Menceritakan tentang gadis belia yang memutuskan menikah muda, mampu kah ia menjalani biduk rumah tangga yang penuh liku-liku? akan kah ia menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspita.D, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Baru tiga hari kami berada di rumah, seorang pria datang, ia adalah tetangga seberang rumah Yang bernama bang Rustam
"Putri, aku mau tanya pada mu" kata bang Rustam itu.
"Iya silahkan, tanya apa" jawabku dengan sopan.
"Apa benar kamu menyebar kata-kata yang menyinggung ku" tanya bang Rustam.
"Perkataan yang bagaimana ya? Aku nggk ngerti" sahut ku benar-benar tak mengerti maksud nya.
"Ada apa ini?" tanya mas Tio yang baru keluar dari dalam.
"Tanya kan pada istri mu, kenapa dia berkata hal-hal yang menyinggung ku" kata bang Rustam sambil menunjuk wajah ku.
Daam keadaan hamil lima bulan, aku merasa tertekan dengan masalah yang ada, kepala ku tiba-tiba terasa berputar-putar, namun aku tak ingin terlihat lemah di hadapan dua pria itu.
"Memang nya bicara apa dia, jangan berputar-putar, jelaskan saja" sahut mas Tio.
"Istri mu bilang, aku cemburu melihat kemesraan kalian berdua, suruh dia mengaku" seru bang Rustam.
"Maaf bang, kami baru pulang dari kampung mas Tio tiga hari ini, kalo benar aku bicara demikian, kapan itu dan siapa yang bilang" kata ku yang merasa sebagai tersangka.
"Seminggu yang lalu, dan bidan pustu sebelah rumah mu yang bilang, kalo kamu ngomong seperti itu" seru bang Rustam tak bisa memelankan suara nya.
"Baik lah, sore ini, aku akan membawa istri ku ke rumah bu bidan untuk meminta penjelasan pada nya" kata mas Tio.
Bang Rustam pun pulang, entah apa yang di pikirkan nya, kenapa tiba-tiba dia bersikap begitu.
Aku duduk termenung di depan TV, bicara dengan mas Tio pun tak akan mendapat solusi.
"Ayo kita pergi ke rumah bi bidan" seru mas Tio dengan nada ketus. Mungkin di pikiran nya, aku tak henti buat masalah.
"Sekarang mas?" tanya ku, dengan menahan sakit kepala yang terasa berdenyut.
"Iya semakin cepat itu lebih baik, kenapa? Kamu takut? Kalo kamu nggak salah tak perlu takut, kecuali kalo kamu memang benar bicara seperti kata Rustam" kata mas Tio, bibir nya terlihat tersenyum namun terkesan sinis.
"Baik lah, aku nggak takut mas, karna aku nggak bicara seperti itu" kata ku sambil perlahan berdiri, aku sedikit kesusahan berdiri, karna perut ku yang sudah membesar.
Baik lah, kami pun pergi ke rumah bu bidan yang berjarak 10 km, dari rumah kami.
"Assalamualaikum" ucap ku saat sudah di depan pintu rumah bu bidan.
"Wa'alaikum salam" sahut bu bidan dari dalam rumah, tak lama pintu pun terbuka.
"Eh Putri, mas Tio, ayo masuk" bu bidan mempersilahkan kami untuk masuk.
"Ada perlu apa nih, kok tumben siang-siang datang kemari, Dian nggak papa kan?" tanya bu bidan.
"Alhamdulillah bu, Dian nggak papa, ini mau ada yang di tanyakan aja" sahut ku dengan sopan.
"Oya, tanya apa ya?" bu bidan pun mengerutkan kening nya.
"Begini bu, tadi Rustam datang ke rumah, dia bilang dia tersinggung dengan perkataan istri saya, yang mengatakan bahwa dia cemburu melihat kemesraan kami, dan menurut Rustam bu bidan lah yang menyampaikan perkataan istri saya tersebut. Saya cuma ingin tau, apa benar istri saya pernah bilang begitu sama ibu bidan?" kata mas Tio menjelaskan panjang lebar.
"Hmmm gitu ya, begini mas Tio, selama ini memang Putri sering ngobrol di pustu dengan saya, tapi hanya ngobrol seputar kehamilan kesehatan janin, juga persiapan melahirkan, seingat saya nggak ada perkataan seperti itu" jelas bu bidan.
Aku hanya mampu terdiam, karna jika aku ikut bicara, aku takut mas Tio akan menuduhku menghalangi bu bidan bicara.
"Gitu ya bu, jadi sudah jelas kalo itu hanya fitnah" kata mas Tio.
"Iya mas Tio, jangan terlalu percaya sama omongan orang, kasihan Putri sedang hamil, siapa tau dia tertekan dengan masalah ini" jelas bu bidan.
Setelah mendapat jawaban, kami langsung kembali.
Dengan pikiran tenang, aku berniat istirahat. Namun mas Tio pergi ke rumah bang Rustam, mungkin niat nya ingin meluruskan permasalahan.
Karna jarak rumah kami hanya terhalang jalan, aku pun mendengarkan percakapan mereka dari balik dinding papan rumah kami yang belum sempat di renovasi.
"Begini bang Rustam, kami sudah ke rumah bu bidan untuk meminta penjelasan, ternyata semua tuduhan bang Rustam itu tak benar, istri ku tak pernah bicara seperti itu" kata mas Tio menyampaikan apa yang di kata kan bu bidan.
"Jadi kalo bukan istri mu yang bicara lalu siapa?" seru bang Rustam yang masih terlihat kesal.
"Ya mungkin ini hanya kesalah fahaman saja" jawab mas Tio.
Namun tiba-tiba, tante dari bang Rustam yang nota ben nya seorang hajah, datang menghampiri mas Tio dan bang Rustam.
"Heh Tio, bilang pada istri mu, untuk menjaga mulut nya, kamu tau istri nya Rustam asli orang pulau K, kalo sampai istri terkena s*ntet oleh istri Rustam jangan salahkan orang" seru bu hajah, pada mas Tio.
"Lagi pula ya, istri mu yang tukang selingkuh itu, tak pantas di pertahankan, ceraikan saja dia, lihat menantu ku yang ketahuan selingkuh aku menyuruh anak ku untuk menceraikan nya, jadi istri seperti itu memang pantas di buang" sambung bu hajah, perkataan nya sungguh menyakitkan.
Siapa dia? Ibu nya bukan keluarga nya bukan, dia hanya seorang tetangga, tapi mulut nya suka ngatur hidup orang.
"Aku susah jelaskan pada bang Rustam, jadi tak perlu lagi aku menjelaskan nya" ucap mas Tio, ia pun pergi dari hadapan bang Rustam dan juga bu hajah, yang penuh amarah, lain dengan bang Rustam yang seperti menyimpan pertanyaan di otak nya.
Sebelum mas Tio masuk, aku segera pergi ke kamar dan berpura-pura tidur.
****************
Selang dua hari, bang Rustam bicara lagi dengan mas Tio, ia mengatakan bahwa biang dari masalah kemarin adalah bu Dila, tetangga seberang rumah bu hajah.
Tanpa meminta maaf dan merasa bersalah, mereka melupakan masalah itu begitu saja, tapi tidak dengan ku, aku akan mengingat nya sampai kapan pun.
Terlepas dari masalah yang telah berlalu, aku hanya bisa berharap untuk kedepan nya di jauhkan dari segala masalah sampai hari di mana aku melahirkan bayiku nanti.
Dian begitu setia menemani hari-hari ku, sementara mas Tio, masih bersikap dingin, ia bahkan sering ijin menginap di lokasi tambang.
Entah kenapa setiap mas Tio pamit nginap, aku selalu menangis menjelang magrib, rasa nya aku tak ingin di tinggalkan nya
Sementara Dian dia selalu menghiburku, saat aku menangis di bawah pohon sawit besar yang tumbuh di deoan rumah kami.
"Sudah ma...jangan nangis, malu kalo di lihat orang" kata Dian menenangkan ku. Ya saat ini hanya Dian yang selalu bersama ku ke mana pun aku pergi. Bocah lima tahun itu begitu mengerti aku.