“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 20
Juragan Karta duduk bersandar di kursi kerjanya, jemarinya mengetuk-ngetuk pelan permukaan meja. Namun, matanya terbuka manakala suara pintu diketuk dari luar.
“Juragan, ini saya—hendak menghadap,” suara Wagiman terdengar dari balik pintu.
“Masuk,” sahut Juragan Karta. Suaranya serak namun tetap berwibawa.
Pintu kayu itu berderit pelan saat dibuka. Wagiman melangkah masuk dengan kepala sedikit menunduk, seperti biasa. Namun, ada ketegangan halus dalam wajahnya—sesuatu yang tak biasa dari pria setia yang telah mengabdi bertahun-tahun itu.
“Ada apa, Giman?” tanya Juragan tanpa basa-basi.
Wagiman menatap juragannya sejenak, lalu melangkah lebih dekat dan menurunkan suara. “Saya datang membawa kabar penting, Juragan. Mengenai ... apa yang telah terjadi selama Juragan dan Nyai ke luar kota.”
Alis Juragan Karta langsung terangkat. “Apa maksudmu?”
Wagiman menelan ludah perlahan sebelum akhirnya membuka suara. “Ada ... kejadian di gudang belakang, Juragan. Dua gundik yang diberikan hukuman oleh Nona Arum ... tewas mengenaskan.”
Juragan Karta langsung menegakkan tubuhnya, alisnya berkerut. “Tewas?”
Wagiman mengangguk. “Nona Arum menyiksa mereka hingga tewas, Juragan.”
Sejenak, suasana berubah hening. Kemudian, Juragan pun bertanya, “lalu di mana jasad mereka sekarang?”
“Atas perintah Nona Arum,” jawab Wagiman mantap, “saya buang jasad mereka ke dalam hutan, ke wilayah yang tak pernah dilintasi warga. Katanya, agar menjadi santapan binatang buas.”
Juragan Karta diam sejenak, lalu menyandarkan punggungnya kembali. Sebuah senyum tipis menghiasi bibirnya.
“Bagus,” sahutnya santai.
Wagiman sontak menoleh cepat, ragu dengan apa yang baru ia dengar.
“Daripada dikubur dan membuang-buang uangku ... lebih baik dijadikan sedekah untuk hewan-hewan kelaparan di hutan,” lanjut Juragan dengan seringai kecil.
Lalu ia menoleh ke luar jendela sejenak, menatap ke arah Paviliun yang terlihat dari ruangan kerjanya. “Perempuan itu memang sudah berbeda sekarang. Aku jadi semakin tergila-gila padanya.”
...****************...
Siang itu, cahaya matahari merayap perlahan melalui celah jendela kamar Nyai Lastri. Udara terasa pengap, bukan karena cuaca—tapi karena emosi yang menumpuk sejak malam sebelumnya. Ia duduk di depan cermin riasnya, mencoba memoles wajah dengan bedak dingin, meski hatinya panas membara.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Yuyun dan Sari datang hendak mengadu. Nyai Lastri segera membukakan pintu.
“Ada apa siang-siang begini mendatangiku?” tanya Nyai Lastri, sinis. “Cepat katakan, jangan bertele-tele!”
Kedua gundik pun saling beradu pandang dengan raut tegang.
Yuyun melangkah maju. “Ampun, Nyai ... ini masalah besar. Kami tidak berani bicara pada siapa-siapa, kecuali pada Nyai.”
Lastri menatap tajam, sorot matanya amat menusuk. “Cepat bicara.”
“Anu, Nyai ....” Yuyun menelan ludah. “Kemarin senja ... saya mengintip ke gudang belakang. Tempat Arum menghukum Pima dan Sri.”
“Dan?” Nyai Lastri menyipitkan mata. Ia akhirnya membuka lebar pintu kamarnya.
“Saya ... saya melihat wajah Arum berubah, Nyai. Menjadi ... menjadi wajahnya Larasmi!” suara Yuyun langsung bergetar.
“Jaga mulutmu! Jangan main-main dengan menyebut nama itu sembarangan!” Suara Nyai dingin dan tajam.
“Sumpah, saya nggak bohong. Saya benar-benar melihat Larasmi, Nyai!” balas Yuyun cepat.
“Yuyun! Sssttt!” Sari menyikutnya, panik. “Jangan disebut!”
“Tapi, Sar ... aku memang melihatnya sendiri!” Yuyun hampir menangis, semakin panik. “Jelas sekali wajah Arum berubah menjadi wajah Larasmi. Lalu, Pima dan Sri dicekik hingga mati, aku nggak—”
PLAK!
Nyai Lastri tiba-tiba melayangkan tamparan keras ke pipi Yuyun—hingga sang gundik pun jatuh tersungkur.
“Bicaralah dengan tenang!” desis Nyai Lastri. Tubuhnya terasa membeku, nama Larasmi membuat darahnya seakan berhenti mengalir. “Lanjutkan ceritamu dengan tenang, aku ingin mendengarnya.”
Yuyun menarik napas sedalam-dalamnya, lalu menghembuskan dengan pelan—berusaha menenangkan diri terlebih dahulu, sebelum melanjutkan. Kemudian, dengan sorot mata mantap, ia menceritakan semua yang ia saksikan semalam. Suaranya bergetar, tapi tak ada keraguan.
Nyai Lastri menatap Yuyun tajam . “Apa kau yakin apa yang kau lihat—bukan sekedar khayalan karena rasa takut?”
“Saya yakin, Nyai! Demi Tuhan!” seru Yuyun. “Dan ... sebelum kemari, saya menyempatkan diri untuk menguping pembicaraan Wagiman dengan Juragan di ruang kerjanya. Saya mendapatkan informasi, katanya—jasad Pima dan Sri dibuang ke hutan atas perintah Arum!”
Lastri mematung sejenak. Kemudian matanya melirik ke arah jendela. Pikirannya dipenuhi bayang-bayang masa lalu, wajah Larasmi yang dulunya ia buang bersama dendam di dasar Danau Wening Ilang—kini seolah bangkit kembali.
Nama yang sudah dikuburnya rapat-rapat, kini kembali mengusik seperti bisikan dari neraka.
Tangan Nyai Lastri mengepal erat, rahangnya mengeras. Ia mundur beberapa langkah, lalu terduduk lemah di kursi meja rias.
Perlahan, bibirnya bergetar, suaranya nyaris tak terdengar. “Keluar kalian berdua. Sekarang juga.”
Yuyun dan Sari saling pandang, lalu bergegas menunduk dan melangkah mundur dengan hati ciut.
Namun, tepat sebelum mereka menutup pintu, Nyai Lastri kembali berkata—
“Dan, panggil Madun kemari. Suruh dia menghadap sekarang juga.”
Begitu pintu tertutup, Nyai Lastri berdiri. Ia menatap ke arah cermin rias—menelisik bayangannya sendiri. Sekilas, ia merasa seolah bukan wajahnya yang ada di sana—melainkan wajah Larasmi yang menyeringai dalam diam.
“Bahkan sudah matipun, kau tetap membuat ku tak bisa hidup tenang. Dasar perempuan sialan!” bisiknya dingin.
.
.
“Saya ingin Anda melenyapkan roh sialan itu, Mbah! Berapapun, akan saya bayar!”
*
*
*
Readers, hari ini triple up ya—besok saya libur satu hari 🥰
Jangan lupa di klik permintaan updatenya 💖
ku rasa bokor itu masih di dasae danau deh
atau tusuk konde ya udah nggak ada di dalam bokor lagi...???
ehh kan si juanidin yg kena tusuk keris
klo sate tusuk daging kambing mah nyosss yaa kann 🤣🤣🤣