Dulu aku menangis dalam diam—sekarang, mereka yang akan menangis di hadapanku.”
“Mereka menjualku demi bertahan hidup, kini aku kembali untuk membeli harga diri mereka.”
“Gu Xiulan yang lama telah mati. Yang kembali… tidak akan diam lagi.”
Dari lumpur desa hingga langit kekuasaan—aku akan memijak siapa pun yang dulu menginjakku.”
“Satu kehidupan kuhabiskan sebagai alat. Di kehidupan kedua, aku akan jadi pisau.”
“Mereka pikir aku hanya gadis desa. Tapi aku membawa masa depan dalam genggamanku.”
“Mereka membuangku seolah aku sampah. Tapi kini aku datang… dan aku membawa emas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Pagi itu, matahari bersinar cerah seperti biasa, menyapu atap-atap rumah desa yang masih sederhana. Di rumah tua peninggalan keluarga Lu, Ulan duduk di bawah teras, mengenakan pakaian sederhana berwarna cokelat muda, menjahit selembar kain dengan tangan yang terampil. Sesekali ia menatap ke halaman yang tenang, lalu kembali menunduk, matanya fokus, wajahnya damai.
Sudah beberapa hari sejak ia menjadi istri Wei Ran,meski semua tahu pernikahan itu hanya simbolis. Tapi status itu telah mengubah banyak hal. Sekarang ia tidak lagi bangun pagi untuk ke ladang, tidak lagi mendengar bentakan ibu atau ejekan dari bibi. Ia menjalani hidup sebagai seorang istri militer… walau hanya di permukaan.
Yang lebih penting lagi..
ia bebas.
Tak ada yang memaksa, tak ada yang menghina. Rumah ini, meski sunyi, adalah tempat di mana Ulan merasa memiliki tempat untuk bernapas.
Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama.
Sekitar pukul sepuluh pagi, jalan desa yang biasa lengang menjadi gaduh oleh langkah kaki terburu-buru. Suara sandal menghantam tanah keras, disusul oleh suara gerutuan dan makian yang sayup-sayup mendekat.
Ulan menoleh dari benang dan jarumnya.
Tiba-tiba, dari kejauhan, tampak nenek Gu berjalan cepat dengan wajah merah padam. Di belakangnya, ibu Ulan dan bibi kedua ikut menyeret langkah. Wajah mereka menyimpan amarah, kekecewaan, dan rasa malu yang tercampur jadi satu. Setelah kejadian di rumah sakit,dan semua uang raib entah ke mana ,mereka butuh sasaran untuk melampiaskan rasa frustrasi.
Dan Ulan adalah sasaran paling mudah.
“Dasar anak tak tahu malu!” bentak nenek Gu begitu tiba di depan halaman rumah Lu. "Kau pikir hanya karena menikah, kau sudah lebih tinggi dari kami semua?!"
Ulan berdiri perlahan dari kursinya, menatap lurus ke arah neneknya. Tapi kali ini, tidak ada ketakutan di wajahnya.
Nenek maju dua langkah dan mengangkat tangannya, siap menampar seperti kebiasaannya dulu.
Namun, tangan itu tidak pernah mendarat.
Ulan menangkap pergelangan tangan itu di udara,erat tapi tanpa kekerasan. “Jangan sentuh aku lagi, Nek,” katanya pelan, namun tegas. “Aku bukan lagi milik keluarga Gu. Aku bukan budak kalian.”
Nenek Gu terkejut. Matanya membelalak. Selama ini, Ulan selalu menunduk, selalu patuh. Tak pernah sekalipun ia membalas atau berani menatapnya saat dimarahi.
Kini, gadis yang dulu mereka hina, mereka manfaatkan, berdiri tegak… dan tak gentar sedikit pun.
“Berani kau bicara seperti itu pada nenekmu sendiri?” teriak ibu Ulan.
"Beraninua kau,kurang ajar...iblis kau...!!"
Tapi sebelum Ulan sempat menjawab, suara berat terdengar dari dalam rumah. “Kalian tidak punya hak memarahi Ulan lagi.”
Paman Lu,ayah angkat Ulan keluar dari dalam rumah. Meski sudah berusia lanjut, tubuhnya masih tegap. Matanya tajam menatap tamu-tamunya yang tidak diundang itu.
“Mulai hari itu, Ulan adalah putriku. Aku yang menjaganya. Kalian tidak lagi punya hak untuk mengajari putri ku.Jika kalian datang hanya untuk menjelekkan atau menyakitinya… silakan pulang.”
Nenek Gu mendelik. “ lu Han...Kau pikir bisa memisahkan Ulan dari keluarganya sendiri?”
"Cuman Lima ratus dan kau sudah sombong.Uang mu tidak akan pernah sebanding dengan setetes darah di tubuh nya" kata nya dengan keras.
Paman Lu menghela napas, nadanya dingin. “Kau yang memisahkan dia… sejak dulu. Kau yang membuangnya, memperjualbelikannya, dan tidak pernah memperlakukannya sebagai manusia. Sekarang, ketika dia tak lagi tunduk, kau ingin mengklaimnya kembali?”
"Huh kenapa tidak,darah daging gu,dia lahir dan mati dengan nama itu!!"
Ayah lu terkekeh kekeh,dia dengan santai mengeluarkan sehelai kertas yang di stempel desa dan juga kantor polisi untuk pengesahan.
"Lihat lah, kalian menukarkan Ulan dengan lima ratus rupiah, jika menyesal, perlu pengembalian dana sepuluh kali lipat,lima ribu,apa kau punya uang sekarang??"
Hening.
"Sialan..lima...lima ribu?kau ingin merampok kami?" teriak ibu ulan dengan cemas.
"Tidak peduli, jika tidak mampu bayar,pulang lah , jika tidak, penjara sekarang sedang kosong "
Ibu Ulan menunduk, bibirnya bergetar, tapi tidak berkata apa-apa. bibi Kedua menatap Ulan dengan canggung
Tapi bahkan dia tak bisa menahan rasa malu dan amarah yang berkecamuk dalam dirinya.Nenek Gu berdecak keras, menggigit bibirnya.
Dia begitu bersemangat dengan lima ratus rupiah, lupa dengan isi perjanjian,dia cuma menurun kan tanda tangan.jantungnya mendidih mengingat di masa depan,dia tidak bisa lagi menarik keuntungan dari Ulan.
Dia marah tapi tidak ada yang bisa dia lakukan.
“Kau akan menyesal, Ulan!” teriaknya akhirnya, suaranya penuh dengan kebencian. “Kau tidak akan pernah bisa lari dari darahmu sendiri!”
Namun Ulan tidak menjawab. Dia hanya memandangi neneknya dengan mata yang tenang.
Nenek akhirnya membalikkan badan, menyeret ibu Ulan dan bibi Kedua bersamanya. Wajahnya keruh, matanya memerah karena gagal melampiaskan amarah. Tapi lebih dari itu,dia kecewa. Kecewa karena tak lagi bisa mengendalikan boneka yang selama ini ia anggap tak punya suara.
Ulan masuk kembali ke rumah dengan langkah ringan.
Di dapur, air sudah mulai mendidih. Dia melanjutkan menyiapkan makan siang, menyalakan api dengan bara kecil, lalu menuangkan sayuran ke dalam panci.
Sambil mengaduk perlahan, dia tersenyum. Bukan senyum yang besar, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa hatinya lapang.
Ulan tak lagi sama.
Gadis desa yang dulu diinjak-injak telah bangkit… dan kini hidup sebagai seseorang yang punya harga diri. Di rumah sederhana ini, dia akan membangun masa depan dengan tangannya sendiri.
Ulan duduk di ambang pintu, memeluk lutut sambil menatap halaman rumah yang baru ia tinggali. Sisa ketegangan dari pertikaian dengan keluarganya masih terasa di dada. Meski dia menang hari ini .
Tapi keberanian untuk berdiri sendiri,perasaan itu tetap meninggalkan jejak.
Langkah kaki perlahan mendekat. Itu adalah ayah angkatnya, Paman Lu, satu-satunya pria yang kini dengan tulus menyebutnya sebagai anak.
Ia berjongkok di samping Ulan, lalu menepuk pundaknya perlahan. “Ulan,” katanya dengan suara pelan namun tegas. “Ayah sudah tua. Suatu hari nanti mungkin tidak bisa lagi menjagamu seperti hari ini. Kau harus lebih tegas. Dunia ini tidak ramah pada perempuan yang diam saja.”
Ulan menoleh, menatap wajah lelaki tua itu. Hatinya bergetar. Ada sesuatu yang hangat menjalari dadanya.ini berbeda dari yang pernah dia rasakan di rumah lama. Bukan bentakan, bukan tuntutan, melainkan kasih sayang yang sederhana dan dalam.
Sebelum dia sempat menjawab, sebuah suara terdengar dari balik pagar kayu. “Benar yang dikatakan adik laki-lakiku itu.”
Kepala desa muncul dengan tubuh tinggi dan raut wajah serius, meski ada senyum tipis di bibirnya. “Kau adalah anak dari adik kandungku. Itu artinya, kau juga adalah keponakanku, Ulan. Selama aku di sini, tak seorang pun boleh menyakitimu, termasuk keluarga Gu.”
Ulan menunduk dalam-dalam. Tenggorokannya tercekat. Ada kehangatan, ada perlindungan… yang selama ini tak pernah dia tahu rasanya. Hanya karena status pernikahan yang semu, ia kini mendapatkan apa yang sebelumnya tidak pernah ia impikan ,keluarga yang mengakui dan membelanya.
Ia hampir menangis.
Namun saat ia mengusap air matanya yang nyaris jatuh, ia teringat sesuatu.
“Kepala desa,” tanyanya pelan, “kenapa tadi aku tidak melihat sepupuku… Gu Younglin?”
Wajah kepala desa berubah. Seketika senyumnya memudar, berganti dengan raut penuh kekhawatiran. Ia memandang Paman Lu sejenak, lalu menghela napas berat.
“Sebenarnya… kami tidak berniat memberitahumu sekarang. Tapi… Younglin sempat menghilang. Sejak pergi ke kota, dia tidak pernah kembali. Nenekmu sudah membuat laporan ke kantor polisi. Tapi… sampai hari ini belum ada kabar.”
Ulan terdiam. Tidak terkejut. Tidak juga cemas.
Lalu ia tersenyum—sebuah senyum yang tipis tapi sarat makna. “Jadi akhirnya… karma datang juga, ya?” gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara kepada diri sendiri.
Kepala desa menatap Ulan lama, tapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu betul bagaimana kehidupan gadis ini selama bertahun-tahun. Tidak mudah menyalahkannya atas tawa yang mengandung kepahitan itu. Mungkin, itu satu-satunya cara Ulan untuk berdamai dengan masa lalunya.
Paman Lu berdiri, menepuk kepala Ulan dengan lembut. “Sudah cukup. Hari ini kau telah mengambil langkah besar. Besok akan jadi hari baru… dan ayah yakin, itu akan jadi hari yang lebih baik.”
Ulan mengangguk. dia tidak akan kembali menjadi gadis yang dibungkam.
Tidak akan pernah lagi.
Di sisi keluarga gu , gerobak sapi yang perlahan berhenti di depan rumah keluarga Gu.
Suara decit roda yang aus menggema di tengah siang yang terik, membawa keheningan sejenak di lingkungan rumah mereka. Beberapa warga desa berdiri di kejauhan, mengintip dari balik pohon atau pagar rumah, bisik-bisik mulai terdengar sejak mereka melihat tubuh Gu Liang yang sudah tak berdaya dibopong keluar dari gerobak.
Ayah Ulan memanggul tubuh ayahnya itu dengan wajah letih dan penuh penyesalan. Di belakangnya, ibu Ulan dan Gu Younglin berjalan tanpa semangat, seolah baru saja kembali dari medan perang. Nenek Gu, dengan wajah kusut dan mata merah karena tangis, berjalan di paling belakang.
tapi bukan air mata yang membuat matanya merah, melainkan amarah yang mendidih.
Saat tubuh Gu Liang dibaringkan ke ranjang tua di kamar, nenek meledak. Suaranya menggema di seluruh rumah hingga menembus jendela dan didengar jelas oleh warga yang berkumpul di luar.
"Kalau saja gadis itu tidak egois! Kalau saja dia masih punya sedikit rasa hormat pada orang tuanya!" teriak nenek, tangannya menunjuk ke arah ruang kosong seolah Ulan ada di sana.
"Dia sudah menikah, tapi tak sedikit pun memberi bantuan! Malah berpaling dari keluarganya seperti kita ini sampah! Kacang lupa kulitnya!"
Ibu Ulan mengelus dada, ikut menambahkan, "Anak perempuan macam apa yang membiarkan Kakek
nya sakit parah dan tidak membantu sedikit pun? Padahal uangnya pasti ada!"
Dua adik laki-laki Ulan yang masih kecil ikut-ikutan, dengan suara tajam berkata, "Kakak cuma pikir diri sendiri! Dapat uang langsung lupa keluarga!"
"Ya lebih baik tidak memiliki kakak perempuan seperti itu.huh padahal aku bisa mendapatkan hadiah dari nenek tapi dia menikah secara gratis. benar-benar sial memiliki kakak seperti ini Ulan"
Di luar rumah, beberapa warga yang menyaksikan hanya bisa menggeleng. Salah satu dari mereka berbisik ke tetangganya, "Keluarga ini belum juga belajar dari apa yang terjadi. Mereka menyalahkan ulan yang paling menderita, padahal semua ini karena ulah mereka sendiri."
"Benar," timpal yang lain. "Ulan hanya korban... Tapi lihat, sekarang dia malah dijadikan kambing hitam. Memalukan."
Yang lain menimpali dengan suara dingin, "Padahal dia cuma punya sedikit keberuntungan... itu pun mereka rebut seperti serigala lapar."
Terus-menerus nenek menjerit dan menangis, berguling di atas lantai rumah sambil mengutuk Ulan seolah seluruh penderitaan keluarga ini adalah tanggung jawab cucunya seorang.
"suamiku betapa malam nasibmu sudah begitu pula tapi tidak ada anak dan cucu yang bisa diandalkan huhuhu!!"
"suamiku.
"ayah mertua... Huhuhu ayah mertua...
Tetapi, tidak ada yang berani mendekat. Tidak ada simpati yang tersisa. Bahkan warga desa yang tadinya iba, kini hanya menganggap keluarga Gu sebagai peringatan.
Bahwa ketamakan dan kekejaman pada darah daging sendiri hanya akan berakhir dalam kehinaan. Rumah itu kini tak hanya penuh dengan suara tangisan dan amarah, tapi juga aroma pahit dari karma yang datang mengetuk pintu.
Di dalam kamar,jari jemari kekek bergerak gerak. tapi sayang tidak satupun yang sadar tapi kejadian itu.
Semua anggota keluarga sibuk menantinya seolah-olah ,dia sudah mati.
tragisnya tidak ada yang mengingat dia sebagai seorang yang sakit bahkan ketika malam tiba. malam itu semua orang sibuk menangisi dapur mereka yang tidak lagi mengepul.
Tidak ada bahan makanan yang bisa dimasak. Jika pun ada itu hanya tepung yang sudah berwarna hitam.
Karena sibuk di rumah sakit tidak ada yang pergi mencari sayuran liar di Gunung .Sementara di kebun sayur-mayur sudah habis dipanen.
"Ya Tuhan ini pasti karena gadis sial itu. menantu perempuan , kenapa kau membuangnya sejak lahir rumah kita tidak akan sosial ini sekarang"
lain halnya dengan ibu ulan , Dia berkata,"setelah yueqing menikah kesialan mulai datang bertubuh-tubi jangan-jangan..
Bibi kedua menangis paling keras mengenang pernikahan putrinya yang tidak adil. Dalam konstitusi itu dia berkata,"putriku adalah bintang keberuntungan .Setelah dia pergi keberuntungan juga pergi dari rumah ini huhuhu...
Rumah itu tidak lagi memiliki tawa yang ada hanya tangisan sampai tengah malam. Mereka menjerit dan menangis seolah-olah ada kematian di rumah itu.
Sementara kakek yang sebenarnya sadar hanya bisa memarahi mereka di dalam hati karena membiarkan dia terbaring tanpa daya.
Dia masih hidup tapi mereka sudah melupakannya .Bagaimana jika dia benar-benar mati besok pagi.
Pikirannya mulai terbakar omong kosong.Gu yueqing adalah bintang keberuntungan dan gu xuilan adalah bintang sial.
ini benar.
lanjut thorrr terusss semangatt💪💪💪❤️
tetap semangat..💪