Dunia ini bernama Loka Pralaya, satu dunia di antara banyak dunia lain di alam semesta ini, sebuah tempat penuh misteri. Di tempat ini, desiran anginnya adalah nafas yang memberi kehidupan bagi penghuninya. Energinya berasal dari beragam emosi dan perasaan segenap makhluk yang ada di dalamnya. Keharmonisan yang mengikat alam ini, mengabadikan keberadaanya di antara banyak dunia lain di alam semesta. Senyum ramah adalah energi yang membangun, menumbuhkan benih-benih yang di tanam di tanahnya, kebaikan kecil yang dilakukan akan memberi dampak besar bagi kelangsungan dunia ini. Pepohonannya adalah mata dan telinga bagi segala peristiwa yang berlangsung di dalamnya. Batu-batu yang berserakan di pantai, menjadi penyimpan memori abadi bagi kejadian-kejadian penting yang terjadi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Legenda
Sementara itu, di Gubuk Manah...
Disela-sela kesibukannya sebagai tetua klan, Nyi Lirah masih menyempatkan dirinya untuk terus membantu Prita dalam mengembangkan segala potensi yang ada di dalam dirinya. Terutama mengingat di dalam tubuhnya telah tertanam sebuah energi yang besar yang berasal dari Tana’ Bulan.
Sebagai tetua klan, dirinya sangat yakin bahwa tidaklah mungkin energi sebesar itu tanpa alasan diberikan begitu saja kepada seseorang. Namun untuk dapat mengungkap kebenaran dari setiap hal besar, adalah bukan perkara yang ringan, dan ia sangat sadar tentang hal itu.
Dan hari itu, saat semua kesibukan formal yang harus dilakukan sudah mulai senggang, Nyi Lirah sengaja memanggil Prita.
“Wulan,..” kata Nyi Lirah, “tolong kamu panggilkan Prita ke ruang perpustakaan, aku akan menunggu di sana.”
“Baik Nyi Lirah,” jawab Wulan
Tak menunggu lama, Wulan beranjak dari ruang utama Gubuk Manah, ia berjalan beberapa lorong yang lumayan panjang di dalam bangunan itu, menuju kamar Prita.
Sementara Nyi Lirah, dengan langkahnya yang mulai lemah dan membungkuk, ia berdiri dari tempat duduknya bertelekan kepada tongkatnya, dan berjalan menuju ke ruang perpustakaan yang letaknya tidak jauh dari ruang serambi itu.
Ruang perpustakaan Gubuk Manah memiliki ruangan yang cukup besar, koleksi buku-buku dan kitab lama tersimpan rapi di sana, namun tidak banyak orang yang bisa masuk ke sana, kecuali harus meminta ijin dulu dari Nyi Lirah atau seseorang yang mejadi kepercayaannya.
Ada satu orang yang bertugas menjaga perpustakaan itu, seorang wanita tua, usianya hampir sama dengan Nyi Lirah, ketika melihat Nyi Lirah datang ke tempat itu, wanita tadi segera membungkuk hormat dan melayaninya dengan sangat baik.
“Silakan masuk Nyi...” kata wanita tua itu
“Terimaksih, Reida, “ jawab Nyi Lirah.
Reida adalah wanita tangguh, di balik penampilannya yang kelihatan rapuh, ia juga memiliki kesaktian dan kekuatan yang hampir sebanding dengan Nyi Lirah. Dirinya sudah lama menjadi penjaga perpustakaan Gubuk Manah, dan selama itu pula ia sangat mengenal baik karakter maupun sifat Nyi Lirah, demikian juga sebaliknya, Nyi Lirah sangat memahami apa yang menjadi kesukaan dan kebiasaan Reida.
Nyi Lirah mengambil sebuah tempat yang berada di sudut ruangan itu, di temani Reida yang dengan sabar mengiringinya, ia duduk di sebuah bangku kayu yang agak panjang dan di depannya ada sebuah meja yang cukup untuk sekedar membaca buku. Di belakangnya berjajar rak-rak buku yang besar dan tingginya sampai menyentuh langit-langit ruangan itu.
“Reida, “ kata Nyi Lirah, “aku rasa sudah waktunya kita memberi tahukan hal yang semestinya diketahui kepada gadis itu.”
“Maksudmu, Prita?” tanya Reida.
“Iya, maksudku dia,” jawab Nyi Lirah, “akhir-akhir ini aku sering bermimpi bertemu dengan Tana’ Bulan. Dan hampir setiap malam ada satu pesan yang selalu ia ucapkan kepadaku.”
Nyi Lirah terdiam sejenak, ia mencoba mengingat kembali mimpi-mimpinya bersama Tana’ Bulan. Sedangkan Reida, ia mendengarkan semua ucapan Nyi Lirah dengan sabar.
“Dan salah satu pesan Tana’ Bulan yang membuatku merenung adalah ketika dia mengatakan, bahwa sudah waktunya kita bertemu dengan Bajareng Naso.” Kata Nyi Lirah menceritakan mimpinya.
Reida agak terkejut mendengar Nyi Lirah menyebut nama itu.
“Bajareng Naso?” tanya Reida. “Tapi, bukankah ia hanya ada di dalam cerita legenda, Nyi Lirah?”
“Iya kamu benar Reida, tapi memang di situlah masalahnya, karena pesan itu datang dari Tana’ Bulan, sehingga kemungkinan besar Bajareng Naso, bukanlah sekedar cerita legenda.”
Reida berusaha memahami ucapan Nyi Lirah, ia terdiam cukup lama, pikirannya menerawang jauh, mengingat-ingat apa saja yang berhubungan dengan legenda Bajareng Naso.
“Nyi Lirah, setahuku ada satu buku yang menulis tentang legenda itu,” kata Reida, “aku sudah pernah membacanya,” Reida terdiam sejenak, “ dan aku pikir barangkali kita bisa melihatnya lagi, ... barangkali ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.”
Nyi Lirah memandang Reida dengan sorot mata berbinar, di balik kerutan yang ada di wajahnya yang menua, nampak sinar harapan muncul di sana.
“Kamu benar Reida,” jawab Nyi Lirah, “barangkali ada petunjuk di dalam buku itu.”
Kemudian Nyi Lirah meminta bantuan Reida untuk mencarikan buku itu. Reida segera beranjak dari tempat itu, ia menuju ke sudut ruangan. Di sana, di depan rak-rak buku yang menjulang tinggi ada sebuah tangga yang terparkir, kemudian ia menggesernya. Dengan hati-hati Reida menaiki tangga itu, hingga sampai pada rak buku paling atas. Setelah beberapa lama mencari, tak butuh waktu lama bagi Reida untuk menemukan buku itu, sebab dia sudah hapal letaknya. Dengan hati-hati ia mengambil buku itu kemudian membawanya kepada Nyi Lirah.
Sambil menepuk-nepuk sampul buku yang sedikit berdebu itu, Reida berjalan ke arah Nyi Lirah.
“Inilah buku yang aku maksud Nyi.” Kata Reida sambil memberikan buku itu.
Nyi Lirah menerima buku itu, kemudian segera saja ia buka dan baca isi buku itu. Nampaknya butuh waktu lama bagi Nyi Lirah untuk menemukan apa yang ia cari, dengan sabar ia membalik halaman demi halaman.
Reida membiarkan tetuanya sibuk dengan buku itu, ia hanya diam menunggu dan tak ada niat untuk mengganggunya. Dilihatnya Nyi Lirah semakin tenggelam menyelami isi buku itu dari halaman satu ke halaman yang lain. Begitu mendalamnya ia membaca buku itu, hingga akhirnya mereka dikejutkan oleh suara langkah kaki.
Nyi Lirah memandang ke arah Reida, nampaknya ia memberi isyarat agar melihat siapa yang datang, sedangkan dirinya masih meneruskan bacaannya. Reida bergegas ke arah pintu, dari lorong ruang itu terlihat Prita dan Wulan sedang menuju ke arah perpustakaan. Tak lama kemudian sampailah mereka di situ.
“Selamat Pagi Reida, “ sapa Wulan bersamaan dengan Prita.
“Pagi Wulan, Prita.” Jawab Reida dengan senyumnya yang hangat, “Nyi Lirah ada di dalam”
“Terimakasih Reida, kami memang datang untuk menemuinya.” Kata Wulan
Reida hanya mengangguk mendengar ucapan Wulan, kemudian mereka berdua berjalan ke arah Nyi Lirah. Reida mengikuti keduanya berjalan di belakang.
Melihat Nyi Lirah tengah asik membaca, baik Wulan maupun Reida, tak berani memanggilnya, mereka saling pandang memberi isyarat agar tidak mengganggu ketenangan Nyi Lirah. Namun ketika melihat mereka terdiam di tempatnya, Nyi Lirah segera menutup buku itu, dengan senyum ramahnya, dipandanginya ketiga orang itu.
“Selamat pagi Nyi lirah.” Sapa Prita dan Wulan
“Selamat pagi,” jawab Nyi Lirah,.... “mari,.. kita duduk di sini, ada banyak hal yang akan kita bicarakan pagi ini.”
Prita dan Wulan akhirnya duduk di bangku yang berhadapan dengan Nyi Lirah, di tengah mereka ada sebuah meja panjang tempat baca atau sekedar minum.
Suasana pagi itu begitu hening, ruang perpustakaan yang luas itu, memiliki banyak jendela yang terbuka, dan di samping bangunan itu, ada taman dengan berbagai tanaman dan bunga indah.
Angin semilir perlahan memasuki ruangan mereka, Prita sempat terhanyut mencium aroma bunga yang berasal dari taman itu, demikian pula Wulan, dan tepat sekali Nyi Lirah memanggil mereka ke tempat itu, sebab mereka akan membicarakan banyak hal yang pastinya butuh ketenangan dan suasana yang nyaman.