"Berhenti gemetar Ana.. Aku bahkan belum menyentuhmu." Nada suara itu pelan, rendah, dan berbahaya membuat jantung Ana berdebar tak karuan. Pertemuan mereka seharusnya biasa saja, tapi karena seorang bocah kecil bernama Milo semuanya menjadi berubah drastis. Daniel Alvaro, pria misterius yang membuat jantung ana berdebar di tengah kerasnya hidup miliknya. Semakin Ana ingin menjauh, semakin Daniel menariknya masuk.Antara kehangatan Milo, sentuhan Daniel yang mengguncang, dan misteri yang terus menghantui, Ana sadar bahwa mungkin kedatangannya dalam hidup Daniel dan Milo bukanlah kebetulan,melainkan takdir yang sejak awal sudah direncanakan seseorang.
Bagaimana jadinya jika Ana ternyata mempunyai hubungan Darah dengan Milo?
apa yang akan terjadi jika yang sebenarnya Daniel dan Ana seseorang yang terikat janji suci pernikahan di masa lalu?
Siapa sebenarnya ibu dari Milo? apa hubungannya dengan Ana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNUR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rafael Mahendra
Meja makan panjang dari marmer putih sudah tertata rapi. Aroma roti panggang dan sup hangat memenuhi udara.
Daniel duduk di kursinya dengan posisi tegap, memeriksa beberapa berkas di tablet sambil menunggu Milo.
Revan sudah berada di tempatnya sejak lima menit lalu, ia hanya diam namun tampak gelisah.
Milo akhirnya muncul, rambutnya masih sedikit basah sedangkan di belakangnya bi rina menyusul.
“Ayah!” serunya sambil duduk dengan energi penuh. binar bahagia terlihat jelas di wajahnya.
Daniel melirik sekilas lalu meletakan tabletnya. “Setidaknya kamu mandi hari ini.”
“Karena Ana pasti mau lihat aku,” jawab Milo dengan polos.
Revan tersedak air putihnya. sungguh centil anak satu ini.
Daniel hanya menghela napas dengan tingkah anaknya.
Milo langsung menatap Revan. “Om Revan kenapa tersedak? Mikirin Ana juga ya?”
“Diam, Milo.” Revan melotot kecil, pipinya memerah samar.
Daniel mengangkat alis melihat adiknya itu. apa dia melewatkan sesuatu.
“Revan, kamu tampak aneh sejak semalam.”
Revan cepat-cepat bersikap dingin raut wajahnya kembali datar “Tidak ada apa-apa. Fokus saja pada sarapanmu kak!”
Namun Milo tidak membiarkan itu, dengan jail dia mengadukan Revan pada daniel
“ayah, Kak Revan tadi ngintip Ana lho.”
“MI–LO!!” Revan memukul meja pelan. menatap tajam pada keponakannya itu.
Daniel menatap Revan tajam, ekspresinya campuran bingung dan curiga.
“Ngintip?” ulang Daniel.
Revan buru-buru menjelaskan, “Aku hanya memastikan kondisi gadis itu. Itu saja.”
“Gadis itu namanya Ana,” Milo memotong sambil menyendok telur orak-arik.
“Dan ayah tahu kak Revan mukanya memerah waktu lihat dia. Apa artinya itu menurut ayah? ”
Revan langsung menyuap makanannya dengan cepat untuk menutupi kegugupan.
Daniel memperhatikannya lebih lama dari biasanya.
Nada bicaranya rendah tapi mengandung otoritas
“Kamu bukan hanya adikku, Revan. Kamu juga penjaga Milo. Fokusmu harus tetap pada tugasmu. aku hanya bisa mengandalkan mu. ”
Revan mengangguk cepat. “Aku tahu. tenang saja aku pasti akan menjaga Milo. Milo juga keponakan ku. "
“Tugasmu bukan memperhatikan babysitter kecil itu,” lanjut Daniel.
Revan terdiam, menelan ludahnya dengan kasar.
Perkataan itu… terasa menusuk di dadanya tanpa ia mengerti. lagipula kenapa ia harus marah bukanlah gadis itu memang akan menjadi babysitter Milo.
Namun Milo protes dengan keras.
“Ayah! Ana bukan babysitter kecil! Dia cantik dan baik!”
Daniel menatap Milo, ekspresinya melunak sedikit.
“Aku tahu itu.”
Revan menghela napas lega, lalu berkata pelan, mencoba netral di hadapan kakaknya
“Kakak, sepertinya Ana bukan gadis sembarangan. Dia terlihat rapuh, tapi matanya… seperti menyimpan sesuatu.”
Daniel menoleh perlahan. “Sesuatu?”
Revan mengangguk, serius.
“Aku hanya… merasa dia bukan gadis biasa.”
Daniel terdiam.
Dia sendiri sebenarnya merasakan hal yang sama, tapi enggan mengakuinya.
“Fokus saja menjaga Milo,” ulang Daniel, lebih tegas.
Revan mengangguk, tapi hatinya tidak tenang.
Sementara Milo, yang tidak peka pada ketegangan orang dewasa, tiba-tiba bertanya
“Kapan Ana bisa turun sarapan sama kita?”
Daniel menjawab, “Setelah dia benar-benar pulih.”
Milo menghela napas lega. “Baiklah. aku sudah bilang padanya dia harus jadi babysitter aku!”
Revan memanyunkan bibir. “Kamu cepat sekali dekat dengan orang asing.”
Milo mendengus. “Karena Ana itu beda.”
Kalimat itu tak sengaja menancap di kepala Revan.
Iya… Ana memang beda.
Daniel menutup sarapan dengan mengambil napas panjang.
“Setelah ini, aku akan ke kantor. Kalian berdua jaga rumah dengan baik. Revan pastikan Milo sekolah dengan aman.”
“Baik kak, ” jawab Revan.
****
Koridor SMA itu ramai, murid berlalu lalang kesana kemari. terdengar suara langkah siswa dan tawa kecil di sepanjang lorong. Namun satu sosok berjalan dengan wajah tegang, Rafael.
Ketua OSIS yang selalu tampil rapi itu membawa beberapa kertas jadwal kegiatan, tapi pikirannya jelas bukan di sana. Senyum simpelnya hilang, terganti kecemasan yang sulit ia sembunyikan.
Setibanya di depan kelas Ana, Rafael menyapa seorang teman kelasnya.
“Pagi, Dila. apa Ana sudah datang?”
Dila menggeleng cepat. “Nggak, kak. Ana nggak masuk kemarin… dan hari ini juga belum kelihatan.”
Rafael mengerutkan dahi.
“Dua hari?”
“Ya… biasanya dia selalu datang paling awal. tidak ada surat juga. ”
Rafael menunduk sesaat, pikirannya menjadi kacau. baginya Ana adalah sosok yang sangat penting.
“Ada yang tau dia kenapa?” tanyanya lagi.
Teman-teman kelas saling bertukar pandang sebelum salah satu dari mereka, Revi, akhirnya berbisik pelan seolah takut didengar orang lain.
“Kak… aku dengar Ana dipecat dari tempat kerjanya.”
Rafael menegang. “Apa?”
“Sherin kayaknya penyebabnya… katanya mereka berantem di kafe. Trus Sherin bilang Ana sengaja tumpahin pesanan pelanggan sama dia karena dendam. beritanya heboh kemarin kak. ”
Rafael mengepal kedua tangannya. lagi dan lagi gadis bernama Sherin selalu membuat kacau keadaan. tidak tahukah dia siapa Ana sebenarnya? dan artinya di hidup dia.
Dila menambahkan, “Dan manajernya langsung percaya Sherin. Ana dimarahi di depan umum… terus langsung dipecat.”
Rafael mengembuskan napas kasar, wajahnya langsung gelap, amarahnya siap meledak kapan saja.
“Sherin lagi…sherin lagi."
Ia sudah lama tahu Sherin membenci Ana tanpa alasan masuk akal… kecuali karena kecemburuan.
Rafael menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya.
“Lalu… setelah itu? Ada yang lihat Ana pulang?” tanya Rafael lagi.
Salah satu teman di belakang menyahut, “Nggak ada yang tahu, kak. Ana langsung keluar dari kafe. Mukanya pucat banget waktu itu. ”
Rafael menunduk, rahangnya mengeras.
Dalam hati ia bergumam
"ana… kamu baik-baik saja, kan?
Ia membalikkan badan hendak pergi, tapi Dila memanggilnya.
“Kak Rafael! Mau ke mana?”
Rafael menatap mereka sambil meletakkan tangan di saku celana.
“Aku cari dia.”
“Sekarang?”
“Ya. Kalau Ana nggak masuk sekolah dan nggak pulang, berarti sesuatu sudah terjadi.”
Teman-temannya terdiam, wajah mereka ikut khawatir. Ana adalah teman sekelas yang baik.
“Ana bukan tipe orang yang hilang tanpa kabar. Aku harus pastikan dia selamat.”
Tanpa menunggu respon teman-teman Ana, Rafael berjalan cepat menyusuri lorong. Di wajahnya terlihat jelas ketakutan yang ia coba sembunyikan.
Ana… dimana kamu? apa kamu baik-baik saja?
Rafael keluar dari kelas dengan langkah panjang dan tergesa. Wajahnya yang biasanya tenang sebagai ketua OSIS kini terlihat jelas dipenuhi kekhawatiran. Setelah mencoba menghubungi Ana berkali-kali dan tetap mendapatkan jawaban nomor tidak aktif, kegelisahannya semakin menjadi. ia takut sesuatu terjadi padanya. ia sudah berjanji pada seseorang untuk selalu melindungi Ana. memastikan dia baik-baik saja.
“Kenapa HP-nya mati? tidak seperti biasanya, Ana biasa selalu aktif…” gumamnya.
Ia menuruni tangga sekolah, melewati beberapa siswa yang otomatis memberi jalan ketika melihat ekspresi seriusnya. Rafael langsung menuju area gedung kecil di sebrang sekolahnya tempat Ana biasanya bekerja paruh waktu.
Namun begitu ia tiba, tempat itu terlihat sepi.
Pintu ruangan terkunci, dan sebuah kertas pengumuman ditempel di kaca
“Staf magang diberhentikan sementara untuk restrukturisasi internal.”
Rafael mengepalkan tangan. “Sherin… Ini ulah kamu lagi, ya?”
Ia melangkah mengitari gedung, berharap Ana mungkin berada di belakang, tapi tetap kosong. ia tidak menemukan siapapun di sana.
rasa Khawatirnya semakin menjadi, Rafael akhirnya memberanikan diri bertanya pada salah satu staf senior yang baru saja datang.
“Permisi, Kak… apa Ana ada di sini?” tanya Rafael, suaranya agak terburu.
Staf itu menghela napas pelan pelan . “Anak itu sudah nggak kerja di sini. Katanya ada masalah kemarin sama pelanggan, aku kurang tahu detailnya.”
Rafael mengatupkan rahangnya.
Ia menatap layar HP sekali lagi, namun nomor yang d hubunginya tetap mati.
Tidak ada jejak. Tidak ada kabar.
“Ana… kamu sebenarnya kenapa? Kamu di mana sekarang?”
Tanpa pikir panjang, Rafael berlari kembali menuju parkiran.
Ia mengambil motornya dan melesat keluar dari area sekolah, hanya satu tujuan di kepalanya
mencari Ana, bagaimanapun caranya.
"semoga kamu baik-baik saja Kak. "