat yang baru dicuci, ia pelan pelan membuka kedua matanya..
“Ar… Arjo…?
Kamu balik…?”
Nada Kodasih rapuh, seperti anak kecil yang baru bangun dari mimpi buruk panjang.
Arjo menjawab tanpa getaran sentimental. Hanya keteguhan seorang saudara perguruan:
“Saya janji Nyi. Murid Mbah Jati tidak akan meninggalkan saudara satu guru yang dalam kegelapan.”
Bayangan itu bergetar hebat, dan kini membesar lagi sambil memekik:
“ARJOOO!! DASIH DUWEKKU!!”
(ARJOOOO.. DASIH MILIKKU!)
Arjo masih berdiri, namun kini tongkat jati kuningnya memancarkan cahaya samar. Cahaya itu bukan cahaya yang lagi terang... justru meredup, seperti bara yang hendak padam, seakan mengetahui bahwa lawan yang berdiri di dalam joglo bukan sekadar makhluk gelap biasa.
Dari ruangan yang remang, bayangan itu merayap naik ke dinding. Menempel, merayap, melingkar, lalu turun lagi, membentuk sosok perempuan yang tidak utuh: wajahnya kabur, rambutnya panjang menjuntai seperti lumpur basah, dan tubuhnya seperti kain hitam yang tak henti berkibarkan dirinya sendiri.
Dia bernafas, namun setiap hembusannya menghasilkan suara seperti ribuan batu yang ditarik dari dasar sumur.
“Arjoooo… kowe ora bakal iso nyelametno Dasiihhh…”
(Arjo .. kamu tidak akan bisa menyelamatkan Dasiiihhh)
Arjo mendekat setapak. lantai bergeretak di bawah kakinya.
“Aku ora perang karo kowe,” katanya tenang.
“Aku perang karo petenge Nyi Dasih sing kowe tunggangi.”
(Aku tidak perang melawan kamu)
(Aku perang melawan gelapnya Nyi Kodasih yang kamu tunggangi)
Bayangan menanggapi dengan tawa panjang .. , lebih tepatnya sebuah suara retakan yang memanjang ke segala arah.
Lalu sekejap kemudian..
bayangan itu menerjang.
Bayangan melesat seperti naga hitam. Angin kotor yang menyertainya membuat dedaunan di halaman lunglai, bahkan lampu obor warga padam...
Warga menjerit histeris... ..
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣