Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fraktur Senyap
Anita duduk di ruang periksa, tegang. Di depannya, Dokter Imelda, seorang wanita paruh baya dengan mata yang hangat namun tajam, menatap hasil rontgen dengan kening berkerut. Setelah pemeriksaan fisik singkat, Dr. Imelda hanya menggelengkan kepala.
"Anita, saya akan jujur," ujar Dr. Imelda, suaranya lembut tetapi nadanya tidak memberi ruang untuk perdebatan. "Pola luka di rahangmu ini—pembengkakan, memar di bawah telinga—tidak sesuai dengan cerita jatuh di tangga. Kecuali kalau kau jatuh sambil menabrakkan rahangmu ke sudut lemari baja."
Anita merasakan darahnya berdesir dingin. Ia menundukkan kepala, memainkan ujung gaunnya. "Sungguh, Dok. Saya hanya ceroboh. Saya membawa banyak kotak kue berat di toko..."
Dr. Imelda menghela napas. Ia meletakkan tablet berisi hasil rontgen di meja. "Kita sudah melakukan rontgen dan CT scan ringan. Hasilnya... fraktur linear pada bagian kiri mandibula. Dalam bahasa awam, rahangmu patah, Anita."
Kata-kata itu menghantam Anita lebih keras daripada pukulan Aidan. Ia sudah menduga sakit, tetapi mendengar diagnosis resmi membuatnya terkesiap, meskipun suara yang keluar hanyalah desahan tertahan karena rahangnya yang sakit.
"Kami harus segera mengambil tindakan, atau akan ada komplikasi permanen," tegas Dr. Imelda, tatapan simpatinya bercampur dengan profesionalisme yang keras.
Dr. Imelda menjelaskan prosedur yang harus dilakukan. Mengingat jenis patahnya tidak membutuhkan plat baja (agar lebih mudah disembunyikan dalam fiksi), ia merekomendasikan:
Pemasangan Arch Bar dan Kawat: Untuk menstabilkan rahang, gigi atas dan bawah harus diikat bersama menggunakan kawat halus yang melilit di sekitar gigi. Ini dikenal sebagai Maxillomandibular Fixation (MMF).
Konsekuensi Pemasangan Kawat yang akan Anita rasakan:
Tidak Bisa Bicara: Ini adalah dampak paling dramatis. Gigi atas dan bawah akan terkunci atau hanya bisa terbuka sedikit sekali. Anita hanya bisa bicara dengan berbisik atau melalui gerakan bibir yang minimal, dan itu akan terdengar aneh. Ini akan membuat aktingnya di depan keluarga Aidan malam nanti hampir mustahil.
Makanan Cair: Ia hanya bisa mengonsumsi makanan cair yang disedot melalui celah kawat atau sedotan. Tidak ada lagi makanan padat selama beberapa minggu.
Rasa Sakit Kronis: Meskipun ada obat pereda nyeri, rasa sakit di persendian rahang akan terasa konstan dan menyiksa, terutama saat mencoba bicara, tersenyum, atau menelan.
Kecemasan dan Kebersihan: Kebersihan mulut akan menjadi mimpi buruk. Ia akan merasa mual, cemas, dan sering merasa tercekik (sensasi yang memperkuat kondisi disosiasinya).
"Kami akan memasangnya hari ini, Anita," kata Dr. Imelda. "Prosedurnya tidak lama, tapi pemulihannya akan sangat sulit. Kau akan kesulitan makan dan berbicara selama minimal empat minggu."
Jantung Anita mencelos. Empat minggu? Malam ini saja ia sudah harus berakting.
"Tolong, Dok," suara Anita serak dan terdengar tercekik, meskipun ia berusaha menahan rintihan. "Bisakah... bisakah tanpa kawat? Saya... saya harus berbicara. Saya punya toko kue yang harus saya urus."
"Tidak bisa, Anita. Risiko pergeseran tulang sangat tinggi. Jika rahangmu tidak stabil, kerusakan saraf dan kesulitan menelan permanen bisa terjadi," Dr. Imelda menolak tegas.
"Bisnis atau kesehatanmu? Kamu harus memilih, tapi saya yakin luka ini kekerasan rumah tangga"
Anita tersudut. Dia tahu, jika Aidan tahu dia memasang kawat, kemarahannya akan melampaui batas.
"Dokter Imelda..." Anita mencengkeram tepi kursi. Air matanya mulai menggenang, air mata sungguhan, bukan akting. "Saya mohon. Saya tahu apa yang Anda pikirkan, tapi... tolong, jangan catat ini sebagai kecurigaan KDRT. Suami saya sedang sangat berduka, dia kehilangan putra kami. Ini semua... ini hanya takdir. Jika ada laporan, suami saya akan hancur."
Dr. Imelda menatap Anita lama. Ia melihat bukan hanya ketakutan, tetapi juga kesetiaan yang menyakitkan, dan kesedihan yang tulus atas kehilangan anak sambungnya.
"Tugas saya adalah menyelamatkan nyawamu, Anita. Dan kewajiban hukum saya adalah melaporkan kekerasan. Tapi saya melihat kamu sedang terikat pada situasi yang rumit," ucap Dr. Imelda.
Ia menggeser tablet-nya. "Baik. Karena kamu bersikeras itu kecelakaan, dan karena kamu memohon, saya akan mencatat diagnosisnya sebagai fraktur murni dan memberikan rekomendasi perawatan. Saya tidak akan melaporkan saat ini."
Anita merasakan sedikit kelegaan yang bercampur dengan rasa bersalah yang menggunung.
"Namun, ini adalah peringatan terakhir," Dr. Imelda menekankan. Ia meraih tangan Anita, meremasnya lembut. "Kamu punya dua pilihan, Anita. Kamu tinggalkan situasi ini, atau kamu mencari bantuan. Jika kamu datang lagi ke sini dengan luka baru, sekecil apa pun, saya akan melaporkannya tanpa kompromi. Mengerti?"
Anita mengangguk, isyarat kecil yang terasa menyakitkan. Janji itu terpatri di hatinya: janji diam kepada dokter yang baru saja menyelamatkan rahangnya.
Setelah prosedur pemasangan kawat yang menyakitkan (jelaskan rasa sakit tumpul saat kawat ditarik), Anita meninggalkan rumah sakit. Rahangnya terasa kaku, mulutnya hanya bisa terbuka beberapa milimeter. Ia segera meminum obat pereda nyeri yang diberikan.
Saat perjalanan pulang, ponselnya bergetar. Telepon dari Aidan.
Anita mengangkatnya, suaranya kini tertahan, seperti bisikan berdesis yang dipaksakan.
"Halo... Ma-s... A-Aid-dan..."
"Kenapa suaramu begitu? Kamu sakit?" Suara Aidan terdengar dingin dan curiga, bukan khawatir.
"Rahang... ter... jatuh... ku... kawat..." Bisikan Anita sulit dipahami.
Hening sejenak. Lalu, suara Aidan menjadi keras, namun ditekan. "Brengsek! Kenapa kamu tidak bilang?! Dengar. Kamu sudah membuat masalah besar. Sekarang dengarkan baik-baik. Aku sudah atur cerita."
"Malam ini, kamu akan bilang pada semua orang bahwa kamu terjatuh parah di kamar mandi dan dokter bilang kamu tidak boleh banyak bicara karena tegang. Kamu baru boleh bicara setelah kita berdua sendirian. Jika kamu membocorkan satu kata pun tentang dokter yang curiga, atau jika kau mengeluh, kau akan tahu apa akibatnya."
Anita hanya bisa terdiam, tubuhnya merosot di jok mobil. Patah rahang dan kawat ini telah memaksanya ke level akting yang paling ekstrem. Ia harus diam, menahan sakit, dan tersenyum—sebuah Senyum Tiramisu yang mustahil—di depan keluarga Aidan.