Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Distorsi Ilusi dan labirin
Begitu Bian, Tiara, dan Ibu Dwi memasuki pekarangan belakang rumah warisan Kakek Pranoto, dunia seolah berputar. Rumah itu sendiri adalah sumber ilusi, diperkuat oleh energi yang ditanam Ratih. Halaman yang seharusnya berujung pada Sumur Tua kini terasa seperti labirin tak berujung yang diselimuti semak bambu dan ilalang kering.
"Kita sudah berjalan selama lima belas menit," desah Dwi, yang wajahnya sudah pucat karena kelelahan, bukan hanya karena ketakutan. "Sumur itu seharusnya hanya berjarak lima puluh meter dari sini!"
"Ini bukan hutan, Bu Dwi," kata Bian, suaranya tegang. Ia merasakan bayangan Wina terus mengikutinya, menangis di balik setiap rumpun bambu.
Tersesat, Tuan Bian. Kalian harus tersesat, bisik duka Wina di benaknya.
Ratih menggunakan energi kesedihan yang sudah dipanen dari Rendra dan ketakutan Wina untuk menciptakan kekacauan mental dan ilusi ruang. Tiara, meskipun seorang Pengimbang, juga mulai merasakan kebingungan yang luar biasa.
"Kita terus berputar, Bian," Tiara berbisik, memegang Liontin Suci. "Liontin ini dingin sekali, ia tidak tahu ke mana harus menuntun."
Keputusasaan merayap di antara mereka. Kelelahan fisik mulai mengikis kepekaan Bian. Jika mereka terlalu lama di sini, Rendra akan menjadi tumbal Kesedihan Murni yang sempurna.
Bian berhenti. Ia menutup mata, mencoba memusatkan ilmu Pawangnya, tetapi ilusi Ratih terlalu kuat.
"Ratih mengunci kita dengan ketakutan kita sendiri," kata Bian. "Kunci untuk memecahkan ilusi ini harus berasal dari sesuatu yang murni dan baru."
Ia membuka mata dan menatap Liontin Suci di tangan Tiara. Liontin itu memancarkan cahaya redup, tetapi ia butuh kekuatan pendorong.
"Tiara, pinjam Liontinnya sebentar," pinta Bian.
Tiara memberikannya. Liontin yang terbuat dari campuran Liontin Tumbal Pranoto dan energi pemurnian itu terasa dingin di telapak tangan Bian.
Bian mengeluarkan pisau lipat kecil dari sakunya.
"Kau mau apa, Bian?" tanya Tiara, cemas.
"Pawiro menggunakan darah dan sumpah busuk untuk mengikat Gerbang," jawab Bian, sorot matanya tajam. "Aku akan menggunakan darah dan Sumpah Sejati untuk membukanya."
Tanpa ragu, Bian menusuk ujung telunjuknya. Darah merah segar segera menetes, membasahi Liontin Suci yang masih terikat di kalung Tiara.
Begitu darah Bian, yang membawa garis keturunan Pawang Pranoto, menyentuh Liontin Suci, Liontin itu bereaksi hebat. Energi dinginnya lenyap, digantikan oleh kehangatan yang membakar.
Liontin itu meledak dalam cahaya keemasan yang lembut namun tegas, memotong kabut dan ilalang ilusi di sekitar mereka. Cahaya itu tidak hanya menerangi, tetapi juga mengatur ruang dan waktu di sekitar mereka.
Pawang Ilmu telah membuat jalannya sendiri.
"Lihat!" seru Dwi, menunjuk.
Cahaya keemasan Liontin itu menembus ilalang di depan mereka, mengungkapkan jalan setapak yang tersembunyi yang langsung mengarah ke Sumur Tua. Ilusi labirin itu hancur.
"Cepat! Cahaya ini tidak akan bertahan lama!" perintah Bian, sambil menahan rasa pusing akibat pengorbanan darahnya.
Mereka bergegas mengikuti cahaya Liontin. Dalam beberapa detik, mereka tiba di tepi Sumur Tua.
Suasana di sana begitu tebal dan berat, tidak lagi dingin, melainkan penuh duka dan depresi yang mencekik, manifestasi dari energi kesedihan Rendra yang dipanen.
Di bibir sumur, Rendra berdiri tegak, tubuhnya bergetar. Matanya terbuka lebar, namun tatapannya kosong. Ia mengenakan baju yang sama seperti saat Bian melihatnya di gudang tua.
Dari lubang sumur yang gelap, terdengar suara lirih yang memanggil, bukan suara manusia, melainkan nada rendah yang menyerupai ratapan abadi dari Entitas Yang Tua.
"Rendra..." panggil Tiara pelan.
Tubuh Rendra maju selangkah, hampir jatuh ke dalam lubang.
"Tarik dia, Tuan Bian! Cepat!" seru Dwi.
Bian tidak membuang waktu. Ia melompat maju, melepaskan tangan Tiara, dan meraih Rendra tepat saat Rendra hendak jatuh. Bian menarik tubuh Rendra dengan seluruh kekuatannya.
Rendra ambruk ke tanah. Namun, saat Rendra jatuh, ia tidak pingsan. Matanya yang kosong tiba-tiba menjadi gelap, seperti minyak hitam, dan kekuatan tak wajar memenuhi tubuhnya.
Rendra telah kerasukan.
"Rendra! Sadarlah!" seru Bian.
Rendra tidak menjawab. Ia menggeram, dan dengan kekuatan yang mustahil bagi tubuh seniman kurus, ia meraih leher Bian.
"Argh!" Bian tersentak. Cekikan Rendra sangat kuat, dan Bian merasakan dinginnya energi kacau Ratih di tangan Rendra.
"Kalian merusak kesempurnaanku!" Suara yang keluar dari tenggorokan Rendra bukan miliknya, melainkan suara Ratih yang terdistorsi dan serak.
Rendra yang kerasukan itu menyeret Bian mundur, menuju bibir Sumur Tua.
"Kau akan menjadi tumbal pengorbanan sejati, cucu Pranoto! Kau akan mengikat kekuatan Pawangmu ke dalam Gerbang ini!" raung suara Ratih melalui Rendra.
Tiara dan Dwi berteriak. Bian mencoba melepaskan cekikan itu, tetapi Rendra terlalu kuat. Wajah Bian memerah, dan ia merasakan tarikan ke bawah yang mematikan dari lubang sumur.
Bian tahu ia akan kalah. Kekuatan fisik kerasukan Rendra melebihi batas manusia.
"Tiara! Pengimbang!" Bisik Bian, suaranya tercekik.
Tiara, meskipun gemetar ketakutan, segera bertindak. Ia adalah Pengimbang. Tugasnya bukan melawan kekuatan, tetapi menstabilkannya.
Tiara berlutut di sebelah mereka, meletakkan tangannya di lengan Rendra yang mencekik Bian, dan memejamkan mata. Ia memusatkan semua kedamaian dan ketenangan yang ia miliki, menarik energi kacau dari tubuh Rendra.
Energi itu terasa dingin dan menjijikkan, tetapi Tiara menahannya.
Saat energi kacau itu ditarik oleh Tiara, cekikan Rendra melemah. Rendra menjerit kesakitan, dan matanya berkedip-kedip dari hitam menjadi putih.
"Lepaskan dia, Ratih!" teriak Tiara, suaranya dipenuhi tekad.
Rendra ambruk, pingsan. Cekikannya terlepas. Bian terbatuk-batuk, megap-megap menghirup udara. Ia selamat.
Dwi segera bergegas untuk mengamankan Rendra yang pingsan.
Bian menatap Sumur Tua yang kini diam. Ratih telah mundur, tetapi ia berhasil mengirim pesan. Dia akan menggunakan Rendra untuk tumbal, dan dia mengincar Bian sebagai pengorbanan terakhir.
"Ratih..." Bian terbatuk, meraih Liontin Suci di tanah. "Dia ingin aku mati di Gerbang ini. Dia ingin kekuatan Pawangku menyempurnakan keabadiannya."
Mereka telah menyelamatkan Rendra dari jatuh ke sumur, tetapi pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai, dan kali ini, Ratih tahu pasti kelemahan dan kekuatan Bian.
nggak usah ajalah.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"