Mengisahkan mengenai Debby Arina Suteja yang jatuh cinta pada pria yang sudah beristri, Hendro Ryu Handoyo karena Hendro tak pernah jujur pada Debby mengenai statusnya yang sudah punya istri dan anak. Debby terpukul sekali dengan kenyataan bahwa Hendro sudah menikah dan saat itulah ia bertemu dengan Agus Setiaji seorang brondong tampan yang menawan hati. Kepada siapakah hati Debby akan berlabuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Karena Bisa Lolos
Ambulans tiba dengan sirine meraung-raung, membawa Agus yang terbaring lemah ke rumah sakit. Debby ikut serta di dalamnya, menggenggam erat tangan Agus yang terasa dingin dan tak berdaya. Air matanya terus mengalir, rasa panik dan takut bercampur aduk menjadi satu. Ia tidak menyangka kecemburuan Hendro akan berujung pada tindakan sebrutal ini.
Setibanya di rumah sakit, Agus langsung dilarikan ke ruang gawat darurat. Debby menunggu di luar dengan perasaan cemas yang tak terperi. Ia terus mondar-mandir, tidak bisa tenang. Bayangan tabrakan mengerikan tadi terus berputar di benaknya.
Tak lama kemudian, polisi tiba di rumah sakit setelah menerima laporan dari saksi mata dan Debby. Dengan suara bergetar, Debby menceritakan semua yang ia lihat. Ia menjelaskan bahwa mobil yang menabrak Agus adalah mobil Hendro, mantan kekasihnya yang selama ini menerornya dan keluarga Naura. Ia juga menceritakan tentang rasa cemburu Hendro terhadap kedekatannya dengan Agus.
"Saya yakin, Pak. Hendro yang melakukannya. Dia sangat marah karena saya dekat dengan Agus," ujar Debby dengan nada penuh keyakinan kepada petugas kepolisian.
Polisi mendengarkan kesaksian Debby dengan saksama. Mereka mencatat semua informasi yang diberikan Debby dan berjanji akan segera melakukan penyelidikan lebih lanjut. Mereka juga meminta Debby untuk tetap tenang dan menyerahkan semuanya kepada pihak berwajib.
Namun, ketenangan adalah hal yang sulit dirasakan Debby saat ini. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi Agus. Pemuda itu telah menjadi sahabat baiknya, bahkan lebih dari itu. Membayangkan Agus terbaring lemah di dalam sana karena ulah Hendro membuatnya merasa marah dan bersalah.
Beberapa jam kemudian, seorang dokter keluar dari ruang gawat darurat. Debby segera menghampirinya dengan wajah penuh harap.
"Bagaimana keadaan Agus, Dok?" tanya Debby cemas.
Dokter menghela napas. "Kondisinya cukup serius. Ada beberapa luka dalam dan patah tulang. Kami sudah melakukan tindakan yang diperlukan. Sekarang kita hanya bisa menunggu dan melihat perkembangannya."
Mendengar penjelasan dokter, air mata Debby kembali menetes. Ia merasa sangat terpukul. Agus, orang yang selalu baik dan menolongnya, kini harus menanggung akibat dari kebrutalan Hendro.
Debby duduk di ruang tunggu rumah sakit, tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya terus tertuju pada Agus dan juga pada Hendro. Rasa marah dan dendam berkecamuk dalam hatinya. Ia tidak mengerti mengapa Hendro bisa menjadi begitu jahat dan kejam.
Ia berharap polisi segera menangkap Hendro dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Debby tidak ingin ada lagi korban dari kegilaan mantan kekasihnya itu. Ia hanya ingin Agus segera pulih dan mereka bisa kembali menjalani hidup dengan tenang. Namun, bayang-bayang teror Hendro masih terasa begitu nyata, membuat Debby merasa tidak aman dan terus dihantui rasa takut.
****
Kabar penabrakan Agus dengan cepat sampai ke telinga Hendro. Alih-alih merasa bersalah, ia justru tertawa terbahak-bahak di apartemen mewahnya. Ia merasa rencananya berjalan mulus. "Bagus! Satu penghalang sudah tersingkir," gumamnya sambil menuangkan minuman keras ke dalam gelas kristal.
Sebagai putra tunggal Reksa, pewaris tunggal kerajaan bisnis H Group, Hendro tumbuh dalam kemewahan dan kekuasaan. Kekayaan keluarganya memberinya keyakinan bahwa hukum pun bisa dibeli. Ia sering melihat bagaimana ayahnya menyelesaikan berbagai masalah dengan kekuatan uang dan pengaruh. Keyakinan inilah yang membuatnya semakin sombong dan merasa kebal terhadap hukum.
"Polisi? Mereka hanya boneka. Beberapa lembar uang, dan mereka akan menari sesuai keinginanku," seringkali Hendro meremehkan aparat penegak hukum dalam percakapan dengan teman-temannya. Ia percaya bahwa status sosial dan kekayaan keluarganya adalah tameng yang sempurna.
Setelah mendengar kabar Agus dirawat di rumah sakit, Hendro semakin merasa aman. Ia yakin polisi tidak akan berani mengusut tuntas kasus yang melibatkan dirinya, anak dari pengusaha besar sekelas Reksa. Ia membayangkan betapa paniknya Debby dan betapa putus asanya wanita itu tanpa kehadiran si pemuda "sok pahlawan" itu.
"Debby akan kembali padaku. Tidak ada pilihan lain," pikir Hendro dengan penuh keyakinan. Ia menganggap tindakan teror dan penabrakan ini sebagai bentuk "perjuangan" cintanya, meskipun caranya sangat salah dan melukai banyak orang.
Sementara Debby memberikan kesaksian kepada polisi, Hendro justru sedang menikmati ketenangannya di apartemen. Ia bahkan sempat menghubungi beberapa kenalannya di kepolisian untuk memastikan bahwa namanya tidak terseret terlalu jauh dalam kasus penabrakan Agus. Dengan kekayaan dan koneksi yang dimiliki ayahnya, ia merasa yakin bahwa semuanya akan "aman terkendali".
"Ayah pasti akan turun tangan. Dia tidak akan membiarkan putranya mendekam di penjara hanya karena seorang pemuda biasa," gumam Hendro sambil tersenyum sinis. Ia sangat mengandalkan pengaruh ayahnya untuk lolos dari jeratan hukum.
Hendro sama sekali tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya. Baginya, Agus hanyalah rintangan yang harus disingkirkan. Ia bahkan merasa berhak melakukan itu demi mendapatkan kembali wanita yang ia obsesikan. Keangkuhan dan keyakinannya akan kekebalan hukum membuatnya semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan rasa empati. Ia hidup dalam dunianya sendiri, di mana uang dan kekuasaan menjadi segalanya, bahkan di atas keadilan.
****
Kabar mengenai nasib buruk Naura dan Marcella sampai ke telinga Reksa dan Nirmala. Mereka terkejut bukan main mendengar tentang pembakaran ladang dan teror yang terus-menerus menghantui rumah mantan menantu dan cucu mereka. Nirmala tak henti-hentinya menggelengkan kepala, air mata kembali membasahi pipinya membayangkan ketakutan yang dialami Naura dan Marcella. Reksa mengepalkan tangannya, amarahnya memuncak mendengar semua penderitaan yang harus ditanggung mantan menantunya.
"Ya Tuhan, tega sekali Hendro," lirih Nirmala, suaranya bergetar. "Bagaimana bisa dia melakukan ini pada Naura dan cucu kita?"
Reksa menghela napas berat. "Aku sudah menduga ini ulahnya, Bu. Hanya dia yang punya dendam sebesar ini pada Naura."
Kekhawatiran Reksa dan Nirmala semakin bertambah ketika mendengar berita tentang penabrakan Agus. Mereka langsung menduga bahwa Hendro juga berada di balik kejadian itu. Rasa malu dan marah bercampur aduk dalam hati mereka. Mereka tidak menyangka putra mereka bisa bertindak sekeji ini.
"Ini sudah keterlaluan, Reksa," ujar Nirmala dengan nada tegas. "Kita tidak bisa membiarkan Hendro terus menyakiti orang lain. Dia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya."
Reksa mengangguk setuju. "Kamu benar, Bu. Aku tidak akan tinggal diam lagi. Aku akan bicara dengan Hendro. Ini sudah di luar batas."
Mereka berdua merasa sangat terpukul. Di satu sisi, mereka menyayangi putra mereka, tetapi di sisi lain, mereka tidak bisa membenarkan tindakan Hendro yang telah menyakiti banyak orang. Mereka merasa bersalah karena mungkin telah membesarkan Hendro dengan cara yang salah, hingga putranya tumbuh menjadi pribadi yang sombong dan kejam.
"Kita harus membantu Naura, Reksa. Dia dan Marcella tidak pantas mengalami semua ini," kata Nirmala lagi, air matanya kembali menetes.
"Aku tahu, Bu. Kita akan melakukan yang terbaik untuk mereka," jawab Reksa sambil merangkul istrinya. Mereka berdua sepakat bahwa mereka harus bertindak tegas terhadap Hendro dan memberikan dukungan penuh kepada Naura dan Marcella. Mereka tidak ingin reputasi dan kekayaan keluarga mereka digunakan untuk melindungi tindakan kriminal putranya. Keadilan harus ditegakkan, meskipun itu berarti mereka harus berhadapan dengan darah daging sendiri. Rasa malu dan penyesalan kini menghantui mereka, menyadari betapa buruknya perilaku putra yang selama ini mereka banggakan. Mereka berharap masih ada kesempatan bagi Hendro untuk bertobat dan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.