Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
Mengajak Eric menginap di rumah ternyata adalah langkah sesat. Menemaninya? Menghibur? Membantu mengusir kesepian? Halah, bullshit! Yang ada anak itu malah merampas seluruh perhatian yang seharusnya Naren dapatkan dari penghuni rumah yang tersisa.
Sejak duduk di meja makan, anak itu sudah genit sekali menggoda Teh Hayati. Menyebutnya cantik, memuji make up-nya yang flawless, mengatakan bahwa outfit-nya hari ini keren sekali—seperti ibu-ibu bersahaja, dan masih banyak lagi. Naren saja sampai tidak mendapat kesempatan untuk menyela.
Teh Hayati sendiri juga seperti menikmati perlakuan Eric kepadanya. Perempuan itu tak berhenti tersenyum. Menurut saja ketika diminta duduk di samping Eric dan diajak mengobrol sembari menyantap sarapan.
“Si Udin oon banget deh ninggalin bidadari secantik Teh Hayati, malah milih sundel bolong tukang judi.”
Oke, sudah mulai lagi. Kali ini topiknya adalah menggibahi mantan gebetan Teh Hayati, si Saripudin, satpam komplek dengan tubuh kerempeng dan potongan rambut mirip buntut kuda. Dengar-dengar sih mereka baru berpisah, gara-gara si Udin kecantol ART tetangga blok depan yang dandanannya cetar membahenol menggetarkan jagad raya. Usut punya usut, karena hobi mereka sama—suka main judi online.
Naren tidak habis pikir Eric bisa sampai tahu soal cerita ini. Padahal ia tinggal di komplek nun jauh di sana, nginep di sini juga jarang-jarang kalau Naren tidak sedang ditinggal pergi abangnya. Tapi anak itu selalu tahu gosip hangat di sekitar Naren. Seakan-akan dia punya mata-mata yang sengaja disebar untuk mendapatkan berita.
"Sama Pak Morgan aja mau nggak? Nanti aku bantu PDKT.”
Nah, kalau Pak Morgan ini adalah pemilik tempat fotokopi di depan SMA mereka dulu. Duda tanpa anak, cerai dengan istrinya gara-gara istrinya kecantol pengusaha tambang. Dulu kalau Teh Hayati kedapatan tugas menjemput, perempuan itu memang suka menunggu di tempat fotokopi Pak Morgan. Mungkin dari sana terpercik benih-benih ketertarikan.
“Atau sama Mang Juned? Biar jelek gitu, duitnya kan banyak dari hasil panen lele.”
Kalau Mang Juned ini—LAH! Kenapa Naren malah ikut nimbrung ke agenda perjodohan tidak jelas yang dibawa oleh Eric?!
“Ish!” gerutunya setelah sadar. Dia tinggalkan Eric yang masih gencar menjodohkan Teh Hayati dengan beberapa pria, kembali fokus menyantap sarapannya.
Nasi, telur mata sapi, dan cah sawi hijau, bersatu di dalam mulutnya. Dia kunyah perlahan-lahan sambil diresapi rasa gurih alami dari bawang putih dan rasa asin yang sedikit kelebihan.
Sayang seribu sayang, kenikmatan di lidahnya mendadak berkurang saat netranya lagi-lagi bertumbuk dengan sosok Kayanara yang duduk di seberang. Perempuan itu masih saja mengenakan kacamata hitam anehnya. Makan dengan anggun meski di mata Naren tetap kelihatan tidak enak dipandang.
“Lo aneh banget. Nggak nyambung outfit lo,” cibirnya, lalu kembali mengunyah lebih cepat. Coba kalian nilai sendiri deh, apakah daster bunga-bunga warna pastel dengan kerah berpita dan sandal bulu itu cocok dengan kacamata driving hitam itu. Kalau menurut kalian cocok, Naren nggak tahu lagi deh kenapa selera kalian juga sama anehnya seperti si nenek sihir.
“Ya suka-suka gue dong.” Kayanara menyahut. Nadanya terdengar menyebalkan.
“Bikin sakit mata.” Naren tak mau kalah.
“Tinggal nggak usah dilihat, simpel.” Dengan bahu mengedik, acuh tak acuh.
Naren mengambil napas panjang, bersiap mengomel. Tetapi ujung-ujungnya tidak jadi. Untuk apa buang-buang energi sepagi ini hanya untuk meladeni si nenek sihir? Siapa tahu perempuan itu memang hanya ingin membuatnya kesal.
Akhirnya, Naren menghabiskan sarapan lebih cepat saja. Supaya bisa meninggalkan meja makan dengan berbagai ke-chaos-annya.
“Aden, Aden mau Teh Hayati bikinin jus tomat buat diminum di kampus nggak?”
"Nggak.” Naren menjawab cepat. Dia melirik sinis Teh Hayati. “Urusin aja bayi baru Teteh itu. Naren udah gede, udah bisa urus diri sendiri.”
"Serius nih Teh Hayati boleh buat gue? Nggak akan nyesel?” goda Eric. Menyenggol-nyenggol lengannya hinga dia kesulitan menyendok makanan.
Naren makin melolot. “Bisa diem nggak? Lama-lama gue tenggelemin juga lo ke kolam belakang.”
“Uuuu … takut.” Eric pura-pura ciut. Memanfaatkan kesempatan untuk ndusel ke lengan Teh Hayati.
Naren menghela napas begitu panjang. Gagal sudah usahanya menghabiskan sarapan. Dia sudah tidak nafsu makan.
“Dasar stres,” cibirnya terakhir kali, kemudian meninggalkan piringnya dengan sendok dan garpu dalam posisi telungkup.
Dia berdiri, menyambar ransel navy dari kursi sebelah, lalu melenggang pergi.
Langkahnya terayun pelan tapi pasti, iramanya konstan. Alih-alih duduk menunggu di depan teras, dia malah berteriak kencang ketika mencapai pintu depan. “BURUAN! KEBURU KIAMAT!”
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
...
“Nanti gue jemput agak telat, ada meeting offline sama klien.”
Hanya Eric yang mengangguk, sementara Naren sudah ngeloyor begitu saja seperti orang budek. Padahal telinganya tidak sedang tersumpal earphone.
“Kalau udah selesai meeting, aku kabarin.” Karena toh Naren sudah melangkah jauh, Kayanara berpesan itu pada Eric saja.
Pemuda yang personality-nya mirip anak anjing itu kembali mengangguk. Matanya nyaris menghilang ditelan senyum yang terkembang belakangan.
"Bye, Macan. Hati-hati nyetirnya.” Lambaian tangannya tinggi dan bersemangat. Kayanara membalasnya, kemudian menaikkan kembali kaca jendela dan bergegas melajukan mobil meninggalkan area kampus.
Di persimpangan, dia berbelok ke kiri, arah yang berlawanan dengan rumah Naren. Dia akan kembali ke apartemennya lebih dulu, mengambil beberapa barang yang belum sempat dibawa.
Jalanan ternyata lebih padat daripada biasanya. Mobil Kayanara merayap pelan bersama kendaraan lain yang mengular di sepanjang ruas jalan, sebelum akhirnya stuck dekat perempatan yang memang terkenal semrawut.
Alunan lagu mulai terdengar dari tape sesaat setelah dinyalakan. You’ll Be in My Heart milik Phil Collins yang dinyanyikan ulang oleh Niki mengudara. Liriknya yang hangat membawa ingatan Kayanara pada adegan ikonik dari film Tarzan yang dia tonton di masa kanak-kanak. Kasih sayang Kala yang tak terbatas untuk Tarzan meski mereka berdua berbeda spesies, telah berhasil menyentuh hati Kayanara. Dan entah kenapa, di momen ini, dia malah teringat pada Janu dan anak-anaknya.
"Aku berharap cuma hal-hal baik yang datang ke kamu mulai sekarang, supaya kamu nggak perlu lagi bikin tato buat pelampiasan.”
Michelle bilang, Kayanara adalah ahlinya menenangkan badai orang lain, tetapi buruk dalam menenangkan badainya sendiri. Peryataan itu semakin terasa valid mengingat sudah berapa kali dia mencoba menenangkan Janu dan mengapresiasi kerja kerasnya mengasuh kedua putranya sendirian. Sementara dirinya sendiri lupa untuk menenangkan rasa bersalah di dalam dirinya yang sampai detik ini masih terus menghantui.
Kayanara menghela napas rendah. Daripada tenggelam dengan perasaan tidak nyaman, dia memilih untuk ikut menyanyikan lagu yang mengudara saja. Mengetuk-ngetuk kemudi selagi pandangannya berkeliling ke sisi kiri.
Di trotoar, pedestrian melangkah lebar, berebut jalur dengan pengendara ojek online nakal yang sedang berusaha menghindari kemacetan. Dia tersenyum puas melihat mereka tak gentar berjalan di jalur yang tepat. Membiarkan para pelanggar aturan itu merayap dengan sabar di belakang.
Di sudut yang lain, ruko-ruko berlantai enam dengan cat yang mulai mengelupas dan banner sobek di beberapa sisi, tampak kontras dengan bangunan perkantoran tinggi beberapa blok di depan. Selalu seperti ini. Selalu ada dua sisi di tiap-tiap tempat yang dia datangi.
Sembari masih terus mengamati keadaan sekitar, kakinya mulai menginjak pedal gas tak terlalu dalam. Mobilnya bergerak sedikit demi sedikit. Suara klakson terdengar jauh dari belakang. Berbunyi panjang. Semula hanya satu, dalam sekejap berubah saling bersahutan.
Kayanara berdecak kesal. Sudah tahu macet begini, kenapa harus memencet klakson seperti orang gila? Kalau tidak sabar, kenapa tidak terbang saja?
“Anarkis,” desisnya.
Tak lama berselang, dering ponsel menginterupsi. Dia tidak jadi mengomel lebih panjang, beralih merogoh ponsel dari saku daster.
Mobil kembali stuck, seirama dengan napas Kayanara yang terjeda sejenak. Di layar sana, muncul satu nama.
Tejas Wisesa is Calling….
Bersambung….