Seorang Food Vlogger modern yang cerewet dan gila pedas, Kirana, tiba-tiba terlempar ke era kerajaan kuno setelah menyentuh lesung batu di sebuah museum. Di sana, ia harus bertahan hidup dengan menjadi juru masak istana, memperkenalkan cita rasa modern, sambil menghindari hukuman mati dari Panglima Perang yang dingin, Raden Arya.
11. Janji di Bawah Bulan Merah
Malam itu, hutan larangan di belakang kompleks istana bermandikan cahaya merah darah. Gerhana Bulan Total telah mencapai puncaknya. Suasana hening mencekam, angin pun enggan berhembus.
Di depan sebuah Lesung Batu Kuno yang berlumut—tempat yang sama di mana Kirana pertama kali muncul—Kirana dan Raden Arya berhadapan.
Waktunya sudah habis.
Kirana mengenakan pakaian modern-nya lagi; celana ripped jeans dan kemeja flanel yang sudah dicuci bersih oleh Laras (meski agak bau kamper). Di tangannya, ia menggenggam erat sendok perak pemberian Arya dan pisau kecil dari Ki Gedeng.
“Jadi…ini akhirnya?”suara Kirana bergetar, berusaha tersenyum meski air mata sudah membanjiri pipinya.
Raden Arya tidak menjawab. Wajah Panglima itu kaku, rahangnya mengeras menahan gejolak emosi. Ia menatap Kirana seolah ingin merekam setiap inchi wajah gadis itu ke dalam ingatannya selamanya.
“Gerbangnya sudah mulai terbuka,” Arya menunjuk Lesung Batu yang mulai bergetar dan memancarkan cahaya putih menyilaukan, kontras dengan langit merah di atasnya.
Kirana melangkah maju satu tapak. Ia mendongak, menatap mata elang Arya yang kini meredup sendu.
“Mas Arya…” Kirana terisak. “Jangan lupain gue ya. Jangan lupain Nasi Goreng gue. Jangan lupain cerewetnya gue.”
Pertahanan Arya runtuh.
Dengan gerakan cepat, ia menarik Kirana ke dalam pelukannya. Dekapan itu begitu erat, putus asa, dan menyakitkan. Arya membenamkan wajahnya di ceruk leher Kirana, menghirup aroma gadis itu untuk terakhir kalinya.
“Bagaimana mungkin aku bisa lupa?” Bisik Arya serak, suaranya pecah. “Kau adalah kekacauan terindah yang pernah singgah di hidupku yang sunyi. Kau mengubah duniaku, Kirana.”
Arya melepaskan pelukannya, lalu menangkup wajah Kirana dengan kedua tangan besarnya.
“Dengar aku,” ucap Arya tegas, menatap lurus ke manik mata Kirana. “Pulanglah. Hiduplah dengan bahagia di masamu. Jangan menangisiku.”
“Tapi gue sayang sama lo, Mas!” Teriak Kirana.
Arya tersenyum—senyum paling tulus dan paling sedih yang pernah Kirana lihat.
“Aku tahu. Aku juga mencintaimu. Sangat mencintaimu.”
Sebelum Kirana sempat menjawab, Arya menunduk dan mencium kening Kirana. Lama. Penuh doa dan perlindungan. Lalu ia melepaskan sebuah cincin bermata batu merah delima dari jari manisnya, dan memakaikannya ke jari telunjuk Kirana (karena jari Kirana terlalu kecil).
“Bawalah ini. Agar kau ingat bahwa kau pernah memiliki seorang Panglima yang rela mati untukmu.”
Cahaya dari Lesung Batu semakin terang, angin berputar kencang membentuk pusaran waktu. Gaya tarik yang kuat mulai menyedot tubuh Kirana.
“Pergilah!” Teriak Arya, mendorong pelan tubuh Kirana ke arah cahaya. “Waktunya habis!”
“Mas Arya!” Kirana mengulurkan tangannya, berusaha menggapai tangan Arya untuk terakhir kalinya.
Ujung jari mereka bersentuhan sedetik.
“Temukan aku…”teriak Arya, suaranya mulai tenggelam oleh deru angin. “Temukan aku di kehidupan selanjutnya! Aku berjanji akan menunggumu!”
“MAS ARYAA!!!”
Cahaya putih meledak. Hutan larangan, bulan merah, dan sosok gagah Raden Arya lenyap seketika, berganti dengan kehampaan yang memutarbalikkan isi perut.
Jakarta, Masa Kini.
“Mbak? Mbak! Bangun, Mbak!”
Kirana tersentak bangun dengan napas memburu.
Ia terbaring di lantai marmer yang dingin. Lampu neon putih yang menyilaukan menusuk matanya. Suara biping mesin detektor logam terdengar di kejauhan.
Seorang satpam museum menatapnya dengan wajah khawatir.
“Mbak nggak apa-apa? Tadi Mbak pingsan pas nyentuh batu itu. Mbak punya riwayat epilepsi?” Tanya Pak Satpam.
Kirana mengerjap linglung. Ia melihat sekeliling. Ruangan pameran Museum Nasional. AC berdengung halus. Pengunjung lain menatapnya penasaran sambil berbisik-bisik.
“Pingsan?” Gumam Kirana, suaranya parau. “Berapa lama saya pingsan, Pak?”
“Cuma lima menit, Mbak. Tadi Mbak jatuh, terus saya lari kesini.”
Lima menit.
Kirana merasa dunianya runtuh. Sebulan di sana…cuma lima menit di sini?
Apakah itu semua cuma mimpi? Halusinasi? Bunga tidur karena dia banyak nonton drama kolosal?
Kirana tertawa hambar. Air matanya menetes lagi. “Mimpi…ternyata cuma mimpi…”
Ia mencoba bangkit berdiri dibantu Satpam. Saat itulah, ia merasakan beban berat di saku celananya. Dan ada sesuatu yang mengganjal di jari telunjuknya.
Kirana membeku.
Di jari telunjuknya, melingkar sebuah Cincin Emas Bermata Merah Delima. Ukirannya kuno, jelas bukan barang modern.
Dengan tangan gemetar hebat, ia merogoh saku celananya.
Sebuah Sendok Perak yang ujungnya sedikit menghitam.
Sebuah Pisau Dapur kecil berkarat dengan gagang naga.
Dan selembar kertas Daluwang (kulit kayu) yang terselip di saku belakangnya.
Kirana membuka kertas itu. Itu adalah sketsa wajahnya yang sedang tertawa, lukisan Pangeran Dipa. Di pojok bawahnya, ada tulisan tangan baru dengan tinta yang seolah beluk kering :
Untuk wanitaku dari masa depan. Aku menepati janjiku. Aku tidak menikah sampai aja menjemputku, karena hatiku sudah dibawa pergi olehmu. -Arya.
Kirana merosot kembali ke lantai, menangis meraung-raung di tengah kerumunan museum yang bingung.
Itu bukan mimpi. Itu nyata. Dan dia baru saja meninggalkan cinta sejatinya di masa lalu, sendirian seumur hidupnya.