Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.
Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.
4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.
Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Act 12 - A long run
Pagi menyambut. Suara terompet kembali menggema, membangunkan seluruh isi barak.
Pintu kayu terbuka lebar, seorang knight masuk dengan langkah mantap, suaranya tegas memecah udara dingin.
“Bangun! Bersiaplah! Hari pertama pelatihan dimulai!”
Aku segera terbangun, rasa kantuk lenyap seketika. Udara pagi di Frostmarch menusuk tajam ke kulit, tapi tidak ada waktu untuk mengeluh. Kami bergegas mengenakan perlengkapan dan keluar dari barak menuju lapangan.
Lord Victor sudah berdiri di sana, tegap dan tenang, matanya tajam mengamati satu per satu dari kami.
“Baiklah,” ucapnya, suaranya dalam dan berwibawa. “Kalian sudah siap?”
Kami berdiri dalam barisan, mencoba menyembunyikan gugup di balik wajah yang tampak tegar.
“Hari ini kalian akan belajar arti sebenarnya dari ketahanan. Ikuti aku,” katanya sambil berbalik.
Kami mengikutinya menaiki tangga menuju puncak tembok benteng. Dari atas, hamparan putih Frostmarch membentang sejauh mata memandang, kabut salju bergulung pelan di kejauhan.
Victor mengangkat tangannya, menunjuk ke sebuah bukit yang samar-samar terlihat di tengah kabut.
“Kalian lihat bukit itu? Sebagai pemanasan, kalian akan berlari dari gerbang citadel menuju puncak bukit itu, lalu kembali ke sini.”
Aku menatap bukit itu, tampak jauh dan diselimuti kabut tebal. Nafasku berat bahkan sebelum memulai.
“Pergilah ke gerbang,” perintah Victor. “Aku akan menunggu kalian di lapangan.”
Kami menuruni tangga dengan cepat, udara pagi semakin dingin saat angin menerpa. Begitu tiba di gerbang, kami saling menatap, lalu mulai berlari bersamaan.
Aku menahan kecepatan, mencoba menghemat tenaga. Empat orang lainnya—Celeste, pria bertubuh besar, anak nelayan, dan bangsawan muda—mengikutiku.
Langkah kami menimbulkan suara berderak di atas salju. Pohon-pohon tinggi menyambut di sisi jalan, menciptakan lorong sunyi yang dipenuhi kabut. Nafas membentuk uap putih di udara.
Semakin jauh kami berlari, semakin tipis udara terasa. Nafas semakin berat, salju makin tebal. Kami mulai menaiki lereng, menandakan bukit itu sudah dekat.
Tiba-tiba, aku menangkap sesuatu dari sudut mataku—batang pohon besar meluncur dari sisi kanan!
“AWAS!” teriakku.
Kami semua melompat menghindar, batang pohon menghantam tanah dengan suara menggelegar, mengguncang salju di sekitar kami.
“Perangkap?” gumamku, napas memburu.
Kami mempercepat langkah, kini berlari dengan lebih waspada. Tapi bahaya belum usai. Tanah di bawah kami tiba-tiba runtuh!
Pria besar itu melompat sigap, diikuti dua lainnya. Aku sempat mundur satu langkah, tapi suara jeritan membuatku berbalik.
“Celeste!”
Tanah di bawahnya hancur, tubuhnya hampir hilang tertelan lubang. Tanpa berpikir, aku melompat, menangkap tangannya.
“Pegangan!” teriakku. Salju beterbangan saat aku menarik sekuat tenaga.
Tangannya terasa dingin, tapi genggamannya kuat. Dengan dorongan terakhir, aku berhasil menariknya keluar.
Dia berdiri, napasnya terengah. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya—hanya anggukan singkat sebelum ia kembali berlari mendahuluiku.
Aku menatap punggungnya yang menjauh, lalu ikut berlari mengejar. Tak ada waktu untuk bertanya.
Kami menembus hutan yang kian menanjak, melompati akar-akar pohon yang tertutup salju, menghindari tali perangkap, dan bebatuan yang longsor dari lereng. Udara di puncak terasa tipis, tapi kami terus memaksa tubuh ini melangkah.
Saat matahari mulai condong, kami akhirnya tiba kembali di citadel—tubuh penuh luka dan lecet, napas tersengal, tapi masih berdiri.
Kami jatuh terduduk di lapangan, membiarkan salju dingin menyentuh wajah yang memerah karena lelah. Tapi waktu istirahat tak lama.
Lord Victor sudah berdiri menatap kami, tangan bersedekap, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis.
“Akhirnya datang juga kalian. Kupikir kalian mati di sana.”
Dia melangkah mendekat, lalu melemparkan sebuah kapak besar ke tanah di depan kami. Salju beterbangan.
“Berdiri!” suaranya menggema. “Sebagai penutup hari ini, ambil kapak itu. Ayunkan seribu kali. Setelah itu, kalian boleh beristirahat.”
Aku menatap kapak itu—besi dingin, berat, gagangnya kasar. Saat kuangkat, lenganku langsung bergetar.
Celeste mencoba mengangkatnya, tapi tubuhnya kecil, kedua tangannya gemetar hebat.
“Seribu kali?” gumamku pelan, hampir tak percaya. Tapi tak ada pilihan.
Kami mulai mengayun. Satu. Dua. Tiga.
Setiap ayunan mengguncang bahu dan pergelangan. Nafas tersengal, tangan mulai lecet. Tapi kami terus bergerak.
Pria besar itu tampak masih kuat. Anak nelayan mengikuti ritme tanpa banyak bicara. Bangsawan muda dan Celeste mulai tertinggal—wajah mereka memucat, keringat bercampur salju di kening.
Aku sendiri bertahan di tengah—bukan yang tercepat, tapi juga tak menyerah. Setiap hentakan terasa seperti batu menghantam tulang. Tapi di dalam hatiku, satu suara terus berulang:
> Aku bukan knight, tapi aku tidak akan kalah di sini.
Langit mulai gelap. Satu per satu, kami menyelesaikan tugas. Pria besar itu selesai lebih dulu, lalu anak nelayan, disusul aku.
Celeste dan bangsawan muda masih berjuang. Tangan mereka berdarah, wajah pucat pasi. Tapi mereka tak berhenti.
Dengan sisa tenaga terakhir, mereka mengayunkan kapak untuk keseribu kalinya—dan menjatuhkannya ke tanah bersamaan.
Celeste nyaris tumbang, lututnya goyah. Aku melangkah cepat, menangkap tubuhnya sebelum ia terjatuh di salju.
Dia tak berkata apa pun—hanya diam, pipinya memerah menahan malu.
Tanpa banyak bicara, aku mengangkatnya, membawanya kembali ke barak.
Langkahku berat, tapi anehnya... terasa hangat.
Hari pertama berakhir dengan rasa sakit di seluruh tubuh, tapi di balik semua itu, aku tahu satu hal—
> inilah awal dari diriku yang baru.
---
Keesokan harinya kami kembali dihadapkan dengan latihan yang sama. Begitu juga hari setelahnya. Dan setelahnya lagi.
Hingga berminggu-minggu berlalu tanpa satu hari pun istirahat.
Latihan yang awalnya terasa berat kini mulai terasa ringan — bukan karena menjadi mudah, tapi karena tubuh kami telah terbiasa menanggungnya. Rasa sakit tak lagi jadi musuh, tapi kawan yang selalu hadir setiap pagi.
Di sela-sela latihan itu, perlahan kami mulai saling mengenal.
Kami belajar bekerja bersama, berteriak bersama, bahkan dihukum bersama.
Jika satu dari kami gagal, maka kami semua ikut menanggung akibatnya.
Dan entah sejak kapan, kami mulai menganggap satu sama lain sebagai saudara.
---
Setelah berkenalan, aku akhirnya tahu nama mereka satu per satu.
Pria besar itu bernama Zein Fenris. Bertubuh kekar dan suaranya selalu lantang di antara kami. Sulit dipercaya seseorang seperti dia berasal dari keluarga bangsawan yang disegani di Frostmarch.
Lalu Galland Zarimeth, anak bangsawan dari keluarga pemimpin Sunspire. Ia tampak canggung dan gugup, tapi kecerdasannya luar biasa. Tak heran keluarga mereka jadi yang terkaya di seluruh Tharion — posisi istana mereka tepat di jalur perdagangan utama.
Berikutnya, Sandel, seorang anak nelayan dari Iron Coast. Ia bukan keturunan pejuang atau bangsawan, tapi tubuhnya ditempa oleh ombak dan badai. Di antara kami, kekuatannya paling murni dan alami.
Dan yang terakhir tentu saja Celeste Veynar, gadis berambut pirang terang seperti salju. Ia berasal dari keluarga pejuang terkenal di Frostmarch — keluarga pemakai kapak yang disegani di utara.
Sejak hari itu, kami tak lagi sekadar rekan latihan. Kami adalah satu tim.
Satu keluarga.
---
Hari ke-30.
Untuk pertama kalinya, suasana terasa berbeda.
Kami berkumpul di lapangan seperti biasa, menunggu kedatangan Victor.
Duk... duk...
Langkah kaki berat terdengar mendekat.
“Selamat pagi, semuanya,” ucap Victor sambil berjalan diikuti lima knight di belakangnya. Mereka mengenakan armor penuh dengan lambang beruang putih khas pasukan Frostmarch.
Salah satu membawa dua kapak besar, lainnya bersenjata pedang dan perisai.
“Di latihan akhir ini, aku akan memberikan sesuatu yang berbeda,” ucap Victor.
“Latihan akhir?” tanya Zein sambil menyilangkan tangan.
“Benar,” jawab Victor tenang. “Hari ini adalah latihan terakhir kalian sebelum menerima misi pertama.”
Ia menatap kami satu per satu.
“Latihan kali ini sederhana. Kalian hanya perlu melancarkan satu serangan padaku. Tidak harus mengenaiku, cukup lepaskan serangan ke arahku.”
“Tapi,” lanjutnya, “kelima knight ini akan menghalangi kalian.”
Victor mengangkat tangannya. “Bekerjasamalah sebagai tim... dan menangkan pertarungan ini.”
---
Tanpa pikir panjang kami mengenakan armor dan mengambil senjata.
Rasa gugup menyelimuti, tapi juga semangat membara.
“Apa rencana kita?” tanya Sandel cepat.
Kami saling pandang, berharap ada yang punya ide.
Lalu tangan Galland perlahan terangkat.
“Umm... kalau boleh, aku punya masukan sedikit,” ucapnya gugup.
Kami semua mengangguk, mendengarkan.
Beberapa menit kemudian, strategi pun terbentuk.
---
“Baiklah... MAJU!” teriak Zein.
Kami berlari bersamaan. Aku, Zein, dan Sandel di garis depan.
Perisai kami bertubrukan dengan keras melawan barisan knight di depan.
Brakk!
Tiba-tiba, seorang knight dengan dua kapak datang dari samping, mengayunkan senjatanya ke arahku.
Tink!
Percikan api menyambar udara saat kapaknya diblokir oleh kapak Celeste.
Dari belakang, seorang knight lain melompat tinggi dengan tombak terhunus.
Aku dan Zein terpental mundur menahan serangannya.
Dash!
Kami segera membentuk posisi bertahan.
Zein melemparkan salju dari perisainya, sementara aku ikut menyerang balik bersama Sandel.
Kapak Zein menghantam tombak lawan.
Brakkkk!
Tombak itu patah — tapi knight itu malah memutar patahannya dan menyerang kaki Zein.
Tubuh besar Zein goyah.
“Zein!” teriakku, berlari ke arahnya.
Aku menarik tubuh Zein dan menahan serangan tombak dengan perisaiku.
Mereka tidak menahan diri. Ini bukan sekadar latihan.
Mereka benar-benar menguji kami.
Aku menunduk, berputar, dan menyapu kaki knight itu hingga terjatuh.
Sekilas aku melihat Celeste terdesak di sisi lain.
Aku memberi isyarat ke Zein, dan dia langsung berlari membantu Celeste.
Sementara aku berhadapan lagi dengan knight di depan.
Begitu ia bangkit, aku menekan tubuhnya, menggunakan momentum untuk melompat ke barisan depan.
Perisaiku menghantam lawan berikutnya.
Tankk!
Benturan keras membuat telingaku berdenging.
Mereka membuka formasi, mencoba mengepung.
Inilah saatnya.
“Sekarang!” teriakku.
Galland dan Sandel datang dari dua arah berbeda, menyerang bersamaan denganku.
Kami menekan barisan lawan.
Tiba-tiba, knight bertombak tadi muncul lagi, menyerangku dari belakang.
Tapi Zein datang tepat waktu, menabraknya dengan perisai lalu melemparkan kapaknya ke depan.
Tankk!
Kapak itu ditepis, tapi cukup untuk mengalihkan perhatian musuh.
Aku memanfaatkan celah itu untuk menyapu kakinya.
“James, ayo!” seru Galland.
Aku berlari secepat mungkin menuju Victor.
Tatapannya tenang, seolah tahu semua langkahku.
Aku mengayunkan pedang, tapi dengan mudah ia menangkisnya, memutar pergelangan tanganku, lalu melemparku ke tanah.
Brugh!
Sakit? Tentu. Tapi di baliknya ada rasa bangga yang aneh.
Karena kami melakukannya bersama.
Victor menatap kami sejenak, lalu tersenyum tipis.
“Baiklah... kalian berhasil. Dengan ini, kalian dinyatakan lulus.
Kalian resmi menjadi Knight of Frostmarch.”
---
Suasana hening sejenak.
Lalu tawa Zein pecah, keras dan tulus.
Celeste tersenyum kecil, sementara Sandel menepuk bahuku.
Galland bahkan hampir menjatuhkan pedangnya karena lega.
Dan aku... hanya bisa menarik napas panjang.
Perjalanan kami baru saja dimulai.
Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.
Tapi aku coba positif thinking aja