Arif Pradipta, begitu Emak memberiku nama ketika aku terlahir ke dunia. Hidup ku baik-baik saja selama ini, sebelum akhirnya rumah kosong di samping rumah ku di beli dan di huni orang asing yang kini menjadi tetangga baruku.
kedatangan tetangga baru itu menodai pikiran perjakaku yang masih suci. Bisa-bisanya istri tetangga itu begitu mempesona dan membuatku mabuk kepayang.
Bagaimana tidak, jika kalian berusia sepertiku, mungkin hormon nafsu yang tidak bisa terbendung akan di keluarkan paksa melalui jari jemari sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemungkinan
"Maaasss...."
Rifani tidak sampai hati membiarkan suami nya terkapar di bawah sepatu preman-preman itu. Perempuan yang tengah hamil itu akhirnya melanggar perintah suami. Dia membuka pintu dan keluar, berhambur ke arah suaminya.
"Mas...."
"Cantik juga ini cewek. Hehe," ujar salah satu preman.
"Iya, lumayan lah, buat santapan malam kita. Ahhahaha," sambung preman satunya lagi, kemudian di sambut oleh gelak tawa preman-preman yang lainnya.
"Sayang, masuk mobil lagi. Cepat!" Perintah Nata yang tidak juga di indahkan oleh Rifani.
Rifani menghampiri Nata dan mau membantunya berdiri, tapi preman itu lebih dulu menghalanginya.
"Apa yang kalian inginkan?" Perhiasan ini? Ambil. Namun biarkan kami pulang," ujar Rifani sambil mencopoti perhiasan yang dia miliki.
"Kami butuh kamu, Nona. Ahhaha."
Arif sedang berada di depan televisi. Di hadapannya, tiga buah piring yang penuh dengan makanan berjejer.
Setelah lelah menangisi takdir yang telah mempermainkannya tadi, akhirnya dia keluar kamar. Membeli beberapa makanan di pedagang kaki lima yang berjualan di perempatan dekat rumah nya.
Sajak dulu, jika perasaannya tidak menentu, Arif selalu melampiaskannya untuk makan. Baginya, untuk sekadar bersedih pun, kita masih membutuhkan tenaga. Dan makan adalah solusinya.
Setelah makan, Arif masuk ke kamar lagi. Menghampiri gawai yang sejak tadi di cuekinnya. Matanya terbelalak ketika melihat notif panggilan dari Rifani.
"Mbak Rifani sampai menelepon beberapa kali. Kira-kira kenapa ya?"
Jantung Arif rasanya berhenti berdetak ketika mendengar voice note dari Rifani. Dia gegar memakai jaket dan mengeluarkan motor nya.
"Mau ke mana, malam-malam begini, Rif?" tanya Bulek Siti yang merasa aneh dengan sikap anaknya.
"Mbak Rifani dan Mas Nata di begal preman, Mak. Arif harus segera menolong mereka," jawab Arif dengan terburu-buru.
"Astagfirullah." Bulek Siti menutup mulutnya sendiri.
"Mak, aku pamit dulu ya. Doakan anakmu ini bisa menyelamatkan mereka tepat waktu." Arif mencium punggung tangan ibunya dengan terburu-buru.
"Iya Rif, hati-hati, Rif."
Arif sudah keluar dari halaman rumah menuju tempat yang sempat di beri tahukan Rifani melalui voice note tadi. Dia melajukan motor dengan kecepatan penuh. Menyalip beberapa kendaraan di depan nya. Bahkan beberapa kali menerobos lampu merah.
Di tempat yang di tunjukkan tadi, Arif dan Angga sampai dengan berbarengan dari arah yang berlawanan. Saling memandang dan melongo, karena orang yang ingin mereka tolong, sudah tidak ada di sana. Hanya tersisa bekas ban kendaraan beroda empat yang berputar arah.
"Ke mana perginya mereka?" Kalimat yang sama keluar dari dua pemuda itu secara bersamaan.
"Lu tadi juga dapat pesan dari, Mbak Rifani kah, Ngga?" tanya Arif setelah turun dari motor nya.
"Iya, lu juga?"
Arif mengedipkan mata. Dia mencoba menghubungi nomor Nata, tapi nomor itu tidak aktif. Lalu berganti menghubungi Rifani, berdering. Namun hingga beberapa kali panggilan, tidak ada jawaban.
Terakhir, panggilan nya di tolak dan kemudian nomor Rifani ikut-ikutan tidak aktif.
"Kemana mereka? Sepertinya ini kasus penculikan, Rif."
"Hmm iya. Apa yang mesti kita lakukan sekarang? Harus kah kita lapor polisi?"
"Iya, sepertinya kita memang harus lapor."
"Ngga, lu bisa 'kan lapor ke kantor polisi sendirian? Biar gue sambil nyari mereka, siapa tahu belum jauh dari sini."
"Ok."
Mereka berdua memutuskan untuk berpencar, agar pencarian bisa semaksimal mungkin.
Arif menyalakan mesin motornya lalu gegas memulai pencarian. Tidak ada rumah penduduk di sekitar sini. Di sepanjang jalan aspal, hanya di kelilingi oleh pohon berdaun lebat.
"Mbak, kau ada di mana sekarang? Ku mohon jangan membuatku khawatir."
Di sela-sela pencarian, Arif teringat obrolan nya dengan Bambang tadi siang. Dia segera menelepon sahabatnya itu, barangkali bisa mendapatkan informasi darinya.
"Halo, Brow, lu ada di mana? Gue pingin ketemu ma lu."
"Tumben lu nelpon gue duluan? Pasti ada maunya nih? Jangan bilang kalo mau curhat." Suara di seberang, malah mengajak Arif berkelakar.
"Brow, gue lagi serius ini. Gak ada waktu lagi untuk bercanda," tegas Arif.
"Iye... iye, buruan ke sini. Gue lagi di warung kopi dekat rumah sakit sakinah."
Setelah mendapat info lokasi dari Bambang, Arif segera menancap gas. Hanya membutuhkan waktu lima menit, Arif sudah sampai di warung kopi yang di maksud.
"Gimana... gimana brow, ada yang bisa gue bantu?"
"Tentang paman mu tadi siang. Katakan apa hubungan beliau dengan keluarga Mas Nata? Gimana bisa, paman mu tahu jika pasangan itu hendak melakukan perceraian?"
"Oalah, soal itu, toh."
Bambang menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang lain di dekat mereka yang bisa saja mendengar hal apa yang ingin dia sampaikan.
"Jadi, paman saya itu bekerja di sebuah perusahaan yang sama dengan Kak Nata. yang di mana, pemiliknya itu, maaf, seorang penyuka sesama jenis. Lalu katanya, seseorang yang sedang dekat dengan pemilik perusahaan itu adalah Kak Nata, tapi, soal yang ini, jangan di kasih tahukan ke siapa-siapa ya. Janji loh. Soalnya Pak Alex itu menakutkan, bisa saja membunuh gue jika aibnya di umbar ke orang lain."
Mendengar itu, Arif langsung teringat kejadian ketika menggerebek Nata di kamar hotel waktu itu. Arif sempat berpikir jika Nata bermain Api dengan bosnya sendiri. Tidak dengan seorang perempuan.
Ternyata kecurigaannya waktu itu terbukti. Arif mencoba menghubung-hubungkan peristiwa demi peristiwa agar menjadi cerita utuh dan bisa di jadikannya kata kunci untuk mencari Rifani.
Jika ini perampokan, pasti hanya harta benda saja yang mereka incar, tapi ini malah mobil dan orang nya juga menghilang.
Kepindahan Mbak Rifani dan Mas Nata terbilang sangat mendadak, mungkin kah mereka pindah rumah untuk menghindari Pak Alex? Arif menduga-duga.
Suara voice note Rifani kembali di putar olehnya, "Tolong, segera lah ke sini, ada mobil yang membuntuti kami sejak tadi, dan sekarang mereka menghadang jalan kami."
"Dari suara Mbak Rifani yang mengatakan jika mobilnya di buntuti mobil lain, kemungkinan orang itu kenal dengan Mbak Rifani atau Mas Nata. Jika nggak kenal, mana mungkin membuntuti terus? Bisa jadi, bos nya Mas Nata sendiri yang menculik Mas Nata dan Mbak Rifani" Arif berdialog di dalam pikirannya sendiri.
Hingga menemukan satu titik kemungkinan terbesar-Alex yang menculik Rifani dan Nata.
"Tolong anterin gue menemui paman lu. Siapa tahu beliau bisa membantu."
"Kuy."
Melalui bantuan Bambang, Arif bisa bertemu dengan lelaki dewasa yang bernama Adam. Mereka berdua berkenalan ala kadarnya, karena sebelumnya mereka sudah pernah bertemu, ketika di undang makan malam di rumah Nata waktu itu.