NovelToon NovelToon
Nikah Ekspres Jalur Ekspedisi

Nikah Ekspres Jalur Ekspedisi

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua / Slice of Life
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Kara_Sorin

Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3_Rencana Pernikahan

Hari itu seharusnya hari biasa. Tapi satu tayangan berita pagi mengubah segalanya.

"Breaking News: Video Tak Pantas Diduga Libatkan Anggota DPR Dr. Arman Maxzella"

Namira menatap layar televisi dengan wajah membeku. Tak butuh pakar forensik digital untuk mengenali sosok pria yang diburamkan di rekaman itu. Nada suara presenter yang tenang justru membuat dunia di sekelilingnya terasa bergemuruh. Namira memegang gelas kopinya erat. Terlalu erat. Tangannya bergetar hebat.

Dalam hitungan menit, notifikasi ponselnya meledak.

Nam, itu beneran papa mu?

Kamu nggak bakal klarifikasi?

Gelar MBA tapi nggak bisa kendalikan rumah sendiri? Ironis ya.

Kalimat terakhir menusuk. Tak logis, tapi publik tak butuh logika. Mereka butuh bahan gosip. Namira tidak segera mematikan televisi. Ia biarkan suara dari layar menyusup ke ruang duduk apartemennya yang serba rapi dan dingin. Video yang viral sejak dini hari itu terus diputar ulang oleh berbagai kanal berita. Wajah pria yang diburamkan itu, suara rendah dengan diksi khas, gestur tangan yang terlalu ia kenal... semua merayapi pikirannya seperti racun yang menyusup perlahan.

Dr. Arman Maxzella

Anggota DPR, ayah kandungnya. Figur sentral dalam hidup yang selama ini ia dekati dari kejauhan bukan karena jarak, tapi karena ketidakpercayaan yang perlahan tumbuh sejak remaja. Dulu ia pikir intuisi remaja hanya paranoia. Tapi sekarang? Buktinya terpampang jelas. Bukan sekadar desas-desus atau rumor politik. Ini visual…. Ini viral… Ini nyata….

Ia meremas gelas kopi di tangannya, tak menyadari bahwa sebagian isi kopi sudah tumpah ke taplak meja.

Beberapa detik kemudian, ponselnya mulai bergetar. Pertama dari grup keluarga besar. Lalu kolega di kantor. Teman SMA yang sudah lama tak menyapa. Bahkan seorang jurnalis gaya hidup yang dulu pernah mewawancarainya untuk segmen “Perempuan Berpengaruh di Balik Startup Ternama”.

Notifikasi datang seperti tembakan peluru.

Tiap satu menyentuh layar, satu sisi dalam dirinya runtuh sedikit demi sedikit.

Kamu nggak akan buat pernyataan resmi?

Namira, kamu masih tinggal di rumah Papa? Atau sudah pisah properti?

Kami perlu tahu sikapmu agar komunikasi ke media bisa kami kendalikan.

Pernyataan, sikap, komunikasi. Semua kata-kata itu terasa asing, dingin dan mekanis. Seolah yang sedang disorot bukan kehidupan, tapi krisis PR sebuah perusahaan.

Namira berjalan ke dapur, mencuci tangan dengan gerakan tak beraturan. Tangannya menggigil. Ia berhenti, menatap wajahnya di pantulan lemari kaca. Matanya terlihat lelah. Tpi lebih dari itu, ia merasa asing dengan dirinya sendiri.

Selama ini ia pikir dirinya kuat. Ia pikir, hidup di bawah bayang-bayang nama besar ayahnya membuatnya kebal. Ia pikir, pencapaian akademik dan karier profesionalnya cukup menjadi benteng. Tapi tidak. Viralitas menghancurkan logika. Citra keluarga adalah medan perang, dan sekarang, ia sedang berdiri di garis tembak.

...****************...

Siang hari, ia akhirnya memenuhi panggilan ibunya. Tanpa banyak bicara, ia memesan mobil daring dan menuju rumah besar yang berdiri angkuh di kawasan elit lama Jakarta Selatan—rumah tempat ia tumbuh tapi tak pernah benar-benar merasa ‘pulang’.

Setibanya, ia disambut oleh para asisten rumah tangga dengan wajah penuh simpati palsu. Salah satunya sempat berbisik, “Sabar ya, Mbak Namira.”

Namira hanya mengangguk sekilas, menolak tatapan iba itu.

Di ruang tengah, ibunya sudah duduk dengan setelan blus biru laut dan kalung mutiara, terlihat siap untuk wawancara, bukan percakapan keluarga.

“Duduklah,” perintah sang ibu, tanpa ekspresi.

Namira menurut, duduk berhadapan di sofa panjang.

“Jadi,” suara Bu Mirna datar.

“Kamu mau kita atur konferensi pers atau tidak?”

Namira mengernyit.

“Mama mengira aku akan berdiri di depan kamera untuk... membela Papa?”

“Bukan membela. Menjernihkan. Memberi kesan bahwa keluarga ini solid. Masih terkendali.”

Namira tertawa pendek, getir.

“Kesan, Ma? Kesan seperti apa? Seolah video itu tidak pernah ada? Seolah kita masih keluarga harmonis dengan anak perempuan berprestasi yang selalu menjadi 'PR asset'?”

Sang ibu menghela napas. Lama.

“Dengar baik-baik, Namira. Dunia ini tidak menunggu orang yang sibuk merasa benar. Dunia ini bergerak berdasarkan persepsi dan persepsi bisa dihancurkan dalam satu malam. Seperti sekarang.”

“Lalu aku harus mengorbankan harga diri sendiri demi persepsi itu?”

Ibunya menatapnya, lama. “Harga diri apa yang kamu pertahankan kalau semua yang sudah dibangun keluarga ini runtuh?”

Hening merayap di antara mereka.

Namira menunduk. Ada rasa perih yang tak bisa ia jelaskan. Seolah setiap kata ibunya adalah cambuk yang mengingatkan bahwa ia bukan bagian dari dunia yang benar-benar ia pilih. Ia hanya pion dalam narasi yang sudah digariskan sejak dulu.

“Aku sudah cukup lama menahan diri, Ma,” katanya lirih.

“Aku sekolah tinggi, bekerja keras, membuktikan bahwa aku bukan hanya anak pejabat. Tapi pada akhirnya, nama belakangku tetap menjadi penjara.”

“Penjara atau perlindungan. Tergantung dari sisi mana kamu melihatnya.”

Namira mendongak, sorot matanya tajam.

“dan sisi Mama selalu sisi kontrol.”

Sang ibu tidak tersinggung. Ia hanya menyandarkan diri ke sofa, menatap ke arah jendela.

“Kita tidak punya waktu untuk debat moral. Namira, yang kita miliki sekarang adalah waktu yang sempit dan krisis yang meluas. Kita butuh simbol. Sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian. Menikah adalah salah satu cara tercepat.”

Namira mencengkeram sisi kursinya.

“Jadi aku hanya... alat penyeimbang opini publik?”

“Tidak. Kamu tetap anak Mama. Tapi kamu juga pewaris realitas yang sudah kita bangun selama puluhan tahun. Kita tidak bisa pura-pura bahwa kamu lepas dari semua ini.”

“Bukankah itu justru bukti betapa rusaknya sistem yang Mama bela?”

“Idealismemu indah,” jawab Sang ibu.

“Tapi tidak berguna dalam manajemen krisis.”

Kalimat itu menampar. Bukan karena kasar, tapi karena terlalu jujur dan Namira tahu, Mamannya tak pernah membuang waktu untuk basa-basi.

Setelah percakapan itu berakhir, Namira naik ke kamar lamanya. Sudah bertahun-tahun tak ia tempati, tapi tetap dibiarkan seperti dulu. Foto-foto kelulusan, sertifikat olimpiade, rak buku penuh jurnal dan biografi pemimpin dunia... semua jadi artefak masa lalu.

Ia berdiri lama di depan cermin. Kini ia tahu, cermin bisa memantulkan lebih dari sekadar wajah. Ia bisa memantulkan harapan yang memudar, luka yang tak sempat sembuh, dan ambisi yang perlahan berubah menjadi kelelahan.

Namira duduk di tepi ranjang dan membuka email dari kantor. Ada pesan dari seorang koleganya, menyampaikan “dukungan moral” dan saran untuk “rebranding personal bila perlu”.

“Rebranding?” pikirnya sinis.

Sejak kapan identitas manusia bisa dipoles seperti logo?

Sore mulai turun. Suara azan menggema dari kejauhan, samar di balik kaca jendela. Tapi hati Namira tak tenang. Ia bukan mencari Tuhan, bukan juga mencari pelarian. Ia hanya mencoba bertahan di tengah riuhnya tuntutan yang tak memberinya waktu untuk bernapas.

Ia menyalakan laptop. Membuka folder lama. Di sana ada draft naskah novel yang pernah ia mulai tulis diam-diam, cerita tentang seorang perempuan yang memilih hidup di kota kecil dan membangun yayasan bagi anak-anak yang gemar membaca buku. Jauh dari politik, jauh dari tekanan.

Namira membaca paragraf awalnya, lalu menutupnya lagi. Terlalu utopis. Terlalu jauh dari realitas sekarang. Ia mengembuskan napas panjang. Mungkin, pada akhirnya, kekuatan bukan soal menolak kenyataan. Tapi bagaimana berdiri tegak ketika kenyataan itu menamparmu tanpa ampun.

Malam pun tiba. Tidak membawa ketenangan. Hanya gelap yang lebih jujur dari semua orang yang menyuruhnya ‘tenang saja’.

1
NurAzizah504
jgn takut melawan kebenaran /Good/
NurAzizah504
/Determined//Determined//Determined/
NurAzizah504
semoga kalian baik2 saja
Kara: aamiin 🤲🤣
total 1 replies
NurAzizah504
keliatan bgt sean benar2 yakin kali ini
Kara: harus yakin 😁
total 1 replies
NurAzizah504
eh eh eh
NurAzizah504
akhirnya /Sob/
NurAzizah504
bakalan menggemparkan bgt ini
NurAzizah504
mantap. kalo disebar, pasti bakalan cepat viral
Kara: memanfaatkan opini publik 😂 sebagai senjata
total 1 replies
NurAzizah504
awas kalo ninggalin nam nam lagi
NurAzizah504
syukurlah sean udh sadar /Sob/
NurAzizah504
meleleh aku, makkk
NurAzizah504
sen-sen mu itu lohhh
Author Sylvia
yang sabar ya sean, Namira itu banyak banget yang harus dipikirin.
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.
Author Sylvia
capek banget jadi Namira, keluarganya nggak ada yang peduli sama beban yang ada di pundaknya.
Riddle Girl
ceritanya keren, dari pembawaan, dan alur, bikin pembaca ikut merasakan suasana dalam cerita.
Kara: waah terimakasih sudah mampir dan mendukung ☺
total 1 replies
Riddle Girl
aku kasih bintang 5 ya, Thor. semangat nulisnya/Smile//Heart/
Kara: siap 👌
total 1 replies
Riddle Girl
mawar mendarat, Thor. ceritanya bagus/Smile/
Kara: terimakasih sekali dukungannya❤
total 1 replies
Riddle Girl
waahhh Namira yang biasanya tidak peduli kok bisa penasaran?/Grin//Chuckle/
Riddle Girl
mulut Namira sarkas juga yaa/Sob//Facepalm/
Riddle Girl
bener banget, mah ini. sampai ada kata "Lo cantik, Lo aman.", waduhh kasian orang-orang burik macam saya/Facepalm/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!