Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
Di seberang mal megah yang menjulang dengan arsitektur kaca modern dan pendingin ruangan yang menyembur sejak pintu masuknya terbuka, berdiri sebuah kedai mi ayam kecil. Cat dindingnya masih rapi, berwarna hijau terang, membuat kedai itu tampak mencolok di tengah deretan pedagang kaki lima yang lebih kusam dan seadanya. Nama “Mi Ayam Pak Bagyo” tercetak dengan huruf besar-besar di atas papan sederhana, dihias tangan dengan garis putih melingkari setiap hurufnya. Tak ada logo mewah, tak ada lampu sorot penuh ilusi, hanya kesederhanaan yang dirawat dengan sungguh-sungguh.
Pak Bagyo, lelaki berkemeja kotak-kotak lengan pendek dan celana bahan longgar, berdiri di balik etalase kaca kecil yang bersih dan tertata. Usianya 60-an, rambutnya sudah memutih sebagian, tapi senyumnya hangat seperti kuah kaldu ayam yang ia rebus sejak pagi. Tangannya cekatan meracik pesanan: mi kuning kenyal yang dituang kuah bening kekuningan, taburan ayam cincang manis gurih, dan sejumput daun bawang yang ditabur perlahan. Tiap mangkuk disajikan dengan penuh perhatian, seperti menyuguhkan hidangan untuk tamu yang datang ke rumah.
Meja-meja kayu dilapisi taplak plastik bermotif daun, semua bersih dan bebas lengket. Kursi plastik tersusun rapi, dengan tempat tisu dan sambal di setiap meja. Tidak ada AC, hanya kipas angin berdiri yang berputar pelan sambil sesekali berdecit kecil. Tapi udara di sini terasa hidup—penuh aroma kaldu dan suara obrolan para pelanggan yang mampir.
Tak ada musik latar, hanya klakson kendaraan, langkah kaki orang-orang, dan sapaan hangat sang pemilik, “Tambah pangsit goreng, Mas?”
Kedai itu mungkin kecil dan sederhana, tapi ia berdiri seperti titik tenang dalam pusaran kota yang sibuk. Ia bukan tempat untuk pamer gaya, melainkan tempat untuk memanjakan lidah mereka yang lebih mementingkan rasa daripada sekadar gengsi dan rasa ingin diakui.
“Mi ayam dua, Pak. Satu pakai bakso, satunya enggak. Dua-duanya jangan pakai daun bawang.” Pesanan dibuat begitu lancar tanpa harus ada adegan bingung dan berdebat.
Di dekat salah satu meja paling luar dari kedai, Naren sedikit menaikkan alisnya keheranan. Pasalnya, dia sama sekali tidak ditanya lebih dulu ingin makan apa, tetapi ajaibnya apa yang Kayanara pesan tepat sekali sesuai selera.
“Lo sengaja cari tahu kesukaan gue buat carmuk, ya?” tuduhnya begitu bokong mereka mendarat di kursi plastik.
Kayanara mendesis pelan. “Ngapain gue carmuk sama lo? Nggak ada faedahnya.”
Tak ada jawaban dari sebelah, hanya bibir yang merengut dan mulai berkomat-kamit tanpa suara.
“Bapak lo bilang alergi lo banyak. Gue nggak mau ya lo jadiin itu sebagai senjata buat ngerjain gue.” Kayanara menjelaskan, nadanya naik satu oktaf, sewot.
“Gila kali gue ngerjain orang tapi sampai mempertaruhkan nyawa sendiri!” Naren meolot, tak terima dituduh sembarangan.
Kayanara mengedik santai, tatapannya sinis. “Siapa tahu. Lo kan bocah kematian.”
“Lo nenek sihir!” balas Naren cepat, tidak kalah nyolot.
“Bokem nggak ada akhlak.”
“Nenek sihir tua keriput!”
“Bocah kematian titisan Dajjal.”
“Nenek sihir tua keriput, jahat, arogan, galak, tidak berbudi pekerti luhur!” seru Naren, sudah seperti mengeluarkan seluruh kosakata dari KBBI yang dia tahu.
Busettt, diborong semua tuh yang jelek, batin Kayaran sambil mengerjap tak percaya.
Karena Kayanara terdiam cukup lama setelahnya, Naren pikir dia sudah menang atas perdebatan mereka. Sudut bibirnya terangkat perlahan, hampir sempurna menyuguhkan smirk ala iblis jahanam. Kalau saja Kayanara tidak kembali menyeletuk dan membuat senyumnya perlahan pudar.
“Bokem bau matahari.”
Duh, ejekan itu berhasil membuat kepala Naren terasa habis dijatuhi benda berat. Ejekan apa pun bisa dia terima dengan lapang dada, termasuk ketika teman-teman SD mengatainya tidak punya ibu. Tapi kalau sudah menyangkut bau tubuh, Naren sangat sensitif—seperti pantat bayi. Dia paling anti dikatai bau!
Mulutnya baru mau mulai terbuka untuk melawan, tapi Pak Bagyo sudah lebih dulu datang. Dua mangkok mi ayam tanpa daun bawang mejeng di meja mereka. Satu lengkap dengan tiga butir bakso halus, satu lagi full potongan daging ayam. Cacing di perut Naren serempak berjoged ria dengan alat makan yang sudah ready. Mendorong produksi air liur menjadi berlebih sehingga rongga mulut Naren mendadak banjir.
Akhirnya, perdebatan ditunda. Naren memilih untuk lebih dulu mengisi tenaga.
Mereka menyantap mi ayam dengan khidmat. Tidak ada obrolan, tidak ada adegan main hp sebagai pengalihan. Setiap lembar mi diseruput penuh rasa syukur, kuahnya diseruput dengan rasa kagum akan citarasa gurih yang terlampau sulit dideskripsikan dengan kata—terlampau sempurna.
Sementara di atas, matahari bergerak semakin jauh ke sisi barat. Panas dan gerah mulai menepi, berganti hawa sejuk dan menenangkan hati.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Rumah masih dalam keadaan sepi ketika Naren tiba. Ayah dan abangnya belum pulang, sedangkan kedua ART mereka sedang sibuk menyiapkan makan malam.
Naren menyapa keduanya sebentar, berbasa-basi menanyakan menu makan malam, lalu melesat pergi ke lantai dua.
Sofa beludru di ruang keluarga tampak seperti sedang melambaikan tangan ketika dia baru mencapai anak tangga terakhir.
Oleh karena itu, Naren berjalan cepat dan langsung merebahkan tubuhnya di sana setelah membuang tasnya asal ke lantai.
Naren menyambar remote televisi dari atas meja kaca, menekan tombol power hingga layar menyala. Di sana, sedang tayang sebuah acara variety show asal Korea Selatan yang belakangan sering ditonton oleh Mahen. Abangnya yang receh itu memang lebih suka menonton acara penuh tawa seperti ini, berbanding terbalik dengan dirinya yang gemar menonton siaran berita kriminal dan cerita-cerita penuh teori konspirasi.
“Si Kocak,” komentarnya sewaktu beberapa anggota di dalam variety show yang masih tayang tengah melakukan hal-hal konyol.
Iya, Naren tahu memang tujuannya untuk menghibur. Tidak ada yang salah, hanya selera humornya saja yang berbeda.
Tidak cocok dengan tontonan yang ada, Naren memindahkan saluran. Menjelang maghrib begini, stasiun televisi lebih banyak didominasi sinetron azab dan berita selebriti. Karena itu, saluran masih terus berganti karena Naren belum menemukan tontonan yang sesuai seleranya.
“Nggak ada acara yang lebih layak buat ditonton kah? Kok makin ke sini makin aneh aja ini acara TV.” Masih sambil mengganti saluran, Naren terus berkomentar julid.
Tombol up and down dipencet makin cepat, membuat suara yang keluar dari televisi kedengaran putus-putus dan tak nyaman didengar.
“Ck! Sampah,” cercanya, sebab tak kunjung menemukan apa yang dia inginkan.
Sudah hampir menyerah. Tombol power sudah hampir dipencet dan dia berniat meninggalkan ruang keluarga. Namun, atensinya dengan cepat tercuri saat layar televisi di depannya menampilkan sebuah acara dari salah satu stasiun televisi lokal yang namanya bahkan nyaris asing di telinga.
Naren menatap layar televisi penuh minat. Saksama mendengarkan penjelasan seorang laki-laki paruh baya berkaus partai tentang budidaya ikan channa. Oh, tapi bukan persoalan ikan yang menarik perhatiannya. Naren bukan pecinta hewan, apalagi yang perawatannya terlalu ribet seperti jenis-jenis ikan hias.
Apa yang membuat Naren begitu fokus adalah makhluk-makhluk kecil di tangan si lelaki paruh baya. Makhluk-makhluk imut berwarna merah yang katanya merupakan pakan terbaik untuk ikan hias yang dibudidaya.
Senyum sebelahnya terbit sempurna. Selagi netranya tetap fokus menonton makhluk-makhluk kecil itu, tangannya bergerak menyambar ponsel dan segera mendial nomor Eric.
Nada tunggu hanya terdengar tiga kali. Dengan sudut bibir yang naik semakin tinggi dan dada yang berdebar semangat, Naren lantas bertanya, “Met, beli cacing sutra di mana, ya?”
Bersambung....