NovelToon NovelToon
Ternyata, Aku Salah Satunya Di Hatimu

Ternyata, Aku Salah Satunya Di Hatimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: X-Lee

Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.


Ardian memejamkan mata, napasnya berat. “Aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.”


“Cinta?” Eva tertawa kecil, lebih mirip tangis yang ditahan. “Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa. Itukah yang kamu inginkan, Mas?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

9. Cinta Saja Tidak Cukup

Setelah kepergian istrinya, Ardian masih saja berada di posisinya. Tubuhnya membeku, seolah enggan berpindah, seolah jika ia bergerak sedikit saja, segalanya akan runtuh. Dia hanya diam, duduk di tepi ranjang yang kini terasa begitu luas dan dingin. Tangannya bergerak kasar, menyugar rambut yang sudah acak-acakan, tapi itu hanya pelampiasan, hanya cara bodohnya untuk menahan diri agar tak menangis lagi.

Pikirannya terus melayang pada detik-detik terakhir sebelum istrinya pergi. Sorot mata perempuan itu—mata yang dulu penuh cinta dan pengertian—kini hanya menyimpan luka yang dalam. Kata-katanya tajam, tapi tak lebih menyakitkan dari tatapan kecewa yang menyertainya. Ardian ingin berteriak, ingin memutar waktu, tapi semuanya sudah terjadi. Dan yang tersisa kini hanyalah penyesalan yang menusuk tanpa ampun.

"Apa yang telah kamu lakukan, Ardian? Kenapa kamu tega sekali menduakan istrimu? Apa kurangnya dia?" gumamnya pelan, suara itu hampir tidak terdengar, namun menggema di ruang utama yang sunyi. "Dia begitu baik padamu... selalu sabar, selalu ada, bahkan saat kamu sendiri sudah tak pantas untuk dicintai. Tapi apa balasanmu?" Suaranya mulai bergetar. Ia mengepalkan tangan, berusaha menahan gejolak emosi yang makin menggila dalam dadanya.

"Kamu malah menyakiti dia, menghancurkan perasaannya..."

Air mata yang sejak tadi tertahan, akhirnya jatuh juga, membasahi pipinya yang sudah basah oleh keringat dan rasa bersalah. Ia menunduk dalam, menggigit bibir hingga nyaris berdarah. Dada Ardian terasa sesak, seolah ada batu besar yang menekan tanpa henti. Semua kenangan bersama istrinya berkelebatan, begitu cepat, seperti cuplikan film yang tak memberinya waktu untuk bernapas.

Tapi, dia harus melakukan apa lagi? Dia sudah terlanjur melakukan hal itu. Pengkhianatan itu nyata. Dan sekali luka itu terbuka, tak ada lagi jalan untuk kembali seperti semula. Yang ada hanya kehancuran, hanya jarak yang tak bisa lagi dijembatani oleh permintaan maaf.

Kini, yang tersisa hanyalah bayang-bayang perempuan yang pernah begitu ia cintai... dan dirinya, yang duduk di tengah kehampaan, dihantui oleh keputusan yang telah menghancurkan segalanya.

Bukan tanpa sebab Ardian membiarkan istrinya pergi tanpa menahannya. Ada alasan yang tak terucapkan, terpendam dalam relung hatinya yang paling dalam. Ia berdiri terpaku di depan pintu, menatap punggung Eva yang semakin menjauh, membawa serta separuh jiwanya.

Dengan suara serak dan mata yang mulai memerah, Ardian berbisik sendiri, "Kalau aku menahannya… kalau aku memohon padanya untuk tetap tinggal… apa dia akan bertahan? Atau justru dia akan terluka lebih dalam?"

Tangannya mengepal, gemetar. Ia menunduk, lalu tertawa kecil—pahit dan getir. "Aku pengecut. Aku lebih memilih kehilangan dia daripada melihat dia menyakiti dirinya sendiri lagi. Aku tak sanggup… aku tak sanggup melihatnya hancur, hanya karena aku egois ingin dia tetap di sini."

Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar dari arah depan. Pintu utama terbuka dengan keras. Ardian pikir, itu adalah Eva yang kembali. Namun ternyata dugaannya salah, itu adalah sang ibu, Mama Rista, berdiri di ambang pintu dengan raut wajah yang campur aduk—sedih dan heran serta panik. Ia melihat putranya yang duduk lemas di lantai, wajahnya penuh air mata.

"Ya Tuhan, Ardian… kamu kenapa?" tanya Rista dengan nada panik, begitu melihat putranya terduduk lemas di lantai ruang tengah, wajahnya sembab, tubuhnya gemetar, seolah dunia runtuh di atas pundaknya.

Ia segera menghampiri, menyentuh bahu Ardian dengan lembut. Hatinya ikut remuk melihat anak laki-lakinya yang selama ini terlihat kuat dan tegar, kini rapuh tak berdaya seperti daun kering di musim gugur.

Ardian menatap mamanya, matanya merah, basah, penuh luka yang tak mampu ia jelaskan. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Hanya air mata yang bicara. Ia menggeleng perlahan, seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya—atau lebih dari itu, kehilangan sebagian dirinya.

Mama Rista langsung berlutut di hadapan putranya, tangan tuanya yang mulai keriput mengangkat wajah Ardian dengan kasih sayang seorang ibu. "Nak… ngomong sama Mama. Jangan simpan sendiri. Apa yang terjadi, Ardian?"

Ardian menahan napas sejenak. Bibirnya bergetar, seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi tercekik oleh rasa sesal yang terlalu dalam.

"Eva, Ma..." suaranya nyaris tak terdengar.

Rista mengerutkan dahi. "Ada apa dengan Eva?"

"Eva pergi, Ma..."

Keheningan mendadak menyelimuti ruangan. Seolah waktu berhenti sesaat.

"Pergi?" tanya Rista, seolah tak percaya.

Ardian mengangguk, suara tangisnya mulai pecah. "Dia pergi meninggalkan aku, Ma… dengan sorot mata yang enggak akan pernah bisa aku lupakan. Sorot mata yang penuh luka. Aku yang membuatnya seperti itu. Aku yang menghancurkan dia…"

Tangisnya semakin menjadi. "Aku menyakitinya, Ma. Aku hancurkan perasaan perempuan yang selama ini dengan setia menemaniku, yang mencintai aku tanpa syarat… yang nggak pernah membantah, yang selalu sabar—meski aku seringkali dingin, sering tak peka, sering terlalu sibuk dengan egoku sendiri."

Rista menatap anaknya, bingung. "Maksud kamu apa, Ardian? Mama enggak ngerti dengan yang kamu bicarakan."

Ardian mengusap wajahnya yang basah. Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengucapkan kalimat yang selama ini ia sembunyikan, bahkan dari dirinya sendiri.

"Eva tahu semuanya, Ma... Dia tahu aku menikah diam-diam. Dia tahu aku punya anak dari Lisna. Dan... dia nggak bisa terima itu."

Kata-kata itu seperti pisau yang menancap di dada Rista, tapi bukan karena kecewa. Melainkan karena terkejut semuanya terbongkar. Sesaat ia terdiam, matanya berkedip cepat, mencoba mencerna pengakuan itu.

Namun alih-alih menunjukkan rasa bersalah atau simpati, raut wajahnya kembali datar. Dingin. Ia menghembuskan napas, lalu berkata dengan tenang namun tajam, "Bagus dong kalau dia sudah tahu semuanya. Lagi pula, seharusnya dia enggak perlu marah begitu. Kamu cuma menikah siri dengan Lisna, bukan selingkuh. Dan kamu butuh anak, Ardian. Eva udah lima tahun menikah sama kamu, tapi belum juga kasih kamu keturunan. Bukankah itu wajar kalau kamu menikah lagi? Mama malah bangga kamu ambil keputusan itu."

Ardian menoleh pelan, memandang ibunya dengan sorot kecewa yang mendalam. "Ma… dia bukan cuma istri. Dia juga manusia. Dia punya hati, punya rasa, punya luka. Kenapa Mama cuma lihat dia dari sisi 'bisa punya anak' atau nggak? Kenapa cinta harus selalu diukur dari apa yang bisa diberikan, bukan dari apa yang telah dijaga?"

Suara Ardian bergetar, tapi penuh ketegasan. "Aku menghancurkan perempuan yang selama ini hanya ingin dicintai dan dianggap cukup. Dan sekarang, mungkin aku benar-benar kehilangannya, Ma… untuk selamanya."

Rista tak menjawab. Ia hanya terdiam, menatap anaknya yang untuk pertama kalinya, tampak lebih dewasa dari dirinya sendiri. Untuk pertama kalinya pula, ia sadar—bahwa mungkin, luka ini bukan hanya milik Eva. Tapi milik anaknya juga. Luka yang ditorehkan oleh pilihan-pilihan yang dianggap benar, tapi membunuh perlahan.

Tapi, dia tetap enggan bersimpati pada menantunya tersebut. Wajahnya keras, seperti tak tergoyahkan oleh kegundahan putranya. “Kalau kamu kehilangan Eva, kamu masih punya Lisna dan Aiden. Mereka adalah keluarga kecil kamu, nak. Jika Eva pergi, biarkan saja. Jangan memaksakan sesuatu yang mungkin memang tidak ditakdirkan untuk bertahan.”

Ardian mendongak perlahan, matanya yang sembab menatap sang mama penuh harap, seolah mencari celah kasih yang mungkin bisa meluluhkan hatinya. “Tapi, aku mencintainya, Ma,” ucapnya lirih, nyaris seperti bisikan yang pecah oleh sesak di dada.

Sang mama menarik napas panjang, lalu menghela dengan pelan seakan menahan emosi yang bergolak dalam dirinya sendiri. Ia berjalan mendekat, duduk di samping Ardian, namun tatapannya tetap tegas. “Cinta saja tidak cukup untuk mempertahankan sebuah hubungan pernikahan, Ardian. Jangan egois mempertahankan cinta kamu dengan Eva, sementara dia sudah tidak ingin lagi berada di sisi kamu.”

Ardian menggigit bibir bawahnya, menunduk dalam diam. Suara sang mama bagai palu godam yang menghantam hatinya yang sudah retak. “Mama tahu kamu terluka,” lanjut ibunya, suaranya kini sedikit lebih lembut. “Tapi kamu harus ingat, ada dua jiwa lain yang menggantungkan kebahagiaan mereka padamu—Lisna dan Aiden. Mereka tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang cinta yang sudah tidak sehat.”

“Aku hanya ingin keluargaku utuh, Ma,” bisik Ardian akhirnya, suaranya nyaris tenggelam.

Sang mama menggeleng pelan, memegang tangan putranya dengan hangat. “Kadang, nak, melepaskan adalah bentuk cinta paling besar. Bukan untuk menyerah, tapi untuk memberi ruang bagi semua orang untuk bernapas kembali.”

***

1
Adinda
pasti anak pelakor bukan darah dagingmu ardian biar menyesal kamu
Nur Nuy
rasain suami penghianat , tunggu tanggal mainnya bakalan nyesel lu seumur hidup lepasin eva😡😏
Mardathun Shalehah: jangan lupa hadir yaa di persidangan/Facepalm/
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
kata nenek, bertengkar di pagi hari itu nggak bagus lho
Mardathun Shalehah: kalau malam bagus gak 🤧🤣
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
ish aku paling benci kalau macet apalagi kalau pakai mobil manual, hmm, capek banget dan bikin esmosi, eh emosi
Mardathun Shalehah: sabar 🤧🤣
total 1 replies
Nur Nuy
sabar eva sabarr hempaskan penghianat itu
Mardathun Shalehah: buset dah 🤣🤣
Nur Nuy: ke kandang singa author 🤣🤣🤣
total 3 replies
Nur Nuy
tidak semudah itu fer Ferguso
Mardathun Shalehah: /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
like plus iklan 👍
Mardathun Shalehah: /Joyful//Facepalm/
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
iya tega banget ish!
Mardathun Shalehah: sabar /Joyful//Shy/
total 1 replies
Nur Nuy
semangat eva ayo kamu bangkit lupakan penghianat itu
Mardathun Shalehah: semangat ❤️
total 1 replies
yuni ati
Keren
Mardathun Shalehah: makasih kk ❤️
total 1 replies
Nur Nuy
lanjutkan
Mardathun Shalehah: oke ❤️
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
keren narasinya 🥰
Mardathun Shalehah: Makasih kak 🥰
total 1 replies
Nur Nuy
yaampun kasian banget eva nya, sedih banget lanjutkan Thor seru
Mardathun Shalehah: Makasih dukungan nya kk ❤️
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
like plus subscribe 👍 salam kenal 🙏
Mardathun Shalehah: Salam kenal juga kak 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!