NovelToon NovelToon
Sabda Buana

Sabda Buana

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur / Kebangkitan pecundang / Epik Petualangan / Pusaka Ajaib
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Ilham Persyada

Wira Pramana, seorang murid senior di Perguruan Rantai Emas, memulai petualangannya di dunia persilatan. Petualangan yang justru mengantarnya menyingkap sebuah rahasia di balik jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ilham Persyada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lima Belas Tahun Kemudian

Meskipun tidak terlalu besar, Perguruan Rantai Emas merupakan salah satu perguruan aliran putih ternama di Negeri Nuswapada. Setiap hari, ratusan murid dan pendekar yang terbagi dalam beberapa kelompok berlatih dengan jadwal dan disiplin yang ketat. Tak sedikit pula di antara mereka yang terlihat datang dan pergi dalam rangka menjalankan misi.

Selain statusnya sebagai perguruan aliran putih yang kerap membantu berbagai daerah sekitarnya menangani berbagai urusan, letaknya yang tak jauh dengan Kota Suranaga, kota dengan pelabuhan terbesar kedua di Nuswapada, membuat nama baik dari perguruan ini dikenal oleh banyak orang, baik dari kalangan seniman bela diri maupun kalangan awam.

Sore itu, di salah satu sudut perguruan, Wira, seorang murid senior yang berusia 15 tahun, tengah mengepel lantai arena latih tanding yang sejak kecil telah menjadi tugas hariannya. Ia hendak meninggalkan arena tersebut ketika sebuah tendangan tiba-tiba membuatnya tersungkur. Ia berbalik dan mendapati tiga sosok yang telah lama dikenalnya.

Barda, Mahendra, dan Sularsa. Meskipun berada dalam tingkat yang sama dengannya, tiga orang itu kerap merundung Wira. Hal ini karena di mata mereka, Wira adalah seorang anak yang lemah dan tak punya latar belakang keluarga yang istimewa. Telah lama terdengar rumor bahwa Wira hanya seorang anak buangan yang ditemukan Mahaguru Raksala, ketua Perguruan Rantai Emas.

Kenyataannya, Wira memang lemah, tetapi penakut bukanlah sifat dasarnya. Ia selalu berusaha melawan setiap kali tiga orang tersebut mengganggunya walaupun hal itu selalu mengakibatkan dirinya berakhir dalam keadaan babak belur. Hal yang sama pun kembali terjadi saat ini. Wira bangkit dan berusaha melakukan perlawanan, tetapi ia lagi-lagi menjadi bulan-bulanan bagi tiga orang tersebut.

“Hahaha, jangan sok kuat kau, Wira!” ejek Barda.

“Hah! Baru segini saja …,” kata Sularsa sambil menepuk-nepukkan tangannya.

“Memang sampah sih …,” Mahendra berjongkok dan menatap Wira sambil menjepit hidungnya dengan jari, seolah tengah memandangi sebuah kotoran.

Wira tak menjerit meski sekujur tubuhnya gemetar menahan sakit. Ia berusaha bangkit sambil bergumam, “Aku bisa melakukan ini sepanjang hari.”

Mahendra bangkit dan berkacak pinggang, “Nah, seperti biasanya, si sampah masih sok kuat, hahaha!” dua temannya ikut tertawa mendengar perkataan itu.

“Hei!” suara perempuan terdengar dari salah satu sudut arena.

“Ck, seperti biasanya juga, sang putri pun turun tangan.” gerutu Mahendra sambil melirik ke sumber suara itu.

Seorang gadis berparas cantik yang juga sepantaran mereka berjalan cepat menghampiri.

“Ah, Ratnasari, kenapa selalu saja kau mengganggu kesenangan kami?” kata Barda sambil cengengesan.

“Kesenangan katamu?” tanpa basa-basi, Ratnasari dengan geram menyerang Barda dan dua kawannya.

Dengan tangkas, Ratnasari melancarkan pukulan dan tendangan yang membuat tiga sekawan itu harus bertahan dan menghindar. Setelah beberapa saat, pertarungan itu berhenti dengan Barda dan dua temannya telah tersudut di ujung arena.

Dari tempatnya berdiri, Wira mengamati setiap gerakan Ratnasari yang meskipun anggun dan luwes, dan kentara sekali sedang menahan diri, telah lebih dari cukup untuk memukul mundur Mahendra dan teman-temannya. Hal ini membuat Wira kagum sekaligus malu kepada dirinya sendiri sebab seharusnya, sebagai laki-laki, ialah yang harus melindungi wanita. Namun, kenyataannya Ratnasari yang selalu menolong dan melindunginya dari tiga orang itu.

“Terima kasih pertolongannya, Non,” Wira menundukkan kepala saat gadis berbalik setelah tiga pengganggu tersebut meninggalkan arena.

“Eh, Wira, kau tak apa-apa, kan?”

Wira tersenyum, “saya baik-baik saja, Non, sekali lagi terima kasih.” Ia berbalik dan memunguti alat-alat kebersihan yang berserakan sejak kali pertama Mahendra dan dua kawannya membuatnya tersungkur.

“Ayo ke ruang pengobatan dulu,” Ratnasari menawarkan

“Ehh …, sebaiknya saya ambil air dulu untuk membersihkan tempat ini kembali, setelah itu mungkin saya akan ke ruang pengobatan.” kata Wira sambil meringis. Ia tak enak kalau harus terang-terangan menolak tawaran putri semata wayang wakil ketua perguruan yang baik hati itu.

“Hmmm …,” Ratnasari menghela napas, kemudian tersenyum kepada Wira, “Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu ya, jaga dirimu, Wira.”

Wira membungkuk menunjukkan hormatnya kepada Ratnasari, dan menatapnya hingga pergi meninggalkannya sendirian di arena itu. Kemudian, ia menatap genangan air yang tumpah dari embernya saat terjatuh tadi, “Haaa …, harus mengepel lagi, euhk!”

Sambil menahan sisa-sisa rasa sakit di tubuhnya, Wira berjalan pelan ke sumur untuk mengambil air dan kembali membersihkan arena itu.

Matahari telah terbenam saat Wira menyelesaikan pekerjaannya. Ia menaruh alat-alat kebersihan di tempatnya dan pergi ke dapur. Sejak awal, ia tak pernah ingin pergi ke ruang pengobatan. Bukan karena merasa rendah diri atau tak pantas menikmati fasilitas perguruan itu seperti murid-murid lainnya. Bukan pula karena ada yang melarangnya.

Hampir setahun belakangan, Wira merasa ada keanehan pada tubuhnya. Luka apa pun yang ia dapatkan dan separah apa pun itu akan sembuh dalam waktu paling lama dua hari saja. Wira menyadari hal ini setelah mengalami kejadian yang hampir merenggut nyawanya dalam sebuah misi perburuan.

Misi rutin yang diadakan oleh perguruan sebagai media pelatihan bagi para murid. Singkat cerita, ia tersesat dan bertemu seekor beruang hitam. Wira mencoba melawan untuk mempertahankan diri, tetapi beruang hitam itu terlalu kuat dan ganas baginya. Wira pun pasrah jika saat itu hidupnya berakhir dengan tubuh tercabik-cabik sebelum kehilangan kesadarannya. Namun, ketika akhirnya dapat membuka mata kembali, tak ada segores luka pun yang membekas pada tubuhnya.

Ketika tim pencari yang terdiri dari gabungan pendekar muda dan murid senior menemukannya, Wira menutupi hal itu dan hanya mengatakan bahwa ia tersesat hingga pingsan lantaran kelaparan dan kehausan. Sampai hari ini, Wira menutupi apa yang dianggapnya sebagai keanehan itu rapat-rapat. Jika terluka, agar tak ada yang mencurigai kondisi tubuhnya itu, ia lebih memilih pergi ke dapur untuk meminta salep obat dari Mbok Narti.

“Oalah Wiiiiirrrr Wira … murid yang lain itu babak belurnya karena latihan, lhaaa dirimu kok babak belurnya malah karena dipukulin. Hadeeeehh ….” kata Kang Mardi yang tengah menyantap sepiring makanan dengan lahap.

Begitu melihat Wira memasuki dapur dengan tubuh yang teramat dekil, Kang Mardi segera mengetahui apa yang terjadi. Akan tetapi, alih-alih menunjukkan sikap prihatin, tabiat Kang Mardi yang usil justru menjadikan Wira yang meringis menahan sakit sebagai bahan kelakarnya,

“Hush! Piye toh kowe iki, bocah lagi susah kok malah diledek.” timpal seorang wanita berperawakan gempal yang akrab mereka panggil Mbok Narti.

“Hehe … ndak apa-apa Mbok, Kang Mardi kan memang gitu.” Wira menanggapi keduanya sambil garuk-garuk kepala.

Memang, Wira telah lama akrab dengan dua pekerja yang bertugas di dapur tersebut. Sejak kecil, Wira sudah sering membantu-bantu berbagai pekerjaan dapur perguruan. Lebih dari itu, area dapur dan sekitarnya bisa dibilang adalah tempat di mana Wira merasakan suasana layaknya sebuah rumah.

“Eh,” secepat kilat, Kang Mardi beringsut dan mengambil tempat di samping Wira, ”tapi pastinya, Non Ratnasari nolongin kamu lagi ya?” tanya pria berusia 40 tahunan itu sambil mengedip-ngedipkan sepasang matanya.

“Heh, Mardi! Hati-hati bicara …,” tegur Mbok Narti kepada Kang Mardi sambil memberikan botol salep obat miliknya kepada Wira.

“Lho kan biasanya mesti gitu Mbok? Artinya, menurut penerawanganku, Non Ratnasari itu ada rasa sama kamu Wir….”

BLETAK!!! – ADUDUDUHUUUUWK!!

Jitakan Mbok Narti sukses menggempur batok kepala Kang Mardi hingga pria itu menjerit dan tersedak sebuah tulang paha ayam yang sejak tadi dikeripinya.

“Ngawur!” Mbok Narti memelototi Kang Mardi dan sesaat kemudian, dengan nada yang lebih pelan tapi sangat serius, Mbok Narti melanjutkan, “Kalau sampai ada yang denger, nanti ujung-ujungnya si Wira lagi yang kena!”

Tangan Mbok Narti yang masih terkepal kini menggebuk punggung Kang Mardi, bermaksud mengatasi kesedakannya, tetapi sepertinya hal itu justru memperburuk keadaannya sebab Kang Mardi mulai cegukan dan mengap-mengap. Mulutnya membuka-menutup dengan mata melotot dan ekspresi yang sukar digambarkan.

“Lho he …, Di! Kamu kenapa Di? Diii?”

Rasa panik malah memicu Mbok Narti terus menggebuki Kang Mardi. Sempat bengong untuk sesaat, Wira tersenyum, lalu tertawa terpingkal-pingkal menonton tingkah dua sosok penghuni dapur itu. Baginya, suasana itulah sebenarnya obat luka yang lebih berkhasiat ketimbang sebotol salep yang kini masih ia pegang.

1
anggita
like, iklan utk novel fantasi timur lokal, moga lancar👌
anggita
Wira...,,, Ratnasari😘
Mythril Solace
Seru banget ceritanya, thor! Alurnya ngalir dan gaya penulisannya hidup banget—bikin aku kebawa suasana waktu baca. Aku juga lagi belajar nulis, dan karya-karya kayak gini tuh bikin makin semangat. Ditunggu update selanjutnya ya! 👍🔥
Ilham Persyada: siyap kak ..🫡
total 1 replies
Hillary Silva
Gak kebayang ada cerita sebagus ini!
Kaede Fuyou
Ceritanya bikin saya ketagihan, gak sabar mau baca kelanjutannya😍
Ilham Persyada: terima kasih Kak ... mohon dukungannya 🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!