seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
operasi penyelamatan
Panas matahari menembus lembut jendela kamar hotel itu. Di luar, deru mobil dan langkah kaki manusia membentuk irama kota yang telah kembali hidup. Aktivitas mulai menggeliat, sementara di dalam kamar… seorang wanita baru saja terbangun dari lelap yang panjang—lelap yang lahir dari rindu, cinta, dan kelelahan jiwa.
Aina menggeliat pelan, mengerjap menatap langit-langit, lalu menoleh ke sisi ranjang yang kosong.
"Ah… hari sudah siang," gumamnya pelan.
Tapi sosok itu… Rangga—Chen—telah pergi.
Namun sesuatu tetap tertinggal. Tangannya masih menggenggam sesuatu yang asing namun familiar. Saat jemarinya membuka genggaman itu, matanya menangkap kilau logam kecil: sebuah flashdisk.
Sekilas ia tahu… ini milik Rangga.
"Rupanya kau benar-benar ingin berubah…" bisiknya dengan lirih, hampir tak terdengar oleh dirinya sendiri.
Ia menatap benda itu dalam hening. Tapi dalam tatapan itu, ada secercah cahaya baru. Flashdisk itu bukan sekadar barang bukti. Itu adalah titik balik. Titik terang yang mulai muncul dari lorong kelam penyelidikan yang selama ini membebani pundaknya.
Aina tersenyum. Bukan senyum bahagia, tapi senyum penuh tekad.
"Kalau ini berisi yang kuduga… permainan sebenarnya baru saja dimulai."
Aina duduk di depan meja kerja hotel, mengenakan kemeja putih tipis dan celana panjang yang belum sempat disetrika. Rambutnya masih berantakan, tapi sorot matanya sudah kembali tajam—seperti semula. Di hadapannya, laptop menyala, menampilkan direktori file dari flashdisk kecil yang diselipkan Rangga.
Satu per satu file ia buka.
Ada dokumen berkode, skema jaringan, transaksi digital… lalu sebuah folder bernama: "MARKAS UTAMA". Di dalamnya: peta lokasi gedung tua di pinggiran Phnom Penh, foto-foto ruangan yang disulap jadi pusat judi online, dan yang membuat darah Aina mendidih—ruangan bawah tanah tempat para WNI disekap dan disiksa.
Tangannya gemetar. Tapi bukan karena takut—karena marah.
Lalu folder terakhir: "KORBAN_WNI.xlsx"
Satu klik—dan daftar itu muncul. Nama-nama, umur, asal kota, bahkan ada catatan kecil: “perlu organ segera”, “terlalu lemah untuk kerja”…
Aina langsung meraih ponselnya dan menghubungi nomor khusus yang hanya ia gunakan dalam keadaan darurat.
"Ini Kapten Merlin dari Jakarta Timur. Saya butuh bantuan segera dari Interpol dan Kepolisian Kamboja. Saya punya koordinat dan bukti lengkap. Kita harus bergerak sekarang."
---
Beberapa jam kemudian
Deru kendaraan taktis mengiris jalanan berdebu Kamboja. Di dalamnya, Aina duduk mengenakan rompi pelindung dan headset komunikasi. Di sampingnya, petugas Kamboja dengan senjata lengkap mengangguk padanya.
"Kita tunggu aba-aba dari Anda, Kapten," kata salah satu dari mereka dalam bahasa Inggris terbata.
Aina mengangguk.
"Jangan biarkan satu pun dari mereka kabur. Dan prioritaskan penyelamatan para korban."
Dalam sekejap, gedung tua itu dikepung dari berbagai arah. Ledakan kecil mengguncang pintu utama—dan operasi penyelamatan pun dimulai.
Jeritan, tembakan, dan langkah kaki tergesa memenuhi udara. Di ruang bawah tanah, para korban WNI ditemukan: pucat, lemas, tapi masih bernyawa.
Aina berlari menuruni tangga, dan ketika ia melihat wajah-wajah itu—mata-mata yang penuh ketakutan—ia tahu, ini bukan hanya penyelamatan fisik.
Ini adalah perang melawan sistem yang sudah terlalu lama membusuk di balik layar.
Tembakan masih bersahut-sahutan di luar markas besar itu. Kepulan asap dan teriakan memecah udara sore yang panas dan penuh ketegangan. Di dalam gedung tua yang menjadi pusat operasi judi online dan tempat penyiksaan itu, pasukan gabungan Kamboja dan Indonesia masih menyisir ruangan satu per satu.
Beberapa orang ditahan—para operator, penjaga, dan bahkan sejumlah WNI yang selama ini dipaksa bekerja atau justru terseret jadi kaki tangan sindikat.
Mereka kini duduk dalam barisan, tangan diborgol, wajah mereka penuh kelelahan dan ketakutan.
Beberapa mulai menangis.
"Bu… Buk… selamatkan kami… tolong… pulangkan kami ke tanah air. Kami rindu rumah, rindu orang tua… biarlah kami diproses di Indonesia saja… jangan di sini," kata seorang pemuda dengan suara serak, matanya basah menatap Aina.
Aina, atau Kapten Merlin, berdiri tenang di hadapan mereka. Wajahnya dingin, tegas—tapi matanya menyimpan empati yang dalam.
Ia menunduk, menatap satu per satu wajah mereka. Mereka bukan hanya angka dalam laporan. Mereka adalah anak bangsa yang hilang di tengah gelapnya dunia hitam internasional.
"Tenanglah, saudara-saudara…" ucap Aina, suaranya tenang namun berwibawa. "Duta besar kita di Kamboja sedang melakukan negosiasi. Kami tak akan meninggalkan kalian di sini. Proses hukum memang harus berjalan, tapi kami akan berjuang agar kalian bisa kembali ke Indonesia dan diproses di tanah sendiri."
Beberapa dari mereka terisak pelan. Ada yang hanya bisa mengangguk dengan wajah penuh harapan.
"Yang penting sekarang kalian selamat," lanjut Aina, "kalian masih hidup. Dan itu berarti… kalian masih punya masa depan."
Beberapa hari setelah penggerebekan, suasana di bandara internasional Phnom Penh terasa berbeda. Deretan WNI korban penyekapan duduk dengan tenang, mengenakan pakaian bersih dan membawa tas kecil yang dibagikan oleh tim kedutaan. Wajah mereka masih lelah, tapi ada satu hal yang kembali terlihat: harapan.
Pesawat charter khusus akan membawa mereka pulang ke tanah air, untuk memulai lembaran baru dan menjalani proses hukum yang adil di negeri sendiri.
Di luar terminal, Aina berdiri bersama petugas Interpol dan kepolisian Kamboja, menyaksikan satu per satu korban menaiki pesawat.
Seorang petugas Interpol, pria paruh baya berwajah teduh dan berseragam rapi, mendekat dan menatap Aina dengan kagum.
"Selamat, Kapten Merlin," ucapnya sambil mengulurkan tangan. "Misi Anda berhasil. Anda menyelamatkan banyak nyawa. Jika Anda butuh bantuan lagi… Anda tahu harus menghubungi siapa."
Aina menatap tangannya, lalu menggenggamnya erat.
"Terima kasih. Ini belum berakhir… Tapi setidaknya hari ini kita menang."
Angin sore berhembus pelan, menerbangkan helaian rambut dari wajahnya. Di balik sorot matanya yang tenang, tersimpan tekad yang belum padam.
Flashdisk itu masih di tangannya—dan isinya belum sepenuhnya ia buka.
Masih ada nama-nama besar yang harus dijatuhkan.
Masih ada api dalam dirinya yang belum padam.
Setelah semua korban naik ke pesawat, Aina kembali ke kamar hotelnya. Malam telah turun perlahan, membawa sunyi yang hanya ditemani suara kipas angin dan desiran lampu neon dari luar jendela.
Di meja kecil dekat tempat tidur, laptopnya masih menyala.
Ia kembali membuka flashdisk itu. Kali ini, folder terakhir yang belum sempat ia buka: "DONATUR_UTAMA."
Klik.
Tampilan layar berubah. Deretan nama muncul, lengkap dengan foto, nomor rekening offshore, catatan aktivitas, dan—yang paling mengejutkan—alamat lengkap mereka di Kamboja.
Aina menatap layar itu dengan rahang mengeras. Nama-nama yang ia baca bukan orang sembarangan. Ada pebisnis besar, pengacara ternama, bahkan satu nama yang terdaftar sebagai penasihat keuangan regional.
"Ini bukan hanya jaringan judi… ini sistem," gumamnya pelan.
Ia mengambil ponsel, membuka aplikasi terenkripsi, dan mulai mengetik cepat.
> Kepada Reno: Target berikutnya teridentifikasi. Mereka masih di Kamboja. Aku butuh kamu di sini secepatnya. Kita akan akhiri ini… sampai ke akar.
Aina menutup laptopnya, memandang langit malam dari balik kaca jendela.
Di luar sana, para dalang masih tertawa, merasa aman di balik kekayaan dan kekuasaan.
Tapi mereka lupa satu hal:
Aina si Kapten Merlin, belum selesai.