Tiga Tahun berumah tangga, Amanda merasa bahwa pernikahannya benar-benar bahagia, tapi semua berubah saat ia bertemu Yuni, sahabat lamanya.
Pertemuan dengan Yuni, membawa Amanda pergi ke rumah tempat Yuni tinggal, dimana dia bisa melihat foto pernikahan Yuni yang bersama dengan pria yang Amanda panggil suami.
Ternyata Yuni sudah menikah lima tahun dengan suaminya, hancur, Amanda menyadari bahwa dia ternyata adalah madu dari sahabatnya sendiri, apakah yang akan Amanda lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Satu
Setelah kepergian Azka, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, berdenting pelan seolah menghitung waktu menuju akhir. Amanda berdiri lama di depan pintu kamar sebelum akhirnya melangkah masuk.
Pandangan matanya menyapu seluruh ruangan, tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan. Di sana, masih tergantung jas kerja Azka di balik pintu, dan di meja rias, cincin pernikahan mereka yang dulu begitu ia banggakan kini terasa seperti simbol kebohongan yang panjang.
Ia menarik napas dalam, lalu membuka lemari. Tangan itu bergerak cepat, tapi gemetar. Satu per satu pakaian dilipat dan dimasukkan ke dalam koper. Kemeja favoritnya, beberapa gaun kerja, dan sweater yang pernah dibelikan Azka saat musim hujan pertama mereka bersama.
Saat menyentuh benda itu, tangisnya pecah pelan. Ia duduk di tepi ranjang, menatap koper yang belum sepenuhnya tertutup. “Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini, Mas …,” ucap Amanda dengan suara serak.
Namun ia tahu, air mata tak akan mengubah apa pun. Dengan sisa tenaga, ia berdiri lagi, mengambil map berisi surat-surat penting, akta lahir, kartu identitas, tabungan, bahkan surat nikah mereka. Semua ia masukkan ke dalam koper, kecuali satu lembar kecil, foto pernikahan mereka yang dulu terpajang di meja.
Amanda menatap foto itu lama. Ia tersenyum pahit, lalu melipatnya perlahan dan menyelipkannya ke dalam dompet. Sebagai pengingat bahwa cinta pun bisa salah arah, pikirnya..
Setelah semuanya selesai, ia menuju kamar mandi. Air dingin yang membasuh tubuhnya terasa seperti penanda baru. Setiap tetesnya menghapus sisa-sisa malam sebelumnya, malam yang sekaligus menjadi puncak dan akhir dari segalanya.
Beberapa menit kemudian, Amanda keluar dengan pakaian sederhana, blus putih dan celana panjang warna krem. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya tampak tenang, walau di dalam dadanya ada badai yang tak terlihat.
Ia menarik koper perlahan, berusaha agar roda kecil itu tak menimbulkan suara di lantai. Ia melirik ke arah dapur; Mbok Rini sedang menyapu halaman belakang, tak menyadari apa yang sedang terjadi.
“Maaf, Mbok… aku nggak pamit. Tapi tolong jaga rumah ini,” gumam Amanda dalam hati sambil menahan napas.
Ia membuka pintu depan perlahan, memastikan tak ada yang melihat. Cahaya pagi menyapa wajahnya lembut. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah sisa embun.
Langkah kakinya mantap menuruni anak tangga. Koper itu mengikuti di belakangnya, berdecit kecil setiap kali roda bergesekan dengan ubin.
Sampai di depan rumah, Amanda menoleh sekali lagi. Rumah itu tampak damai, seolah tak menyimpan luka apa pun. Tapi bagi Amanda, di sanalah ia meninggalkan separuh jiwanya dan semua kenangan yang tak mungkin bisa ia ulang.
"Mas, bila akhirnya aku memilih melepaskanmu, percayalah, aku sudah mematahkan hatiku. Aku sudah berdebat hebat dengan diriku sendiri. Aku sudah melangitkan ribuan doa, agar Tuhan menunjukan jalan selain perpisahan. Sebelum akhirnya aku menerima takdir Tuhan, bahwa satu-satunya cara agar aku dan kamu tak semakin terluka, adalah rela melepaskan kamu."
Ia menarik napas panjang, lalu menutup pagar. Di tepi jalan, sebuah mobil taksi online sudah menunggu. Sopirnya membuka bagasi tanpa banyak bicara.
“Ke mana, Bu?” tanya sopir itu ramah.
Amanda tersenyum tipis. “Hotel Santika, Pak.”
Mobil pun melaju perlahan, meninggalkan rumah yang perlahan mengecil di balik kaca spion.
Di kursi belakang, Amanda menatap keluar jendela. Matahari mulai meninggi, menyinari kota yang tampak sibuk dengan rutinitasnya. Sementara di hatinya, semua terasa berhenti.
Ia menggenggam ponselnya, membuka pesan dari Azka yang baru saja masuk. “Sampai malam, Sayang. Aku nggak sabar makan malam berdua denganmu nanti malam.”
Air mata jatuh tanpa suara. Ia mengetik balasan singkat. "Aku juga nggak sabar, Mas."
Amanda menatap langit biru di luar jendela. Entah bagaimana, langit itu tampak terlalu cerah untuk hari yang seharusnya sendu. Tapi mungkin, pikirnya, memang begitulah perpisahan, selalu datang dengan cahaya, agar langkah pergi tak terlihat terlalu gelap.
Azka datang ke restoran itu dengan langkah cepat. Wajahnya tampak lebih segar dari biasanya, senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Ada semangat baru di dadanya malam itu, semangat untuk jujur, untuk memperbaiki semuanya, meski ia tahu risikonya mungkin akan menghancurkan segalanya.
Ia sempat menatap pantulan dirinya di kaca pintu restoran sebelum masuk. “Malam ini, aku harus berani,” gumam Azka pelan.
Begitu pintu dibuka, aroma lembut lilin dan bunga melati langsung menyambut. Restoran itu tampak elegan, dengan lampu temaram dan musik pelan yang mengalun di latar. Matanya berkeliling mencari seseorang dan saat menemukannya, waktu seolah berhenti.
Amanda duduk di sudut ruangan dekat jendela. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Ada luka di sana, namun juga keteguhan.
Azka melangkah mendekat. “Sayang …,” panggilnya dengan suara pelan.
Amanda menoleh dan tersenyum. “Mas.”
Tanpa pikir panjang, Azka menunduk dan mengecup kening istrinya dengan lembut. Satu gerakan sederhana yang justru membuat dada Amanda terasa sesak. Ia menahan air mata yang hampir jatuh, memaksa bibirnya tetap tersenyum.
Setelah duduk, keduanya saling bertukar pandang beberapa detik yang terasa canggung, tapi hangat.
Pelayan datang membawa buku menu, tapi Amanda hanya menatapnya sebentar. “Pesan kayak biasa aja ya, Mas,” ujarnya singkat.
Azka mengangguk. Ia tahu betul apa yang dimaksud “kayak biasa.” Menu favorit mereka.
Sambil menunggu pesanan datang, Amanda menyerahkan kotak kecil berwarna cokelat muda. “Ini … buat Mas,” katanya pelan.
Amanda memang sudah merencanakan semua ini. Memberikan kado terlebih dahulu. Lalu akan mengatakan tentang perpisahan mereka, barulah dia kirimkan video saat Nathan ulang tahun.
Azka mengangkat alis, tersenyum lebar. “Lho, kok kamu duluan yang kasih?”
Amanda hanya tertawa kecil. “Nggak apa-apa. Aku cuma pengin kasih duluan aja.”
Azka membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya, sebuah jam tangan kulit cokelat elegan. “Kamu masih inget merek ini?” tanyanya sambil terkekeh.
“Ya iyalah, itu merek yang Mas liatin di etalase waktu ulang tahun aku tahun lalu,” jawab Amanda ringan. “Katanya pengin beli, tapi belum sempet.”
Azka menggeleng, menatap istrinya lembut. “Kamu emang paling ngerti aku.”
Lalu giliran Azka menyerahkan hadiah. Sebuah kotak beludru berwarna hitam. Begitu Amanda membukanya, kilauan perhiasan emas putih terpancar. Kalung dan anting dengan desain sederhana tapi mewah.
“Mas … ini kebanyakan,” ucap Amanda pelan.
“Biar kamu inget, aku masih pengin bahagiain kamu,” kata Azka, suaranya sedikit bergetar.
Amanda menunduk. Hatinya terasa berat, seperti ada yang menekan dari dalam.
Pelayan datang membawa makanan, memberi jeda di antara keheningan mereka. Suasana sempat mencair ketika mereka mulai makan, saling bercerita hal ringan, pura-pura seperti semuanya masih sama.
Namun begitu piring-piring mulai kosong, Azka menaruh garpu dan pisau perlahan. Ia menarik napas panjang.
“Amanda,” panggil Azka.
Amanda mendongak, menatap wajah suaminya yang kini tampak serius.
“Ada sesuatu yang pengin aku omongin. Tentang aku … tentang kita. Aku ingin mengatakan sesuatu yang selama ini aku sembunyikan."
Nada suaranya berat, seperti menahan sesuatu yang sudah lama ingin diungkap.
Amanda hanya diam. Tangannya yang tadi sibuk memainkan gelas kini terhenti di udara. Ia tahu, inilah saatnya. Mungkin kalimat berikutnya akan jadi awal dari akhir yang sesungguhnya.
Azka menatapnya lekat-lekat. “Sebenarnya aku ...."
supaya adil tdk ada yg tersakiti..
amanda dan yuni berpisah saja..
klo terus bersm yuni hanya amanda yg diikiran azka ..hanya u status nathan..
klo terus dengan amanda..azka melepas yuni merampas nathan..bagai mana perasaan yuni apalagi amanda sahabat nya..
kita mah pembaca nurut aja gimana kak authornya..walau baper gemesh😂😂😂
.manda juga milih mundur .yuni sangking cinta nya ke azka repot jg ya😤