Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Anugerah Dari Langit
Ruangan peristirahatan raja di sayap timur istana hanya diterangi cahaya redup dari lentera kristal. Tirai putih tipis melambai perlahan tertiup angin malam yang menyusup dari jendela terbuka. Aroma dupa kayu pinus memenuhi udara, menenangkan, tapi tak mampu menyingkirkan gelisah dari dada sang ratu.
Ratu Elmarelle duduk di dekat jendela, mengenakan jubah tidur putih gading. Rambut peraknya tergerai ke bahu, matanya menatap bulan yang setengah tertutup awan. Di kursi seberangnya, Raja Tigris baru saja mengganti jubah kebesarannya dengan pakaian tidur berwarna marun gelap. Tapi sorot matanya masih menanggung beban kerajaan.
“Pernahkah kau merasa, Yang Mulia,” gumam Elmarelle, “bahwa langit tak lagi sepenuhnya berpihak pada kita?”
Tigris menoleh, diam sejenak, lalu menjawab pelan, “Aku sering merasa... bahwa langit hanya sedang menunggu siapa yang cukup kuat untuk bertahan saat badai datang.”
Elmarelle menggenggam jemarinya sendiri. “Aku takut. Serangan orc makin dekat. Ladang Fayye, desa Trothuv, laporan dari utara... semua membuatku teringat masa kelam Raja R’hu. Dulu, saat kekacauan datang, tak ada yang membela dia. Semua orang memilih menyalahkan.”
Raja Tigris menghela napas. “Aku pun memikirkan hal yang sama.” Ia menatap jauh, melewati jendela. “Aku sudah membicarakan ini dengan Pendeta Xiberius.”
Elmarelle terkejut. “Apa yang dikatakannya?”
Tigris menoleh. “Ia tidak bisa meramalkan masa depan. Ia bilang... kehendak Lumelith tak bisa dibaca seperti peta. Tapi... dia melihat tanda-tanda yang tak bisa diabaikan. Kegelapan dari utara... semakin mendekat.”
“Kegelapan,” bisik Elmarelle, menggenggam pinggiran jubahnya.
“Ia mengatakan,” lanjut sang raja, “mungkin akan ada kekacauan besar. Mungkin tak semua bisa diselamatkan. Tapi aku harus berdiri di garis terdepan. Karena jika raja lari dari tugasnya, maka tidak akan ada yang berdiri di belakang rakyat.”
“Xiberius... dia pendeta yang bijak,” ucap Elmarelle pelan. “Dia satu-satunya yang tidak pernah mengkhianati siapapun di istana.”
Raja Tigris mengangguk. “Benar. Dia tidak memihak siapa pun. Tidak pada bangsawan, tidak pada istana. Dia hanya percaya kepada Lumelith. Mungkin karena itulah... aku bisa mempercayainya lebih dari siapa pun.”
Elmarelle memejamkan mata, lalu berdiri dan menghampiri suaminya. Ia menyentuh tangan Tigris yang kasar—tangan seorang pemimpin, bukan hanya bangsawan istana.
“Aku tahu kau kuat,” bisiknya. “Tapi janji satu hal padaku, Tigris.”
“Apa itu?”
“Jika badai datang... lindungi Nieville. Apapun yang terjadi... jangan biarkan dia menjadi seperti anak-anak Raja R’hu yang meninggal.” Ucapan Elmarelle penuh harap, matanya tampak berkaca-kaca.
Wajah Raja Tigris menegang. Sebuah nama yang jarang diucapkan, tapi tak pernah dilupakan. Nama yang menjadi bayangan masa lalu yang terus menghantui sejarah Acalopsia.
“Aku akan menjaga Nieville,” kata Tigris, “bahkan jika aku harus mengorbankan diriku sendiri.”
Elmarelle menunduk, lalu memeluk suaminya erat. Untuk sejenak, mereka bukan lagi raja dan ratu. Hanya dua orang tua... yang berusaha menjaga tanah yang mereka cintai dari kehancuran yang tampaknya mulai tak terelakkan.
*****
Saat Elmarelle memeluknya, ingatan lama itu datang menelusup. Membelah waktu. Menarik Tigris kembali ke masa yang ingin ia kubur dalam diam.
Ia berdiri di depan gerbang istana yang terbuka lebar. Dindingnya retak, menara-menara hancur seperti tulang yang dipatahkan paksa. Halaman penuh reruntuhan, tanahnya berwarna kelam, seperti menyerap darah dan abu menjadi satu luka yang tak bisa disembuhkan.
Api masih membakar beberapa pilar. Darah menodai anak tangga. Langit kelabu menggantung di atas menara yang pecah, seperti langit sendiri sedang berkabung.
Tubuh-tubuh tergeletak di mana-mana. Pasukan penjaga, pelayan, bangsawan, rakyat. Tubuh para elf yang belum sirna menjadi cahaya, tergeletak di antara puing dan debu.
Ia masih memegang pedang yang berlumuran darah orc. Baju perangnya tak luput dari cipratan darah busuk mereka. Napasnya masih terengah-engah. Jubah perangnya tercabik, tubuhnya lelah bukan hanya karena pertempuran, tapi karena apa yang baru ia lihat… dan dengar.
Seorang prajurit berlutut di depannya. Tubuhnya bergetar. “Pangeran… Raja R’hu… tidak selamat.”
Tigris mematung.
“Bukan hanya beliau… Permaisuri… keempat putranya… semuanya… telah tiada. Semua… yang ada di hutan perkemahan musim semi. Tak ada yang tersisa…”
Langit tampak merunduk. Waktu seakan berhenti.
Tigris menjatuhkan pedangnya. Logamnya menghantam batu dengan dentang nyaring, seolah menandai pecahnya sesuatu dalam dirinya. Lututnya goyah, lalu ia jatuh—berlutut di tangga istana yang kini hanya menjadi gerbang kematian.
Kedua tangannya menekan tanah, menggenggam debu dan darah yang bercampur jadi lumpur. Tubuhnya gemetar hebat. Napasnya tersendat, lalu—jeritan itu keluar. Jeritan panjang dan dalam yang menggetarkan udara. Jeritan seorang adik… seorang putra… seorang prajurit… yang gagal melindungi segalanya.
“R’hu…!” teriaknya. “Zakary… Kleith… William… Revalant…”
Satu per satu nama keponakannya ia panggil, hingga suaranya pecah. Air mata tumpah tanpa malu, membanjiri pipinya. Ia menjerit lagi, kali ini lebih keras, lebih putus asa. Tangisannya menggema ke seluruh halaman, mengalun di antara puing-puing dan kobaran api.
Dan saat jeritannya mencapai langit—hujan turun.
Seolah langit pun tak sanggup lagi menahan air matanya sendiri.
Rintik pertama jatuh pelan, lalu deras, membasahi bumi yang sudah berlumuran darah. Api mulai padam dalam desis panjang. Bau hangus berubah menjadi aroma tanah basah dan kematian yang tak bisa ditebus.
Tigris tetap di sana. Bersimpuh. Menggenggam tanah seperti ingin meremas dunia agar waktu berputar kembali. Ia telah bertarung… tapi tetap kehilangan segalanya.
Acalopsia benar-benar berduka.
Saat orc telah hilang, istana tidak menjadi damai. Justru muncul gejolak yang lebih sunyi dan lebih mematikan, yaitu … keributan politik.
Acalopsia kehilangan raja... tanpa pewaris yang jelas.
Sebagian bangsawan mulai mengajukan nama mereka sendiri. Ada yang menuntut kursi raja karena darah campuran bangsawan-kerajaan. Ada pula yang mengusulkan sistem dewan. Namun, semua tak menemukan titik temu.
Sementara, Pangeran Tigris... meski merupakan adik Raja R’hu, ia tak bisa serta merta naik takhta.
Belum.
Karena menurut hukum lama, seorang calon raja harus memiliki penerus—untuk menjamin garis keturunan tetap hidup. Sedangkan Tigris dan Elmarelle saat itu belum memiliki anak. ratusan tahun mereka menikah, namun Lumelith belum memberikan mereka seorangpun putra.
Kerajaan nyaris pecah menjadi dua. Sampai akhirnya, Pendeta Xiberius, satu-satunya suara yang dihormati di antara faksi-faksi politik dan spiritual, dipilih sebagai pemimpin sementara. Ia dikenal bijaksana, netral, dan setia hanya pada Lumelith.
Dua tahun kekosongan kepemimpinan. Dua tahun rakyat bertanya: siapa yang layak menjadi raja?
Lalu... lahirlah Nieville.
Bayi dengan mata biru cerlang seperti langit yang bersih. Tanda lahir Bintang bercahaya di pergelangan tangannya disebut sebagai berkah Lumelith. Dalam waktu singkat, semua suara diam.
Nieville dianggap jawaban dari doa-doa.
Dan Tigris, sebagai ayah dari penerus yang sah, diangkat menjadi Raja Acalopsia yang baru.
Malam-malam pertama di atas takhta, Tigris tak pernah bisa tidur nyenyak. Ia terus bertanya dalam hatinya, “Apakah aku benar-benar layak… atau hanya penjaga sementara sampai Nieville dewasa?”
Dan kini… saat kegelapan kembali mendekat, pertanyaan itu datang lagi.
*****
Raja Tigris membuka mata. Pelukan Elmarelle masih hangat. Tapi hatinya… dingin oleh kenangan.
“Nieville bukan hanya putraku,” gumamnya lirih. “Dia harapan seluruh Acalopsia. Dan aku… tak boleh gagal kali ini.”