Izinkan Mama Kembali

Dokter datang lebih cepat dari perkiraan. Dia memposisikan Naya agar terbaring terlentang dengan kaki sedikit lebih tinggi dari kepala atau dada, diperkirakan sekitar 30 cm. Selain itu dokter melonggarkan pakaian Naya agar tidak terasa sesak.

Dokter memulai pemeriksaan terhadap Naya dengan mengecek pernapasan dan denyut nadi, lalu memberikan rangsangan ringan dengan menepuk pipi dan bahu Naya dengan lembut.

"Bu Naya bangun...bu Naya bisa dengar saya?" ucapnya lembut.

Emmmh....ssssshhhhh

Naya mendesis, perlahan membuka matanya. Kepalanya masih terasa berat.

"Maaas!" panggilnya lirih.

"Iya sayang?" Juan menghampiri kemudian berdiri di samping Naya yang sedang berbaring.

"Apa yang terjadi padaku?" tanyanya dengan suara parau.

"Kamu pingsan. Ini kamu minum dulu ya!" Juan mengambil gelas yang berada di atas nakas.

Sesuai intruksi dokter, Juan membimbing Naya untuk minum air teh manis hangat.

"Gimana dok, apa yang terjadi pada istri saya?" tanya Juan cemas, ia menatap istrinya yang terlihat pucat.

Dokter itu tersenyum, "Dari hasil pemeriksaan sementara sih tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bu Naya baik-baik saja karena ini cenderung terjadi pada wanita yang sudah menikah. Tapi untuk memastikannya saya minta Bu Naya melakukan tes urin."

Dokter memberikan tespack pada Naya untuk pengambilan urin di kamar mandi.

"Tapi kepala saya pusing banget dok," ujar Naya memegang pelipisnya sambil mendesis.

Wanita yang berprofesi sebagai dokter itu hanya tersenyum.

"Ini sudah biasa Bu. Pusing merupakan bagian keluhan bagi ibu-ibu yang sudah menikah dan dinyatakan positip hamil. Untuk memastikan ibu hamil atau tidaknya, silakan melakukan tes urin terlebih dahulu ya, Bu. Silakan pak Juan bantu istrinya ke kamar mandi!" titah dokter.

Juan segera membimbing Naya untuk ke kamar mandi melakukan pengambilan urin.

Naya berjalan dengan memegang kepalanya yang terasa berat.

"Kamu pasti bisa Sayang. Kamu harus kuat ya!" kata Juan lembut sambil memapah tubuh Naya untuk masuk ke kamar mandi.

Setelah selesai Juan membaringkan tubuh Naya kembali ke kasur. Lalu menyerahkan tespack tersebut pada dokter.

Dokter meraih benda tersebut, lalu memulai dengan pemeriksaan terhadap benda tesebut. Terdapat tanda 2 garis biru pada benda tersebut, dokter tersenyum dengan ramah.

"Alhamdulillah ternyata perkiraan saya tepat. Selamat ya Bu Naya dan Pak Juan. Bu Naya hamil. Perkiraan berumur 4 minggu. Tolong jaga kehamilannya. Tidak boleh kelelahan karena mengingat umur Bu Naya yang tidak muda lagi. Terus ingat, jangan banyak pikiran ya! Ini saya akan berikan resepnya."

Dokter mengeluarkan obat penambah darah, vitamin dan penguat rahim.

"Jangan lupa obatnya diminum ya!"

Setelah selesai melakukan pemeriksaan terhadap Naya, dokter tersebut langsung berpamitan.

Juan mengantarnya sampai ke teras, sambil menanyakan beberapa hal berkaitan dengan kehamilan istrinya.

"Terima kasih ya dok!" ujar Juan penuh rasa bahagia.

"Sama-sama Pak Juan. Tolong jaga istri Bapak dengan baik. Kehamilan di trimester pertama ini sangat rawan. Jadi dianjurkan untuk tidak membuatnya banyak pikiran maupun kelelahan. Bu Naya harus banyak istirahat. Permisi Pak, Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam,"

Juan kemudian langsung masuk rumah dengan wajah yang berbinar. Ia tidak bisa menutupi kebahagiaannya bahwa saat ini istrinya sedang hamil. Dia bertekad akan mengikuti anjuran dokter agar memperhatikan istrinya lebih baik lagi.

"Alhamdulillah akhirnya kamu bisa hamil lagi, Sayang. Tuh kan apa kubilang, pergi satu akan tumbuh yang lain. Shaka pergi diganti oleh yang lain sebagai anak kita. Darah daging kita," ujar Juan tanpa menyaring kata-katanya.

Naya hanya bergeming. Ia sedih mendengar penuturan Juan yang begitu senang tidak adanya Shaka di rumah tersebut, Juan mengelus perut Naya dengan lembut.

"Hey kamu kenapa, Sayang? Harusnya kamu bahagia dengan kehamilanmu bukan cemberut begini." protes Juan dengan lembut.

"Aku bahagia dengan kehamilan ini. Aku akan jauh lebih bahagia seandainya Shaka masih ada di sini. Shaka akan sangat bahagia menjadi seorang kakak yang akan mendapatkan seorang adik. Dia sangat ingin mempunyai adik. Tapi sebelum itu terpenuhi ternyata dia harus pergi dari rumah ini," tutur Naya matanya menatap kosong jendela kamarnya, seraya mengusap perutnya yang masih rata.

Juan menghela nafasnya, "Kuharap kita tidak usah merasa menyesal dengan apa yang sudah kita putuskan. Mulai sekarang jaga kandunganmu baik-baik jangan sampai terjadi apa pun dengan calon anak kita, paham!"

Juan beranjak dari tempatnya berdiri, lalu menghampiri pintu kamar. Langkahnya terhenti sambil memegang gagang pintu. Ia berbicara tanpa membalikkan badannya.

"Shaka sudah bahagia bersama papanya. Kau tidak perlu memikirkannya lagi. Akan ada pengganti Shaka yang harus kamu jaga. Ingat itu!"

Jleb

Pedih rasanya ketika ada perintah yang membuatnya terasa sakit hati.

Shaka yang anak kandungnya telah ia abaikan begitu saja. Penyesalan itu selalu datang belakangan. Naya tidak bisa berontak sampai sekarang.

Dia teringat manakala Shaka menangis karena mamanya tidak bisa mengantarnya ke bandara.

Shaka terlihat lebih tegar saat melepas mamanya pergi karena tugas perusahaan yang tidak bisa dia tolak.

"Maafkan mama Shaka. Maafkan mama, sayang,"

Bulir air mata perlahan tumpah membasahi pipinya. Kini ia hanya seorang diri manahan rasa sakit hati yang menyesakkan dada. Tanpa siapa pun yang menemaninya.

Tetiba kram di perut bagian bawah mulai terasa sakit. Tangannya menekan perut bawah yang terasa nyeri. Bulir bening menetes tanpa kendali di pipinya yang mulus.

Aaaarrrrgh