Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.
Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.
Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kehidupan Baru
Dua bulan berlalu, kehangatan menyelimuti hubungan Taeri dan Azey. Di kamar mansion mereka yang mewah, Azey tampak tenggelam dalam lautan angka dan grafik laporan bisnisnya. Sementara itu, Taeri, dengan rambut yang masih basah sehabis mandi, mendekat dengan langkah ringan.
"Sayang," Taeri menyapa, suaranya bernada manja, "Hari ini kamu ke kantor, nggak?" Ia menyadari kesibukan Azey belakangan ini, sedikit membuatnya khawatir.
Azey menoleh sekilas, tatapannya datar namun ada sentuhan lembut di dalamnya. "Tidak," jawabnya singkat. "Segera keringkan rambutmu, nanti masuk angin."
Taeri tersenyum. Bahkan dalam sikap dinginnya, Azey selalu menunjukkan perhatian. "Kalau gitu, aku juga malas masuk kuliah… Aku pengin jalan-jalan sama kamu," ucapnya ceria. Semalam suntuk ia sudah menyusun rencana di kepalanya.
"Terserahmu," balas Azey datar, namun raut wajahnya sedikit melunak. Ia menutup laptopnya dengan perlahan, lalu dengan gerakan tiba-tiba yang mengejutkan Taeri, ia menggendong gadis itu menuju meja rias.
Taeri kembali tersenyum lebar saat Azey mengambil alih pengering rambut dan mulai mengeringkan rambutnya dengan lembut. "Yaudah, sekarang aja yuk. Untung masih pagi banget," serunya manja, matanya terpejam menikmati sentuhan lembut Azey.
Tawa ringan Taeri masih menggantung di udara ketika tiba-tiba perutnya bergejolak, sensasi asing yang membuatnya terkejut. "Aukk... aukkk... uhkkk..." Ia tak kuasa menahan, semua isi perutnya seolah dipaksa keluar.
Ketenangan Azey seketika sirna, digantikan kepanikan. "Baby, kau kenapa?" tanyanya cemas, nada suaranya dipenuhi kekhawatiran. Tanpa ragu, tangannya sigap membersihkan sisa muntahan di sekitar bibir Taeri, sebuah sentuhan lembut tanpa jijik sedikit pun.
Taeri menggeleng lemah, "Aku tak tahu, sayang... Tiba-tiba mual sekali, ingin muntah terus," bisiknya lirih, suaranya bergetar menahan rasa tak nyaman.
Gelombang mual kembali menyerang, dan tanpa ragu Azey mengangkat tubuh Taeri dalam gendongannya, membawanya menuju kamar mandi. Langkahnya hati-hati, laku menurunkan gadis itu di depan wastafel. "Pelan-pelan, baby..." bisiknya lembut di telinga Taeri.
Sesaat, Taeri kembali memuntahkan isi perutnya. "Aukkk... uhkkk..." Lidahnya terasa pahit, tubuhnya melemah hingga hampir limbung jika bukan karena lengan Azey yang melingkar erat di pinggangnya. "Sayang, aku kenapa ya... Tubuhku terasa begitu tak berdaya," keluhnya dengan suara tercekat, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia belum pernah mengalami hal seperti ini, rasa takut dan bingung bercampur aduk dalam benaknya.
Mendengar keluhan Taeri, senyum tipis terukir di bibir Azey. Sebuah dugaan mulai bermain di benaknya, sebuah kemungkinan yang menghangatkan hatinya. "Sepertinya ada sesuatu yang berubah padamu, baby... Sebaiknya kau istirahat dulu, akan kupanggilkan dokter," ujarnya dengan nada tenang sambil mengusap lembut punggung Taeri, berusaha menenangkan kekasihnya.
Mata Taeri membulat, kepanikan terpancar jelas di wajahnya. "Apa sih, sayang... Jangan membuatku cemas seperti ini," protesnya lirih, meski rasa ingin tahu tak bisa disembunyikan.
Tanpa menjawab, Azey kembali menggendong Taeri, membawanya kembali ke ranjang dan membaringkannya dengan lembut. "Tunggu di sini," ucapnya datar namun penuh perhatian, sebelum berbalik dan melangkah keluar kamar, meninggalkan Taeri dengan berbagai pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya.
Taeri terpaku, matanya mengikuti punggung Azey yang menjauh, menghilang di balik pintu. Sebuah bisikan lirih lolos dari bibirnya, "Sebenarnya, apa yang terjadi dengan tubuhku?" benaknya dipenuhi pertanyaan. "Mungkin aku salah makan?" Ia mencoba mengingat-ingat hidangan yang disantapnya semalam, mencari kemungkinan penyebabnya, namun tidak ada yang salah.
"Lebih baik aku istirahat saja," putusnya, lalu memejamkan mata, berusaha mengusir kecemasan sambil menunggu Azey kembali.
Lima belas menit berlalu terasa seperti berjam-jam. Akhirnya, Azey kembali ke kamar, namun kali ini ia tidak sendiri. Di belakangnya, seorang dokter wanita paruh baya.
Azey segera menghampiri Taeri, dengan lembut membantunya bersandar di tumpukan bantal di ranjang. "Periksa dia," perintahnya datar pada dokter, tanpa basa-basi. Dokter yang tampak profesional itu segera membuka tasnya dan mulai memeriksa Taeri dengan seksama. Kecemasan semakin terpancar jelas di wajah Taeri, namun Azey dengan lembut mengusap lengannya, memberikan ketenangan tanpa kata.
Setelah menyelesaikan pemeriksaannya, dokter wanita itu membereskan alat-alatnya. "Boleh saya tahu apa yang Anda rasakan, Nona?" tanyanya dengan nada lembut namun profesional.
Taeri mengangguk pelan, mencoba menenangkan diri. "Saya... merasa mual, Dok... lalu muntah, dan badan saya sangat lemas," ucapnya gugup. Ia mulai membayangkan hal-hal buruk, seperti tidak bisa mengikuti ujian pentingnya.
Mendengar keluhan Taeri, senyum lembut tersungging di bibir dokter wanita itu. "Sepertinya... saya membawa kabar bahagia untuk Anda berdua," ucapnya dengan nada hormat.
Kening Azey berkerut, tatapannya berubah tajam. "Jangan bertele-tele, Dokter... atau Anda ingin lisensi praktik Anda dicabut?" ancamnya dingin, nadanya menusuk.
Ucapan Azey membuat dokter wanita itu sedikit pucat, namun Taeri dengan cepat mencubit lengan kekasihnya. "Sayang! Jangan mengancam orang seperti itu," omelnya pelan, lalu beralih menatap dokter wanita itu dengan cemas. "Dok, sebenarnya apa yang terjadi pada saya?" tanyanya dengan nada penuh harap.
Dokter wanita itu menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. "Selamat, Nona. Anda sedang hamil. Usia kandungannya sekitar satu minggu," ucapnya dengan senyum tulus.
Mendengar pernyataan itu, Azey membeku di tempatnya. Ekspresi wajahnya sulit dibaca, sebuah kombinasi antara keterkejutan dan sesuatu yang sulit diartikan. Sementara itu, air mata mulai menggenang di pelupuk mata Taeri.
"Dok..." Suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. "A... apa yang barusan Anda katakan... S-saya... saya hamil?" tanyanya lirih, penuh haru. Perasaannya bercampur aduk, antara kebahagiaan yang meluap-luap dan gugup yang tak tertahankan.
"Betul, Nona. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Anda sedang mengandung," jawab dokter wanita itu dengan tenang dan profesional, mengkonfirmasi kebenaran yang baru saja terungkap.
Tanpa ragu, Taeri menoleh pada Azey dan langsung memeluknya erat. "Sayang... hiks... hiks... aku... aku hamil... sayang, aku... aku akan menjadi ibu," ucapnya tersengal di antara tangis bahagia, air mata membasahi kemeja Azey.
Azey membalas pelukan Taeri dengan erat, mencium pucuk kepalanya dengan lembut. "Ya, kau hamil, baby... Terima kasih," balasnya dengan nada dingin namun mantap, seolah kebahagiaannya hanya bisa diungkapkan melalui ketegasan suaranya, bukan ekspresi wajahnya. Tangannya mengusap lembut punggung Taeri, memberikan ketenangan dan rasa aman.
Dokter wanita itu mulai menjelaskan dengan rinci mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan selama kehamilan, termasuk pantangan dan nutrisi yang harus dikonsumsi. "Saya akan merekomendasikan vitamin khusus untuk ibu hamil, Nona. Dan mengenai hubungan intim... sebaiknya Tuan melakukannya dengan sangat lembut, serta segera menghentikannya jika Nona mulai merasa tidak nyaman," ucapnya formal dan penuh kehati-hatian, menjaga profesionalitasnya.
Taeri mengangguk paham, menyimak setiap perkataan dokter dengan seksama. "Begitu ya, Dok... Terima kasih banyak," ucapnya lega, dengan rona merah muda menghiasi pipinya karena malu.
Dokter wanita itu membalas senyum Taeri dengan ramah, lalu sedikit membungkuk sopan. "Kalau begitu, saya pamit undur diri, Tuan dan Nona," ucapnya sebelum melangkah meninggalkan kamar.
Setelah pintu tertutup, Taeri menoleh pada Azey, tatapannya penuh kasih sayang. "Dengarkan, sayang... Kata dokter, tidak boleh liar-liar lagi. Nanti babynya kenapa-kenapa," tegurnya manja, namun masih dengan nada terharu.
Azey tersenyum licik, sebuah seringai kecil menghiasi wajahnya. Ia mendekat dan mencium pipi Taeri dengan lembut. "Siapa yang liar? Bukankah kau sendiri yang begitu bersemangat menaiki tubuhku?" balasnya dingin namun menggoda, membuat pipi Taeri semakin merona.
Taeri memukul dada Azey pelan, merasa malu sekaligus gemas dengan godaan kekasihnya. Namun, di balik rona merah di pipinya, terpancar kebahagiaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Perasaan menjadi seorang ibu, membawa kehidupan baru ke dunia ini, adalah anugerah terindah yang pernah ia rasakan.