Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Tasya berjalan di belakangnya, dengan langkah percaya diri dan senyum sinis. Tatapannya menyapu seluruh ruangan butik—penuh rasa iri. "Wow. Jadi ini ya butikmu sekarang?" katanya sambil tertawa kecil. "Gue bener bener nggak nyangka... gadis yatim piatu kayak Lo bisa punya tempat seperti ini. Hebat juga kamu."
"Ada keperluan apa kalian ke sini?" tanya Aluna, tenang tapi penuh waspada.
"Apa kamu sudah lupa siapa yang membesarkan mu selama ini?" Tasya menyambung. "Baru sukses sedikit, langsung lupa keluarga. Keluarga angkat mu yang kasih kamu atap dan makanan selama belasan tahun, Aluna."
Aluna menahan napasnya. Matanya tajam mengamati Tasya. Tapi ia tidak menjawab tuduhan itu.
Tasya melangkah pelan ke tengah butik, memperhatikan rak-rak berisi rancangan Aluna dengan pandangan menghina. "Ini semua kayak mimpi. Tapi kamu tahu, kan, mimpi nggak selamanya abadi?"
Aluna hanya diam.
Kemudian, tanpa peringatan, Tasya menoleh dan berkata dengan nada paling tajam, "Aku datang ke sini untuk pesan gaun pernikahan."
Aluna mengerutkan kening. "Untuk siapa?"
"Untuk aku dan Niko." Tasya tersenyum penuh kemenangan. "Kami akan menikah bulan depan. Dan akan sangat menyenangkan kalau kamu yang mendesain gaunnya. Anggap aja... Ini adalah bentuk balas budi kamu kepada keluarga yang selama ini merawat kamu."
Aluna menelan ludah. Tidak menjawab. Ia tak ingin memberi reaksi yang memuaskan ego Tasya.
"Kamu bisa buat yang spesial, kan? Biar aku tampil sempurna di hari bahagiaku. Lagipula, kamu pasti nggak mau orang-orang tahu kalau kamu perancang gaun yang nggak profesional," sindir Tasya.
Aluna membeku saat Tasya memberinya sebuah kantong paperbag yang berisi gulungan kain satin dan juga manik manik untuk pembuatan gaun pernikahannya dengan Niko dan memberikannya kepada Aluna.
"Aku harap kau bisa sesegera mungkin menyelesaikan pesananku. Dan ya, aku harap kau tidak akan membalas dendam kepadaku dengan merusak gaun pernikahanku dengan Niko." ucap Tasya dengan senyum sinis di bibirnya.
"Tasya, apa yang kamu lakukan nak?" potong Bu Ratna yang terlihat tidak senang dengan sikap anak semata wayangnya itu.
"Membuat pesanan, memangnya apalagi?!" ucap Tasya
Tasya akhirnya pergi dengan senyum puas di wajahnya, meninggalkan aroma luka yang menyeruak di udara. Tapi Bu Ratna tetap tinggal. Wanita paruh baya itu menatap Aluna lama, sebelum akhirnya membuka suara.
"Aluna, ibu tahu setelah apa yang terjadi diantara kita, tidak seharusnya ibu dan adik kamu datang kemari. Ibu tahu kamu kecewa, bahkan mungkin benci. Tapi hari ini ibu datang ke sini bukan untuk menyakiti kamu, Aluna."
Aluna masih berdiri di tempatnya. Jarak mereka seolah terlalu jauh, padahal hanya dipisahkan meja kerja.
"Selama ini... ibu pikir ibu adalah wanita yang kuat. Bisa urus semuanya sendiri. Bisa jaga Tasya, bisa kelola hidup tanpa bantuan siapa-siapa," ucap Bu Ratna lirih. "Tapi dugaan ibu salah. Sejak kamu pergi, rumah itu nggak pernah sama."
Suara Bu Ratna bergetar. Matanya basah.
"Ibu salah menaruh harapan pada anak ibu sendiri. Ibu buta, Aluna. Ibu tidak bisa membedakan mana anak yang tulus menyayangi ibu dan mana yang tidak. Ibu minta maaf."
Aluna tidak berkata apa-apa. Tapi air matanya perlahan jatuh. Ia tahu luka masa lalu tak bisa sembuh dengan kata-kata saja. Tapi setidaknya, hari ini ia tahu bahwa luka itu diakui. Bahwa ada satu hati di masa lalunya yang akhirnya mengerti betapa dalam kehilangan yang mereka ciptakan.
Dan meski gaun pengantin itu belum tentu ia jahit, Aluna tahu: hatinya sedang merajut sesuatu yang jauh lebih kuat—keberanian untuk tetap bertahan, dan tak membiarkan siapa pun menghancurkan hasil kerja kerasnya.
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/