Boleh tidak aku kembali ke masa 5 tahun yang lalu? saat aku masih gadis, tak akan aku membantah nasehat ibu tentang Mas Akbar, suamiku. Dengan ikhlas aku akan menurut beliau tanpa protes sedikit pun, meski harus melepas lelaki yang aku cintai. Karena sekarang aku tahu maksud Ibu tak memberi restu dulu, karena Mas Akbar penganut suami patriaki.
Urusan rumah, anak, bahkan menjadi tulang punggung keluarga pun aku lakukan sendiri tanpa bantuan dari Mas Akbar. Aku sudah tidak menuntut Mas Akbar untuk berubah, rasanya sudah mati rasa, dan berharap tiap hari diberikan kesabaran tanpa batas, agar bisikan setan tak kuturuti untuk meracuninya. Astaghfirullah.
Selain tabiat Mas Akbar, yang membuatku ingin mengakhiri pernikahan ini adalah sikap mertua padaku. Beliau selalu menganggap aku sebagai istri pembawa sial, yang menyebabkan Mas Akbar terkena PHK massal. Beliau selalu mengatakan andai aku tak menikah dengan Mas Akbar, mungkin putra kesayangannya itu akan naik jabatan. Sialan memang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KDRT
Tetesan darah keluar dari hidungku setelah Akbar menonjok hidungku, puas sih puas karena aku sudah punya bukti kuat untuk mengajukan perceraian. Tapi sakit juga ditonjok, dan ditampar begini, apalagi sekarang aku masih dijambak, aduh rasanya ingin berteriak saja. Tapi aku masih butuh bukti itu, ia mendorongku hingga keningku menatap lemari, yes. Batinku bersorak, aku tak peduli sakit sekarang yang penting aku sudah ada bekas luka begini. Ia terduduk di ranjang masih menatapku, masa bodoh. Sekarang yang aku pikirkan kapan aku keluar.
"Padahal malam ini aku ingin membayar uang cicilan motor, aku mau bayar uang biaya rumah sakit, bahkan aku bisa kasih uang nafkah yang belum aku berikan sama kamu, tapi kamu sudah membuatku marah, maka jangan harap aku mau kasih uang itu ke kamu!" teriaknya, ia merebahkan tubuhnya ke kasur dan inilah saatnya aku pergi.
Kuambil ponsel dan segera pintu kontrakan aku buka, aku tahan kepala pusingku, tanpa memakai sandal, aku lari sejauh mungkin, kemudian berbelok menuju rumah kakak Melda, aku dengar dia berteriak tapi tak kuhiraukan. Yang penting aku lari saja. Beruntung kakak Melda ada dan langsung membukakan pintu aku.
"Ya Allah, Mir. Kenapa kamu?" aku hanya menggeleng dengan nafas memburu. Terdengar suara motor kencang, berharap itu Akbar yang keluar dari area ini.
"Mbak, aku habis ditonjok suamiku, tolong..tolong bawa aku ke rumah sakit, aku, aku, aku mau visum!" ujarku dengan terbata. Kakak Melda dan suaminya gelagapan, suaminya pun segera mengambil kunci mobil. Aku dipapah kakak Mbak Melda, keluar dari pintu samping rumahnya dan aku diminta tidur di jok belakang agar tak terlihat siapa pun, khawatir Akbar masih mengintai. Aku masih setengah sadar, meski kepalaku sangat pusing, masih mendengar Kakak Melda menitipkan anak-anak mereka ke ART dan dilarang buka pintu dan pagar selama mereka mengantarku.
Tanganku gemetar, mengecek rekaman suara, dan juga file CCTV. Mataku kabur namun aku paksa untuk mengirim semua ke Dika. Kukirim juga pada Melda, sudah aku berusaha mengamankan barang bukti kemudian rasanya aku tertidur, dan terbangun saat aku sudah di atas bankar IGD.
"Bisa lihat saya?" sapa seorang dokter laki-laki sembari tersenyum, aku mengangguk pelan. "Masih pusing, Mir?" tanya lelaki itu dan aku kaget setengah mati, karena dokter itu memanggil namaku layaknya teman dekat.
Kemudian ia menenangkanku, dan mataku terfokus padanya nama dada yang terjahit rapi di bajunya. "Mas Inug?" tanyaku lemah, dokter itu tersenyum tipis. Kemudian menarik kursi di samping bankarku.
"Sudah sadar? Kenapa bisa sampai begini?" tanyanya lagi. Mas Inug adalah kakak tingkat di kampus terpaut dua apa tiga tahun dari aku.
Aku mengenal Mas Inug dari Mbak Kosku yang pernah HTS an dengan dokter ganteng ini. "Mas, visum aku!" pintaku dengan memohon. Ia mengangguk, tapi dia menyuruhku harus lapor ke kantor polisi dulu. Kondisiku jelas tak mungkin maka aku meminta Dika yang mengurus.
Temanku itu sudah langsung gerak cepat setelah aku mengirimkan rekaman CCTV dan rekaman suara itu. Ia langsung lapor polisi terdekat, koneksinya sangat banyak, karena Dika bekerja di firma hukum sebagai tim keuangan firma tersebut. Sehingga dia sudah bisa membaca situasi ini. Tak lama ia pun datang, dan kaget melihat kondisiku.
Selama visum aku didampingi Dika dan Melda, terpaksa tidak masuk kerja dulu, dan kontrakanku dicek oleh kakak Mbak Melda, dompet dan laptop aman. Kontakanku pun dikunci serta ditambah gembok oleh kakak Mbak Melda. Sungguh, orang terdekatku sangat membantuku sekali, entah aku harus membalasnya dengan apa.
"Please pakai otak kamu setelah ini, Mir. Aku gak mau kamu terluka seperti ini lagi," ucap Melda menangis setelah melihat lebam di area wajahku. Bahkan di daerah pundakku juga ada bekas lebam. Aku juga lupa tindakan apa yang menyebabkan lebam di area itu.
Saat kondisiku sudah stabil, aku pun pulang ke rumah ibu. Keluargaku tidak ada yang tahu, aku mengajukan cuti hampir seminggu, dan kubuat masa cutiku untuk istirahat dan mengajukan gugatan via online. Tanggal untuk sidang pertama pun sudah keluar. Aku hanya mengajukan cerai saja dengan alasan KDRT, soal nafkah selama 7 bulan yang tak dibayar tak kumasukkan alasan menggugat. Baru nanti kalau sudah sidang ditanya oleh hakim aku akan menceritakan kronologis KDRT sesuai dengan rekaman suara yanga aku jadikan bukti dalam gugatan ini.
Konsentrasiku terusik saat mendapat pesan masuk di tengah kesibukanku bekerja. Pesan dari Akbar, siapa lagi.
Aku tidak akan hadir ke pengadilan itu titik. Aku tak amu bercerai. Aku belum puas menghajar kamu.
Aku sadar, Akbar akan berlaku nekad. Bahkan dia bisa menguntitku dan menabrakku, sifat emosionalnya itu sangat bisa terjadi. Aku meneruskan pesan itu ke Dika.
Hati-hati, Mir. Saranku kamu pulang ke rumah ibumu dulu, dan usahakan jangan jalan sendiri, kamu bisa minta antar jemput bapak kamu.
Soal gak mau hadir, gak masalah. Malah lebih cepat. Bukti kamu sangat kuat.
Aku pun mengirim pesan ke bapak untuk menjemputku nanti, kalau bapak sih siap sedia. Apalagi sudah tahu kondisi rumah tanggaku, beliau hanya bilang kamu sudah dewasa, kamu sudah bisa menilai pernikahan kamu ini patut diteruskan atau dipertahankan. Bapak akan selalu dukung kamu, dan mendoakan yang terbaik.
Aku merasa sangat aman kerja di antar jemput bapak begini. Kondisi ini menyadarkanku bahwa sayangnya orang tua pada anak itu tak terbatas, meski sang anak sudah pernah tak menurut. Kelak, aku akan mendengar nasehat orang tuaku.
Sidang perdana, mas Akbar tidak datang, bahkan tidak ada perwakilan juga. Aku pun berinisiatif menunjukkan chat Akbar yang tidak akan pernah datang. Hakim pun menanyakan keputusanku untuk terakhir kalinya, karena akan dinyatakan putusan secara verstek. Pihak tergugat tidak hadir, dan dibuktikan dengan chat yang dikirim ke aku, bukti KDRT berupa visum, rekaman CCTV dan juga rekaman suara membuat hakim memutuskan aku menjadi janda di sidang perdana ini.
Aku menangis, bukan karena sedih tapi sangat lega karena aku terbebas dari Akbar. Tidak apa kemarin bodoh, tidak untuk sekarang atau nanti. Melda ikut menangis, tapi dia memberiku pesan bercanda tapi bermakna.
Sudah tak bodoh lagi. Jadilah wanita bijak dalam menentukan ke mana cinta berlabuh.
Aku mengangguk, dan berterimakasih kepada sahabatku ini, meski gak suka pada Akbar dan menasehati sampai dia menggetok kepalaku namun tetap berada di dekatku saat aku jatuh.
Pun dengan orang tuaku yang begitu bahagia menyambut kedatanganku, tadi setelah sidang aku sudah mengirim hasil putusan sidang dan kini mereka memelukku erat. Seraya menguatkanku, bahwa nanti akan bertemu jodoh yang lebih baik.
Lima tahun pacaran kalah dengan menikah yang hanya bertahan 8 bulan. Keep strong. Batinku menyemangati diriku sendiri.
berasa gantung terus tau gak kak. ampun dah candu sama karyanya akak.
tapi makin kesini kok makin kesana..
selalu serrruu sih..
Always bintang 5 yak.