Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.
Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.
Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.
Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.
Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 26 - Pesan Terakhir
“Dengan kondisiku yang seperti ini? Yang bahkan untuk mengambil minum pun sampai terjungkal, kamu berpikir aku mendengar obrolanmu di telepon yang entah dengan siapa itu?”
Aku mengerjap, lalu menggeleng pelan. Tidak menduga reaksi Darius akan seperti ini.
“Apa orang yang kamu telepon itu sangat amat ingin kamu rahasiakan? Sampai-sampai kamu ketakutan jika aku mengetahuinya?” berondongnya lagi.
Kewalahan aku jika harus menanggapi semua rentetan pertanyaan itu dalam satu waktu. Dia tidak memberiku sedikit jeda untuk menjawab.
“Persetan dengan siapa kamu menelepon dan apa yang kamu bicarakan dengannya,” tambah Darius yang tampak belum puas.
Aku tidak tahu mengapa dia harus sampai semarah dan se-tersinggung ini. Padahal aku hanya bertanya, tapi dia reaksinya malah merambat ke mana-mana. Persis seperti api yang melahap kertas tanpa sisa.
“Aku hanya bertanya, itu saja. Jika memang kamu tidak mendengarnya ya sudah,” balasku sembari melanjutkan langkah—kembali mencari kotak P3K.
Dalam hening yang berbalut ketegangan, samar-samar aku mendengar suara Darius yang meringis kesakitan. Aku yang sudah menenteng kotak P3K lantas mendekat padanya.
“Jangan melawan, kamu tidak mungkin melakukannya sendiri dalam kondisi seperti ini, Mas,” ujarku sedikit sewot ketika Darius lagi-lagi memberi penolakan.
Lihat, jalan saja tak mampu—dipaksakan pun akan tersungkur-sungkur. Tapi lagaknya petantang-petenteng seolah bisa melakukan apa saja.
Usai membersihkan dan membalut luka di tangan juga siku milik Darius, aku lanjut membersihkan serpihan beling yang masih tercerai-berai di lantai.
“Kalau butuh sesuatu kamu bisa panggil aku. Tidak perlu sampai memaksakan diri seperti ini, Mas. Karena kamu hanya akan membahayakan dirimu jika tetap nekat memaksakan. Contohnya seperti sekarang ini,” omelku sambil terus menyapu setiap sudut dan jengkal tempat yang memungkinkan masih terselip beling.
“Bahkan jika kamu sedang asik teleponan dengan seseorang?”
Pertanyaan itu sukses membuat dahiku berlipat. “Kamu mengasumsikan apa, sih, Mas? Kamu pikir aku sedang haha-hihi dengan seseorang? Yang mungkin kamu pikir itu kekasihku?”
“Aku tidak bilang begitu,” jawabnya sembari memalingkan wajah.
Melihat tingkahnya yang super aneh itu membuatku harus selalu mengelus dada. “Lantas apa? Kamu bilang sendiri bahwa kita tidak usah mencampuri urusan pribadi masing-masing, tapi sikapmu yang sekarang ini seolah-olah bertolak belakang dengan apa yang kamu ucapkan itu.”
Kudengar kekehan sebal yang dikeluarkan Darius, dia menatapku tidak senang. “Kamu sadar tidak, Soraya? Sikapmu yang sekarang ini juga bertolak belakang. Kamu selalu sok perhatian, selalu melakukan ini itu bahkan tanpa aku minta. Bukankah itu sama saja?”
Kepalaku geleng-geleng tidak percaya. “Mas, bagiku itu sikap yang wajar. Setidaknya itu sikap dasar pada sesama manusia. Andaikan kita tidak menikah, aku juga tetap tidak mungkin membiarkan seseorang yang sedang terluka begitu saja. Terlebih jika situasinya seperti kamu.”
“Yang aneh dan bertolak belakang seperti yang kamu maksud, jika aku mengorek informasi pribadimu. Apa aku pernah bertanya siapa sebenarnya perempuan yang kamu cintai? Atau mungkin marah jika kamu terlalu sibuk dengan gawaimu?”
Ketika aku bercerocos panjang lebar seperti itu, Darius tampak termenung. Entah karena ucapanku terlalu menohok atau memang perkataanku berhasil memancingnya untuk berpikir pada suatu hal yang lebih dalam.
Apapun itu, aku tidak peduli. Karena selepas membereskan kekacauan yang dibuatnya, aku memilih melipir ke sofa. Berpikir untuk istirahat di sana.
Sebelum benar-benar merebahkan badan, aku berkata sesuatu, “Jika kamu merasa tidak senang karena aku terlalu bersikap ikut campur dan sok perhatian seperti katamu tadi, maka mulai sekarang aku tidak akan melakukannya lagi.”
“... Kita hanya perlu menjalani kehidupan pribadi masing-masing dan pulang ke rumah yang sama. Itu kan yang kamu mau, Mas?”
Tidak ada jawaban, dan akh tidak membutuhkannya juga. Detik selanjutnya aku langsung membaringkan tubuh, meringkuk di atas sofa yang membuatku tak leluasa untuk bergerak.
Biasanya kami tidur satu ranjang, saling membelakangi. Sekarang, setelah dia mengatakan hal itu, aku bahkan merasa terlalu salah jika harus berbagi tempat tidur dengannya.
***
Di pagi harinya, aku memutuskan bangun lebih awal. Kulihat Darius masih terlelap, terlalu segan untuk mengecek apakah suhu badannya sudah menurun atau belum.
Jadi kuputuskan, sesuai dengan apa yang kubicarakan tadi malam, maka kami akan hidup masing-masing. Sehingga pagi ini aku tak perlu repot harus memikirkan menu masakan, sementara aku bisa makan di luar.
Karena hari ini aku akan mengunjungi sebuah tempat: Galeri Lukis. Yap, tempat itu menjadi salah satu tempat yang sempat dikunjungi Soraya sebelum terjadi kecelakaan.
“Emmhhh.” Erang Darius persis ketika aku ingin membuka pintu.
Aku menoleh sekejap, dia hanya menggeliat dengan mata yang masih terpejam. Lantas tanpa membuang waktu, aku pun bergegas keluar.
Aku memutuskan untuk naik kereta bawah tanah menuju bagian kota yang tak pernah benar-benar kusentuh sebelumnya—daerah yang menjadi saksi bisu saat Soraya yang sering mampir ke Galeri lukis.
Informasinya tertulis dalam potongan kalimat dalam buku usang. Keterangannya di sana Soraya dengan pria berinisial D sedang membicarakan keputusan besar.
“Mungkin Dipta?” Aku sebetulnya tak ragu, mengingat galeri lukis tersebut memang pernah dikunjungi oleh mereka berdua.
Lagi pula, setelah mendengar cerita Dipta semalam, sepertinya untuk pasangan pura-pura—Darius dan Soraya, mana mungkin mereka menjalani aktivitas semacam itu.
Dalam perjalanan yang membutuhkan waktu 30 menit, akhirnya aku tiba di tujuan. Galeri Lukis itu kecil dan tersembunyi di antara deretan toko keramik juga studio lukis.
Saat aku masuk, aroma cat dan kayu tua menyambutku. Seorang wanita paruh baya dengan rambut digelung rapi menoleh dari balik meja resepsionis. Namanya Bu Manda, pemilik galeri.
“Aku ... Nerissa. Adik mendiang Soraya,” kataku sambil menunduk sopan.
Tatapan Bu Manda berubah seketika, sedikit mengeras. Tapi tak lama, ia menarik napas dalam dan mengangguk, seolah menyimpan sesuatu yang selama ini ingin ia ucapkan.
“Sudah lama sekali rasanya. Kabar kepergian Soraya masih membuatku merasa terpukul,” gumamnya pelan, lalu memberi isyarat agar aku duduk.
Kami berbincang, aku sempat tidak menyangka jika Soraya begitu akrab dengan pemilik Galeri ini. Awalnya ia hanya bicara soal pekerjaan Soraya—sebagai model, Bu Manda bahkan sering mengoleksi majalahnya.
Namun saat aku menyebutkan keingintahuanku tentang kehidupan pribadi Soraya, raut wajahnya berubah. Aku berkata jujur, bahwa sebagai seorang adiknya pun aku tak merasa memiliki pengetahuan tentang itu.
“Soraya bukan orang yang mudah ditebak,” katanya. “Tapi ada satu orang yang sering menemuinya di sini. Laki-laki muda, berkemeja rapi, belakangan ini, tepatnya sebelum kabar Soraya yang terlibat kecelakaan, dia tampak … gelisah setiap datang.”
Aku menahan napas. “Apa Bu Manda ingat namanya?”
“Tidak pernah menyebutkan nama. Karena pertemuannya dengan laki-laki itu selalu dibuat secara private, hanya mereka saja yang tahu. Mereka sering bicara di ruangan belakang. Terkadang ... terdengar suara debat pelan.”
Lalu ia memberiku sesuatu—salinan catatan kunjungan galeri yang disimpan untuk keperluan internal. Dan di sana … satu nama muncul berkali-kali: hanya berinisial D.
Tanggal-tanggalnya hampir selalu berdekatan dengan hari-hari Soraya terlihat murung, aku mengasumsikannya melalui tanggal di catatan buku usang dan catatan digitalnya.
Sebelum aku pulang, Bu Manda berkata pelan, “Aku tak tahu siapa laki-laki itu. Tapi Soraya pernah bilang, ‘Jika sesuatu terjadi padaku, dia pasti tahu alasannya.’”
Itu kata-kata terakhir yang membuat kulitku merinding.
Aku keluar dari galeri dengan napas sesak, catatan kunjungan di tangan dan pesan terakhir yang membuatku terngiang-ngiang. Semua ini merujuk pada Dipta, bagaimanapun juga aku harus menghubunginya kembali.
***