Arjuna dikenal sebagai sosok yang dingin dan datar, hampir seperti seseorang yang alergi terhadap wanita. la jarang tersenyum, jarang berbicara, dan selalu menjaga jarak dengan gadis-gadis di sekitarnya. Namun, saat bertemu dengan Anna, gadis periang yang penuh canda tawa, sikap Arjuna berubah secara drastis.
Kehangatan dan keceriaan Anna seolah mencairkan es dalam hatinya yang selama ini tertutup rapat. Tak disangka, di balik pertemuan mereka yang tampak kebetulan itu, ternyata kedua orangtua mereka telah mengatur perjodohan sejak lama. Perjalanan mereka pun dimulai, dipenuhi oleh kejutan, tawa, dan konflik yang menguji ikatan yang baru saja mulai tumbuh itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ivan witami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Hampir Ketahuan
Maaf, Pak Juna. Saya telat, tadi ke...” Anna terhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “...ban motorku bocor, jadi harus ke bengkel dulu,” ucapnya dengan suara sedikit terengah-engah saat memasuki ruang rapat.
Seluruh mata langsung tertuju pada Anna yang berdiri di ambang pintu. Apalagi bagian depan bajunya yang basah tembus pandang memperlihatkan lekukan tubuhnya yang membuat suasana ruangan menjadi agak canggung. Beberapa rekan kerja saling bertukar pandang, sementara Anna dengan cepat menyilangkan kedua tangannya untuk menutupi dadanya.
Pak Reza duduk di ujung meja, menghela napas panjang saat memandangi anak perempuannya. Ia benar-benar salut dengan semangat dan tekad Anna yang ingin membangun kariernya dari nol, tanpa mengandalkan nama besar keluarga mereka. Tetapi, tatapan penuh sayang dan kebanggaan Pak Reza itu malah disalah artikan oleh Pak Juna yang duduk tidak jauh darinya.
Juna menangkap tatapan Pak Reza yang diarahkan kepada Anna. Dalam hatinya, ia merasa curiga dan cemburu, mengira bahwa Pak Reza tengah menaruh hati pada Anna. Pak Reza dan Anna sengaja menyembunyikan hubungan ayah dan anak mereka agar identitas keluarga besar Pak Reza tidak diketahui siapa pun di kantor, terutama oleh Juna. Karena pak Reza dan Pak Hamdan mempunyai misi tersendiri untuk Juna tentang perjodohan mereka.
Tanpa basa-basi, Juna melepas jaket jasnya dan mendekati Anna. Ia dengan lembut menarik jaket itu ke pundak Anna sambil berbisik, “Ganti bajumu, dadamu terlihat jelas.”
“Haah?” Anna menatap Juna dengan sedikit malu, lalu buru-buru memeriksa bagian depan bajunya yang basah. Ia segera merapikan jasnya dengan rapi.
“Ya sudah, aku ganti dulu. Tapi ini desain baju yang diminta Pak Reza,” katanya sambil menyerahkan kertas-kertas itu ke Juna, lalu berlari menuju toilet untuk mengganti bajunya.
Juna menerima kertas itu, menatapnya sekilas berupa rancangan desain produk baru yang akan dipresentasikan dalam rapat hari itu. Ia menarik napas dalam, menenangkan dirinya, lalu duduk kembali menunggu Anna selesai mengganti baju.
Namun, tiba-tiba lampu padam dan terdengar suara jeritan Anna begitu kuat. Pak Reza sigap keluar diikuti Juna, pak Hamdan dan beberapa yang lain. walau seisi gedung itu gelap, pak Reza berjalan cepat menggunakan senter dari ponselnya ke arah sumber suara.
“Anna!” panggil Pak Reza panik karena Anna mulai menangis memanggil sang papa.
Pak Reza terpaksa mendobrak pintu toilet dan mendapati Anna duduk meringkuk di sudut wastafel. “Papa.”Anna mendongak melihat pak Reza.
Pak Reza membopong Anna dan dengan pencahayaan dari ponsel pak Hamdan, pak Hamdan membimbing pak Reza agar ke ruangannya.
Setelah sampai di ruangan yang temaram, tiba-tiba lampu menyala dengan sendirinya, menyoroti ruangan kecil yang penuh ketegangan. Anna masih terlihat syok, duduk dengan tubuh menggigil sambil memeluk erat Pak Reza, yang duduk di sampingnya mencoba menenangkan. Wajah Pak Reza menunjukkan kecemasan yang dalam, tetapi ia berusaha menyembunyikan kekhawatiran demi Anna.
Tak lama kemudian, Pak Hamdan masuk membawa segelas air putih. “Minum dulu, Anna,” ucapnya dengan suara lembut sambil menyerahkan gelas itu.
Pak Reza mengambil gelas tersebut, membantu Anna duduk lebih tegak, sambil mengusap rambut putrinya dengan perlahan. “Sudah, papa sudah ada di sini. Jangan takut,” ia menenangkan dengan suara penuh kasih sayang.
“Pak Hamdan, putri saya memang takut gelap, maaf sudah merepotkan.”
“Tidak apa-apa. Saya yang harusnya minta maaf.”
Anna menyesap air itu perlahan, mencoba menenangkan dirinya antara ketakutan dan kelegaan.
Tiba-tiba pintu terbuka dan Aldo masuk dengan napas terengah-engah. “Pak Hamdan! Juna pingsan di dekat ruang rapat! Kepalanya berdarah!” Aldo melaporkan dengan wajah panik.
Pak Hamdan segera berdiri, turut merasa cemas. “Hah? Kok bisa?”
“Sepertinya tadi waktu ikut keluar mendengar jeritan Anna, Juna kesandung dan jatuh. Mungkin kepalanya kebentur meja,” jelas Aldo sambil mengusap pelipisnya yang berkeringat.
Mendengar kabar itu, Pak Hamdan segera menyuruh Aldo. “Anak itu… Oh iya. Kamu beri tahu siapa saja yang melihat Anna dibopong Pak Reza. Pastikan jangan ada yang tahu kalau Anna adalah anak Pak Reza, terutama jangan sampai Juna tahu.”
“Baik, Pak. Serahkan pada saya,” balas Aldo sigap, lalu berlari keluar untuk mengabari rekan-rekan kantor yang tadi melihat kejadian itu.
Anna menarik napas panjang, mencoba menyembunyikan perasaannya yang campur aduk. Ia menoleh ke arah papanya. “Pa, aku sudah baikan. Terima kasih ya. Lain kali jangan begini, nanti semua orang tahu aku ini anak papa,” keluhnya sambil merapikan rambut yang berantakan.
Pak Reza terkekeh kecil, mencoba meringankan suasana. “Papa juga panik, Sayang. Ya sudah, kamu lihat bos kamu dulu itu. Dia juga panik sampai terjatuh dengar jeritan kamu. Kamu kan karyawan ‘sayangnya’.”
Anna menyunggingkan senyum kecil lalu menjawab dengan nada menggoda, “Ih, Papa. Bisa aja. Tapi setelah ini aku gak mau dengar aku dijodohin lagi ya! Karena aku sudah punya pacar, yaitu bos Anna sendiri,” ujarnya sambil melangkah keluar ruangan.
Pak Reza hanya bisa tersenyum lebar melihat sikap putrinya yang ceria meski kejadian tadi cukup menguras tenaga mereka berdua.
Di ruang tunggu, Reza yang masih setengah sadar tergeletak di sofa. Wajahnya pucat dengan perban melilit di kepala, darah yang mengering di sekitarnya menunjukkan betapa parahnya benturan yang dialami. Petugas medis membatasi akses ke ruangan itu, tetapi Anna melangkah masuk tanpa ragu.
Ia mendekat perlahan dan menggenggam tangan Reza yang dingin. “Reza, kamu dengar aku gak. Aku gak apa-apa kok. Cuma aku tadi takut gelap aja.”
Reza membuka sedikit matanya. “Aku…” katanya serak.
“Ssttt…” Anna menutup bibir Juna dengan telunjuk jarinya. “Sudah sekarang kita ke dokter. Aku gak mau kamu gegar otak.”
Di sudut ruangan, Pak Reza dan Pak Hamdan saling bertukar pandang penuh arti, menyiapkan strategi mengacak-acak perasaan mereka.
Suara gaduh dari lorong terdengar ketika Aldo masuk kembali dengan penuh semangat. “Pak, semua yang melihat sudah diingatkan. Rahasia Anna tetap aman.”
Pak Hamdan mengangguk mantap. “Bagus. Kita harus bertindak cepat sebelum rumor liar tumbuh dan menghancurkan apa yang sudah kita rencanakan.”
Pak Hamdan dan Pak Reza menghampiri Ana dan Juna, mereka berdua juga khawatir dengan Juna.
“Juna, sebaiknya kamu ke dokter,” ucap Pak Reza.
“Rapatnya?” tanya Juna masih menahan sakit dikepalanya.
“Juna…, rapat bisa dilanjutkan nanti. Iya kan, pak Reza. Yang penting itu periksa ke dokter dulu. Aku juga takut kamu gegar otak. Nanti kamu lupa sama aku,” cicit Anna membuat tawa semuanya.
“Iya, kamu benar. Rapat dilanjutkan besok saja,” lanjut pak Reza tersenyum melihat Anna.
Lagi-lagi, Juna salah paham dengan tatapan pak Reza pada Anna. Namun, ia hanya mampu mengepalkan tangannya.
“Sekarang kita ke rumah sakit. Mana kunci mobil kamu? Biar aku yang nyetir,” ucap Anna sambil menadahkan satu tangannya didepan Juna.
Juna mengeluarkan kunci mobilnya dan memberikan pada Anna. Setelah itu mereka pergi ke rumah sakit.
Setelah Anna dan Reza pergi ada salah satu karyawan berbisik pada pak Hamdan.“Pak, sepertinya ada yang sengaja mematikan listrik, karena gedung sebelah listriknya tetap hidup.”
“Selidiki orangnya.”
“Baik, Pak.”