Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.
Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
POV AUTHOR
Hari sudah beranjak sore, namun batang hidungnya Aini belum juga tampak di pantry. Bahkan tasnya saja masih tertinggal di sana.Mbak Cici yang masih ada di pantry masih heran, kenapa Aini belum juga datang. Seharusnya dia sudah kembali dari gudang ice cream tersebut, karena mbak Cici tadi sempat melihat Lastri sudah pulang duluan.
"Aini kemana ya? Kok belum balik juga?" Mbak Cici yang hendak pulang, tak tega harus meninggalkan tasnya Aini, mana tau nanti ada yang berniat jahat dan mengambil tasnya Aini.
Sementara itu entah mengapa Arsya tiba-tiba ke pantry.
"Ada yang bisa di bantu pak?" Cici yang berada di dalam terkejut saat bosnya itu masuk ke dalam pantry.
"Bikinin saya teh sebelum pulang ya! Karena saya masih ada kerjaan sampai malam," ucap Arsya.
" Tapi Aini gak ada pak. Dia belum kembali dari gudang ice cream," jawab Cici.
" Gudang ice cream?" Arsya mengernyitkan dahinya bingung.
"Dia kan cleaning servis, kok bisa-bisanya dia ke sana?"
" Itu pak.." Cici terlihat ragu mau berbicara.
" Tadi Mbak Vera ke sini, katanya suruh Aini membantu Lastri di sana. Karena banyak barang yang masuk, dan yang bertugas di gudang sedang libur sakit,pak," Cici menjelaskan sedetail mungkin.
" Tapi yang anehnya,Aini belum juga kembali sampai saat ini pak. Sedangkan Lastri tadi saya lihat sudah pulang duluan." sambung Cici.
" Kamu sudah melihat ke sana?"
"Belum pak!" geleng Cici.
" Kamu sudah hubungi bagian gudang nya?" tanya Arsya lagi.
" Gak ada yang angkat telfonnya,pak. Karena biasanya jam segini itu petugas gudang yang lain sudah pada pulang." jawab Cici, yang sebenarnya juga merasa ada yang tidak beres.
"Ayo ikut saya ke sana!" Ajak Arsya dan Cici mengangguk setuju.
Baru saja Arsya dan Cici melangkah menuju lift,Risa menghampiri mereka.
"Arsya!" panggilnya dan Arsya menoleh.
"Hmmm..aku bisa minta tolong? Aku merasa sedikit pusing,jadi gak bisa bawa mobil sendiri. Kamu bisa anterin aku pulang?" Risa memang sedikit terlihat pucat.
Arsya sedikit bimbang. Di satu sisi dia ingin ikut dengan Cici mencari Aini,namun melihat Risa yang wajahnya pucat,membuat dia juga gak tenang jika melepas Risa sendirian pulang.
"Begini saja pak,biar saya sendiri yang cari Aini ke sana.Bapak anterin Mbak Risa saja pulang." Cici memberikan solusi supaya Arsya tak menjadi ragu.
"Yaudah kalau gitu! Aini,saya serahkan ke kamu. Nanti saya suruh satpam di depan bantu kamu!" jawab Arsya dan kemudian mengajak Risa pulang.
**
Cici dan satpam menuju gudang ice cream. Namun gudangnya sudah di gembok dari luar. Cici dan satpam tentunya tak punya kuncinya.
"Aini..Aini..." Panggil mbak Cici,namun tak ada sahutannya.
"Gimana ini pak,gak ada orang di sini. Takutnya Aini terkunci di dalam," ucap mbak Cici ke satpam.
" Tunggu di sini sebentar mbak,sepertinya kunci gudang ini ada di ruangan satpam," ucap Satpam bergegas ke ruangannya.
Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa kunci gudang tersebut. Mereka pun buru-buru membukanya,namun saat gudang terbuka,tak ada Aini di sana.
"Gak ada mbak sepertinya," ucap satpam itu lagi sudah menelusuri gudang,namun belum membuka bagian gudang pendingin,karena itu kuncinya yang punya hanya petugas gudang.
"Terus gimana dong pak?" Cici menjadi panik dan merasa bersalah, karena dia menyuruh Aini ke sini.
"Bagaimana, kalian sudah menemukan Aini?" Tanya Arsya yang datang tiba-tiba. Sepertinya dia tak jadi mengantarkan Risa.
"Belum ketemu, pak," Cici menggeleng pasrah.
" Bagian ruangan pendingin itu? "
"Kita gak punya kuncinya pak. Soalnya ruangan itu pakai password untuk membuka kuncinya.
Arsya kemudian menelfon seseorang, setelah itu dia berjalan menuju pintu ruangan tersebut dan mulai memencet beberapa angka. Akhirnya pintu pun terbuka.
"Aini.." lirih Arsya melihat Aini tergelatak lulai di lantai.
"Aini..." mbak Cici terlihat histeris saat melihat Aini yang bibirnya membiru.
Arsya langsung memasangkan jasnya ke tubuhnya Aini dan mengangkat tubuhnya.
"Cici, ayo kita bawa Aini ke rumah sakit," Ucap Arsya dengan nada panik.
" Iya pak! " angguk Cici yang juga terlihat sangat panik dan ketakutan.
Sementara Arsya fokus menyetir, Cici terus menepuk-nepuk pelan wajah Aini di bangku belakang.
"Panggil terus Aini-nya! Buat dia terus tersadar," Ucap Arsya di depan.
" Aini.. Ayo bangun.. Aini.. " tak terasa Cici meneteskan air mata melihat kondisinya Aini. Sesekali Cici mengusap telapak tangannya Aini.
**
Setibanya di rumah sakit, Aini langsung dibawa masuk ke ruang IGD. Perawat mendorong brankar dengan cepat, sementara dokter sudah bersiap memeriksa kondisinya. Dari luar pintu kaca, Arsya dan Cici hanya bisa melihat sekilas bayangan para tenaga medis bergerak tergesa-gesa. Wajah keduanya sama-sama tegang.
“Pak, saya takut terjadi sesuatu sama Aini.” Suara Cici cukup bergetar.
“Harusnya saya nggak nyuruh dia ke sana. Saya yang salah,"
“Kamu tenang dulu,” ucap Arsya, mencoba menata napasnya meski sorot matanya jelas ikutan gelisah.
“Aini itu wanita yang kuat. Dia pasti bisa melewati ini semua.”
Tapi ucapan itu tidak benar-benar menenangkan Cici. Ia masih meremas jari-jarinya sendiri, gelisah.
“Pak, saya gak habis fikir kenapa mbak Vera minta harus Aini yang ke sana? Bukannya ada karyawan lain? Dan… bukannya gudang itu juga bukan area yang bisa dimasuki sembarang orang?”
Cici akhirnya mengutarakan keganjilan yang sejak tadi mengganggu pikirannya.
Tatapan Arsya mengeras. Rahangnya menegang.
“Itu juga yang saya pikirkan,” ucapnya, suaranya mulai mengandung kemarahan.
“Aneh sekali. Kalau sampai terjadi sesuatu yang fatal, ini bukan cuma berbahaya untuk Aini, tapi juga merusak reputasi perusahaan!”
Cici langsung menunduk makin dalam, merasa semakin bersalah.
“Saya, saya juga nggak tahu, Pak. Mbak Vera yang nyuruh saya. Saya cuma ikut instruksi.”
Arsya menghela napas panjang, mencoba menahan emosi. “Saya paham. Tapi ini tetap harus kita selesaikan besok.”
“Maaf, Pak…” suara Cici makin kecil.
Arsya menatapnya sebentar, lalu berkata tegas, “Sekarang kamu pulang saja. Biar saya yang menunggu Aini di sini. Saya atasannya dan saya harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi.”
“Tapi Pak!” Cici ragu.
“Besok kita bereskan semuanya,” potong Arsya, tak memberi ruang untuk bantahan.
Akhirnya Cici mengangguk pelan. “Baik, Pak. Kalau begitu saya pulang dulu. Titip Aini ya Pak.”
Ia menunduk ke arah Arsya sebentar sebagai isyarat pamit, lalu berjalan menjauh, sesekali menoleh dengan wajah penuh kekhawatiran.
Begitu Cici hilang di tikungan lorong, Arsya membiarkan dirinya duduk di kursi panjang yang dingin. Ia memijat pelipisnya, mencoba menenangkan detak jantung yang kacau. Dari celah pintu, ia bisa mendengar samar suara dokter memberi instruksi. Hatinya makin tak karuan.
Beberapa detik kemudian, ia merogoh ponselnya dan menekan nomor mamanya.
“Ma, Arsya mau beri tau tentang Aini,” ucapnya begitu panggilan tersambung. Suaranya terdengar lebih pelan, lebih jujur menggambarkan kekhawatirannya.
Dari seberang, suara mamanya terdengar kaget. “Aini kenapa, Nak?”
Arsya menjelaskan sebaik mungkin, meski suaranya beberapa kali goyah. “Aku nggak punya nomor keluarganya, Ma, jadi tolong kabari ibunya Aini. Bilang kalau Aini lagi diperiksa intensif di rumah sakit. Terjadi sesuatu terhadap Aini saat bekerja tadi!"
“Baik, Nak. Mama urus. Kamu jaga dia di sana,” jawab mamanya lembut.
Setelah menutup telepon, Arsya menghembuskan napas panjang. Ia berdiri dan berjalan mendekati pintu IGD, menatap melalui kaca kecil yang buram. Dia berharap Aini baik-baik saja.a