NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:7.5k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat ketika mendekati acara pernikahan akan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 30 - Konsekuensi

Suasana hening untuk beberapa saat, Darius belum juga menjawab. Dia memilih menyeret pandangan, tak lagi menatap sang ibu.

Aku menarik napas pelan-pelan. Ruangan ber-ac ini, yang seharusnya dingin, justru terasa lebih pengap dan panas. Aku yang sejak datang ke sini belum mengatakan sepatah katapun, merasa mulai tak nyaman—menyesali keinginanku yang memilih setuju untuk ikut.

“Siapa perempuan itu, Darius?” Pertanyaan tersebut dilontarkan kembali oleh Bu Mariana.

“Katakan pada ibu, siapa perempuan itu?!” Bu Mariana yang tak tahan lagi langsung berderap terburu-buru, ke arah Darius.

Menyenggol tubuhku, menggeser posisiku agar dia bisa berhadapan—memegangi kerah Darius sambil mendesak menggunakan pertanyaan yang sama.

“Kalau kamu memang mencintai perempuan lain, coba katakan sekarang. Sebut namanya, Darius. Beritahu, Ibu!”

Tapi sekalipun Darius tak mencoba untuk berbicara. Dia justru termangu di tempat dengan pandangan yang berusaha dialihkan ke manapun, asalkan tidak mendarat pada wajah ibunya.

Hingga suara tawaan meremehkan yang dikeluarkan Bu Mariana terdengar, Darius meliriknya.

“Kamu tahu berapa umurmu, Darius? Kadang ibu meragukanmu, kamu ini normal, kan? Atau justru apa yang kamu katakan tadi hanyalah untuk tameng penolakanmu saja?” cerocos Bu Mariana lagi dalam satu tarikan napas.

Aku menelan ludah, atmosfer di sini benar-benar berubah. Diam-diam kupandangi Pak Pram yang masih terbaring tak sadarkan diri di bangsal, matanya yang terpejam tidak menunjukkan raut teduh sama sekali—mungkin tahu bahwa perseteruan tengah terjadi di sini.

“Diammu ini akan Ibu anggap bahwa kamu setuju dengan rencana Ibu tadi. Bercerai dengan Soraya dan menikahi Aurelia,” tandas Bu Mariana.

Entah karena merasa terancam, Darius memegang kedua tangan ibunya yang masih berada di kerah. Menurunkannya secara perlahan, lalu saling memandang dengan tatapan yang tak berbalut kasih sayang sama sekali.

Darius menatap ibunya lama, rahangnya mengeras. “Bu, kalau ini permainan yang sudah Ibu rancang dari awal, kenapa tidak sekalian saja langsung bawa pengacara untuk menceraikan kami?”

Suara Darius tajam, dingin. Kutatap perempuan muda yang dikenalkan tadi, Aurelia, tampak kikuk, berdiri di antara kami dengan senyum gugup yang mulai memudar.

Ibunya berjalan lebih dekat pada Darius, kepalanya mendongak. “Jangan bicara seperti itu. Ibu hanya ingin kamu hidup lebih baik, Darius.”

Pandangannya berpindah padaku, dia mengunciku dengan kebencian. “Kamu tahu sendiri perempuan ini tak bisa memberikan apa pun padamu. Tidak anak. Tidak kehormatan. Bahkan tidak nama baik untuk keluargamu.”

Aku membasahi bibir yang kering, sesaat tenggorokanku terasa pahit.

“Kariernya sudah hancur! Dia tidak memiliki apapun yang bisa dibanggakan. Publik tidak akan tahu siapa dia, Darius. Kenapa kamu repot mempertahankan?” tambah Bu Mariana.

Karena merasa aku semakin disudutkan oleh perkataannya yang merugikan itu, aku pun mulai bersuara. “Nama baik?” tanyaku menyela obrolan.

Kini tatapan mereka berpindah, tertuju padaku. Termasuk Darius.

Nada suaraku nyaris bergetar. “Bukankah kalian sendiri yang menodai nama itu dengan memperlakukan anak kalian seperti pion permainan?”

Sedetik usai mengatakannya, Bu Mariana langsung melayangkan tatapan tajam. “Kamu pikir kamu siapa bicara seperti itu padaku di rumah sakit tempat suamiku terbaring tak sadarkan diri?”

“Aku menantu anda, Bu Mariana. Menantu yang dipaksa untuk ada di sini,” jawabku tenang, meski jantungku berdentam keras.

“... Apa mungkin karena sejak awal anda tak pernah menganggapku bagian dari keluarga ini, sehingga sekarang, aku dibuang begitu saja? Jika Aurelia, perempuan yang anda bawa sekarang ke sini tidak cukup memenuhi ekspektasi anda lagi, lantas perlu berapa kali lagi Darius harus menikah?”

Aku tidak tahu mengapa kalimat itu bisa keluar saja dari mulutku tanpa belibet sama sekali. Dan sekarang tanganku gemetaran, entah yang kulakukan ini sudah benar atau justru semakin memperkeruh suasana.

Di belakang sana, Aurelia mencoba menenangkan suasana. “Mungkin sebaiknya kita bicarakan ini lain waktu—”

“Tidak,” potong Darius cepat. “Sekarang saja. Supaya semuanya jelas.”

Lalu Bu Mariana kembali menyambar, “Kamu berubah, Darius. Sejak kecelakaan itu, kamu jadi … keras kepala. Buta. Padahal dulu kamu selalu mendengar nasihatku.”

Sambil memasang wajah datar, Darius menjawab, “Mungkin karena dulu aku kehilangan kendali atas hidupku, Bu. Sekarang, aku sedang mencarinya kembali.”

Bu Mariana tertawa, sekilas menatapku sinis. “Apa kamu yakin itu karena ‘mencari kendali’? Atau karena wanita ini membisikimu hal-hal yang membuatmu membenci ibumu sendiri?”

Aku memejamkan mata. Nafasku sesak. Ingin rasanya aku pergi dari ruangan ini, tapi kakiku tak bergerak. Seakan tubuhku ingin tetap bertahan, ingin membuktikan sesuatu.

Ucapanku sebelumnya tak ditanggapi, Bu Mariana lebih senang berputar-putar dalam pembahasan yang melibatkan Darius untuk bicara—karena aku tahu, Darius yang akan ikut andil dalam rencana yang sudah disusunnya itu.

“Jangan hina dia, Bu!” Suara Darius rendah namun penuh tekanan, sukses membuatku syok beberapa detik.

“Dia tidak pernah membisikiku apa pun. Tapi Ibu sendiri yang membuatku perlahan sadar. Sadar bahwa semua ini hanya tentang kehendak Ibu dan juga Ayah, bukan tentang kebahagiaan kami!” tandas Darius.

Bu Mariana tertawa sinis, tidak mau kalah. “Kalau memang itu pilihanmu, jangan menyesal ketika segalanya hancur.”

“Biarlah,” Darius membalas tajam, “Asal hancurnya bukan karena aku menuruti Ibu terus-menerus.”

Suasana kembali membeku. Hanya suara alat pemantau detak jantung di sisi tempat tidur ayahnya yang terdengar. Detak monoton yang seperti mengingatkan bahwa seseorang di sini tengah berjuang hidup—sementara yang lainnya sibuk bertarung satu sama lain.

Aku menatap Darius. Matanya merah, mungkin bukan karena marah, tapi kecewa. Lelaki itu sedang berdiri di antara dua jurang: keluarganya dan pilihannya sendiri.

Dan aku tahu, sebesar apa pun dia mencoba menahan semuanya, luka itu akan tetap terbuka.

Karena kadang, yang paling menyakitkan bukan kata-kata yang diucapkan. Tapi siapa yang mengucapkannya.

“Mas,” bisikku sembari menggandeng tangan Darius. “Bagaimana kalau kita pulang dulu saja? Kulihat kamu juga belum terlalu sehat, kita bisa bicarakan ini lain kali.”

Alih-alih Darius yang menyahut, justru Bu Mariana yang menyerobot. Dia bahkan dengan kasar meleraiku dari tangan Darius, seakan menunjukkan bahwa antara kami—yang tahu bahwa ini semua adalah rekayasa semata, seharusnya tak perlu bersikap demikian.

“Jangan berlagak seperti itu. Ibu tahu, kalian tidak saling mencintai kan? Jujur saja, jika bukan karena kesepakatan itu, kalian tidak akan kunikahkan!” katanya dengan kasar.

Kali ini Darius yang menggandengku, membuat Bu Mariana melongo tak percaya. Dan aku pun sama kagetnya.

“Ibu yang menjebak kami dalam situasi ini, maka jangan salahkan kami atas konsekuensinya—apabila kukatakan bahwa aku mencintai Soraya.”

Dua kali aku dibuat kaget. Tapi seperkian detik aku langsung terpikir, bahwa mungkin apa yang dikatakan Darius barusan adalah sebuah alasan untuk melarikan diri—karena saat ini dia menuntunku pergi menuju pintu keluar.

***

1
范妮
Hai, nona bulan
aku mampir ..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!