NovelToon NovelToon
Loka Pralaya: The Begining

Loka Pralaya: The Begining

Status: tamat
Genre:Tamat / Matabatin / Dunia Lain / Perperangan / Pusaka Ajaib
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Margiyono

Prita dihantui mimpi-mimpi samar tentang sosok misterius dan sosok asing bernama Tana' Bulan. Di tengah kesehariannya yang tenang di Loka Pralaya bersama sahabat-sahabatnya, Wulan dan Reida, serta bimbingan bijak dari Nyi Lirah, mimpi-mimpi itu terasa lebih dari sekadar bunga tidur.

Sebuah buku kuno berkulit, Bajareng Naso, menjadi kunci misteri ini. Ditulis oleh Antaboga, legenda di dalamnya menyimpan jejak masa lalu Prita yang hilang—ingatan yang terkubur akibat pengembaraannya melintasi berbagai dunia. Nyi Lirah yakin, memahami legenda Bajareng Naso adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepingan-kepingan memori Prita yang berserakan.

Namun, pencarian kebenaran ini tidaklah mudah.

Akankah Prita berhasil memecahkan misteri mimpinya dan memulihkan ingatannya yang hilang? Siapakah tamu tak diundang itu, dan apa hubungannya dengan rahasia yang dijaga oleh Luh Gandaru?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cerita Legenda

Sementara itu, di Gubuk Manah…

Di sela-sela kesibukannya sebagai tetua klan, Nyi Lirah masih menyempatkan diri untuk terus membantuku mengembangkan segala potensi yang ada di dalam diriku. Terutama mengingat di dalam tubuhku telah tertanam sebuah energi besar yang berasal dari Tana’ Bulan.

Sebagai tetua klan, beliau sangat yakin bahwa energi sebesar itu tidak mungkin diberikan begitu saja tanpa alasan kepada seseorang. Namun, untuk dapat mengungkap kebenaran dari setiap hal besar bukanlah perkara yang ringan, dan beliau sangat menyadari hal itu.

Dan hari itu, saat semua kesibukan formal yang harus dilakukan sudah mulai senggang, Nyi Lirah sengaja memanggilku.

“Wulan,…” kata Nyi Lirah kepada Wulan yang sedang berada di dekatnya, “tolong kamu panggilkan Prita ke ruang perpustakaan, aku akan menunggu di sana.”

“Baik, Nyi Lirah,” jawab Wulan patuh. Tak menunggu lama, Wulan beranjak dari ruang utama Gubuk Manah, ia berjalan menyusuri beberapa lorong yang lumayan panjang di dalam bangunan itu, menuju kamarku.

Sementara itu, Nyi Lirah, dengan langkahnya yang mulai lemah dan membungkuk, berdiri dari tempat duduknya sambil bertelekan pada tongkatnya, dan berjalan menuju ruang perpustakaan yang letaknya tidak jauh dari ruang serambi itu.

Ruang perpustakaan Gubuk Manah memiliki ruangan yang cukup besar. Koleksi buku-buku dan kitab-kitab lama tersimpan rapi di sana. Namun, tidak banyak orang yang bisa masuk ke sana, kecuali harus meminta izin dulu dari Nyi Lirah atau seseorang yang menjadi kepercayaannya.

Ada satu orang yang bertugas menjaga perpustakaan itu, seorang wanita tua yang usianya hampir sama dengan Nyi Lirah. Ketika melihat Nyi Lirah datang ke tempat itu, wanita tadi segera membungkuk hormat dan melayaninya dengan sangat baik.

“Silakan masuk, Nyi…” kata wanita tua itu dengan ramah.

“Terima kasih, Reida,” jawab Nyi Lirah dengan senyum lembut.

Reida adalah wanita tangguh. Di balik penampilannya yang kelihatan rapuh, ia juga memiliki kesaktian dan kekuatan yang hampir sebanding dengan Nyi Lirah. Dirinya sudah lama menjadi penjaga perpustakaan Gubuk Manah, dan selama itu pula ia sangat mengenal baik karakter maupun sifat Nyi Lirah. Demikian juga sebaliknya, Nyi Lirah sangat memahami apa yang menjadi kesukaan dan kebiasaan Reida.

Nyi Lirah mengambil tempat duduk di sudut ruangan itu, ditemani Reida yang dengan sabar mengiringinya. Beliau duduk di sebuah bangku kayu yang agak panjang, dan di depannya ada sebuah meja yang cukup untuk sekadar membaca buku. Di belakangnya berjajar rak-rak buku yang besar dan tingginya sampai menyentuh langit-langit ruangan itu.

“Reida,” kata Nyi Lirah dengan suara pelan namun jelas, “aku rasa sudah waktunya kita memberitahukan hal yang semestinya diketahui kepada gadis itu.”

“Maksudmu, Prita?” tanya Reida memastikan.

“Iya, maksudku dia,” jawab Nyi Lirah, “akhir-akhir ini aku sering bermimpi bertemu dengan Tana’ Bulan. Dan hampir setiap malam ada satu pesan yang selalu ia ucapkan kepadaku.” Nyi Lirah terdiam sejenak, mencoba mengingat kembali mimpi-mimpinya bersama Tana’ Bulan. Sedangkan Reida, ia mendengarkan semua ucapan Nyi Lirah dengan sabar dan penuh perhatian.

“Dan salah satu pesan Tana’ Bulan yang membuatku merenung adalah ketika dia mengatakan, bahwa sudah waktunya kita bertemu dengan Bajareng Naso,” kata Nyi Lirah menceritakan mimpinya dengan nada serius.

Reida agak terkejut mendengar Nyi Lirah menyebut nama itu. “Bajareng Naso?” tanyanya dengan kerutan di dahi. “Tapi, bukankah ia hanya ada di dalam cerita legenda, Nyi Lirah?”

“Iya, kamu benar, Reida, tapi memang di situlah masalahnya. Karena pesan itu datang dari Tana’ Bulan, sehingga kemungkinan besar Bajareng Naso bukanlah sekadar cerita legenda,” jawab Nyi Lirah dengan tatapan jauh.

Reida berusaha memahami ucapan Nyi Lirah. Ia terdiam cukup lama, pikirannya menerawang jauh, mengingat-ingat apa saja yang berhubungan dengan legenda Bajareng Naso yang pernah didengarnya.

“Nyi Lirah, setahuku ada satu buku yang menulis tentang legenda itu,” kata Reida setelah beberapa saat terdiam, “aku sudah pernah membacanya,” Reida terdiam sejenak, “dan aku pikir barangkali kita bisa melihatnya lagi… barangkali ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.”

Nyi Lirah memandang Reida dengan sorot mata berbinar. Di balik kerutan yang ada di wajahnya yang menua, tampak sinar harapan muncul di sana. “Kamu benar, Reida,” jawab Nyi Lirah dengan nada antusias, “barangkali ada petunjuk di dalam buku itu.” Kemudian Nyi Lirah meminta bantuan Reida untuk mencarikan buku itu.

Reida segera beranjak dari tempat itu dan menuju ke sudut ruangan. Di sana, di depan rak-rak buku yang menjulang tinggi, ada sebuah tangga yang terparkir. Kemudian ia menggesernya. Dengan hati-hati, Reida menaiki tangga itu hingga sampai pada rak buku paling atas.

Setelah beberapa lama mencari, tak butuh waktu lama bagi Reida untuk menemukan buku itu, sebab dia sudah hafal letaknya. Dengan hati-hati, ia mengambil buku itu kemudian membawanya kepada Nyi Lirah.

Sambil menepuk-nepuk sampul buku yang sedikit berdebu itu, Reida berjalan ke arah Nyi Lirah. “Inilah buku yang aku maksud, Nyi,” kata Reida sambil memberikan buku itu.

Nyi Lirah menerima buku itu, kemudian segera saja ia buka dan membaca isinya. Tampaknya butuh waktu lama bagi Nyi Lirah untuk menemukan apa yang ia cari. Dengan sabar, ia membalik halaman demi halaman.

Reida membiarkan tetuanya sibuk dengan buku itu. Ia hanya diam menunggu dan tak ada niat untuk mengganggunya. Dilihatnya Nyi Lirah semakin tenggelam menyelami isi buku itu dari halaman satu ke halaman yang lain. Begitu mendalamnya beliau membaca buku itu, hingga akhirnya mereka dikejutkan oleh suara langkah kaki.

Nyi Lirah memandang ke arah Reida, nampaknya beliau memberi isyarat agar melihat siapa yang datang, sedangkan dirinya masih meneruskan bacaannya. Reida bergegas ke arah pintu. Dari lorong ruang itu terlihat aku dan Wulan sedang menuju ke arah perpustakaan. Tak lama kemudian sampailah kami di situ.

“Selamat pagi, Reida,” sapa Wulan ramah, bersamaan denganku.

“Pagi, Wulan, Prita,” jawab Reida dengan senyum hangatnya. “Nyi Lirah ada di dalam.”

“Terima kasih, Reida, kami memang datang untuk menemuinya,” kata Wulan sopan.

Reida hanya mengangguk mendengar ucapan Wulan, kemudian kami berdua berjalan ke arah Nyi Lirah. Reida mengikuti kami berdua dari belakang.

Melihat Nyi Lirah tengah asyik membaca, baik Wulan maupun aku tak berani memanggilnya. Kami saling pandang, memberi isyarat agar tidak mengganggu ketenangan Nyi Lirah. Namun, ketika melihat kami terdiam di tempat kami berdiri, Nyi Lirah segera menutup buku itu. Dengan senyum ramahnya, beliau memandangi kami bertiga.

“Selamat pagi, Nyi Lirah,” sapa Wulan dan aku bersamaan.

“Selamat pagi,” jawab Nyi Lirah dengan nada lembut. “Mari… kita duduk di sini. Ada banyak hal yang akan kita bicarakan pagi ini.”

Wulan dan aku akhirnya duduk di bangku yang berhadapan dengan Nyi Lirah. Di tengah kami ada sebuah meja panjang, tempat membaca atau sekadar minum. Suasana pagi itu begitu hening. Ruang perpustakaan yang luas itu memiliki banyak jendela yang terbuka, dan di samping bangunan itu ada taman dengan berbagai tanaman dan bunga indah.

Angin semilir perlahan memasuki ruangan kami. Aku sempat terhanyut mencium aroma bunga yang berasal dari taman itu. Demikian pula Wulan. Dan tepat sekali Nyi Lirah memanggil kami ke tempat itu, sebab kami akan membicarakan banyak hal yang pastinya butuh ketenangan dan suasana yang nyaman.

1
Abu Yub
lanjut thor semangat/Pray/
Abu Yub
lanjut thor
Abu Yub
lanjut
Selvy
Semangat
Abu Yub
Aku mampir lagi thor/Pray//Ok//Good/
Abu Yub
terimakasih
Abu Yub
carla dan vyn
Abu Yub
nyi
Abu Yub
lanjut/Pray/
Abu Yub
aku mampir thor. jng lupa mampir juga novel aku
Margiyono: ok otw ...
total 1 replies
Abu Yub
berempat
Abu Yub
Aneh
Abu Yub
tiba tiba
Hye Kyoe
Halo aku mampir nih....🤩
Margiyono: thaks..kak..
/Drool//Pray/
total 1 replies
liynne~
semangat, and done ya/Chuckle/
Dewi Ular🐍💆🏻‍♀️
Prita? Nama yang indah/Drool/
Margiyono: he.he.. trmksh kak.. padahal aslinya itu polypropilen.. loka pralaya itu asli ada di dunia nyata.. cuma seting karakter dan tokohnya saja.. alurnya sama dg yg di dunia nyata
total 1 replies
Andressa Maximillian
plis
Andressa Maximillian
menurutku ceritanya bagus, dunia yang dibangun penuh misteri dan kejutan
Margiyono: terimakasih
total 1 replies
Andressa Maximillian
wah.. seru nih. ditunggu kelanjutannya
Margiyono
siap, terimaksih...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!