NovelToon NovelToon
Endless Legacy

Endless Legacy

Status: sedang berlangsung
Genre:Playboy / Cinta Beda Dunia / Teen School/College / Mengubah Takdir / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Elf
Popularitas:758
Nilai: 5
Nama Author: Rivelle

Kathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar!

Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suka menyendiri. Namun, ia tidak sadar kalau sikap antisosialnya yang justru telah menarik perhatian dan membuat gadis itu terlanjur jatuh hati padanya.

Hingga suatu hari, rentetan peristiwa menakutkan pun mulai datang ketika Kathleen tak sengaja mengetahui rahasia siapa William sebenarnya.

Terjebak dalam rantai takdir yang mengerikan, membuat mereka berdua harus siap terlibat dalam pertarungan sesungguhnya. Tidak ada yang dapat mereka lakukan lagi, selain mengakhiri semua mimpi buruk ini sebelum terlambat!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rivelle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

29 - Dia terluka?

Sekarang di dalam toko roti ini hanya ada aku dan William. Cowok itu berdiri menjulang persis di sampingku. Kami sama sekali tidak melontarkan sebuah topik pembicaraan apapun. Aku memutar-mutar pergelangan kakiku sembari mengamati lampu-lampu retro yang menggantung di langit-langit ruangan.

Mataku mengerling sekilas ke arah lengan kanan Will yang berbalut perban. Ada sedikit bercak darah yang sudah terlihat mengering. Sadar perhatianku tertuju pada lukanya itu, ia pun langsung menyembunyikan lengannya di balik pinggang.

Mulutku benar-benar gatal ingin mengajukan segudang pertanyaan untuk cowok itu. Tapi teringat dengan perdebatan kami tempo lalu, sepertinya aku harus menimbang-nimbang kembali niatku. Lagi pula, William juga sudah memintaku untuk menjauh. Jadi, tidak ada alasan lain lagi bagiku untuk menaruh perhatian terhadapnya.

Selepas sepuluh menit—yang terasa seperti berabad-abad tadi, aku pun akhirnya bisa bernapas lega saat Mr. Thompson datang dan memecah keheningan di antara kami.

“William, Kathleen, kalian berdua sedang apa berdiri di sana terus? Ayo, kemari dan duduklah!” ajaknya sembari menyodorkan dua bangku pada kami agar segera duduk.

Mr. Thompson mengeluarkan kotak P3K dari plastik belanjaannya. Ia menaikkan kacamata lalu membuka sebuah bungkus kapas sembari memberikan nasihat. “Lain kali, kalau kau sudah mulai merasa mengantuk atau lelah, jangan pernah coba-coba untuk berkendara lagi. Kau bisa membahayakan dirimu sendiri dan juga orang lain. Aku tidak ingin melihat kau sampai terluka seperti ini ...,” ujarnya seraya membubuhkan obat merah ke kapas lantas menorehkannya ke wajah William.

Will terlihat meringis ketika kapas itu menyentuh luka di pelipisnya yang masih segar.

“Ngomong-ngomong, mobilmu ada di mana? Aku belum melihatnya sejak tadi.”

“Umm, mobil itu sudah kutaruh di bengkel. Rusaknya tidak terlalu parah.”

“Lalu siapa yang sudah mengantarmu kemari?”

“Temanku. Aku lupa membawa kunci rumah. Jadi, aku memintanya untuk mengantarkanku ke sini,” jawab Will.

“Oh, ya sudah. Tidak masalah. Yang penting sekarang kau baik-baik saja.”

Aku duduk manis, mendengarkan pembicaraan mereka berdua dengan saksama. Tak berapa lama kemudian, sepasang suami istri masuk ke toko kue ini. Mereka berdiri di depan etalase kue tart dan ingin membeli sebuah kue ulang tahun. Mr. Thompson pun segera beranjak bangkit dari tempat duduknya.

“Kathleen, apa aku boleh meminta bantuanmu sebentar? Aku harus melayani pengunjung lain dulu sekarang.” Ia memberikan kotak P3K-nya kepadaku.

Aku mengangguk seraya meraih kotak kecil yang mempunyai ciri khas warna merah putih itu. Selama beberapa detik lamanya, aku hanya bisa melongo karena bingung harus melakukan apa. Mungkin lebih baik aku mencontoh seperti yang telah dilakukan oleh Mr. Thompson barusan. Kububuhkan obat merah itu lagi ke kapas yang tadi. Tapi sialnya, tanganku malah gemetar saat ingin menorehkannya ke wajah William.

Hei, ada apa denganku? Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk terlihat kikuk di hadapannya! omelku dalam hati.

Aku terkesiap ketika Will tiba-tiba mencekal tanganku.

“Biar aku saja. Aku bisa melakukannya sendiri,” ujarnya dengan suara mengalun pelan.

“Kau tidak perlu berpikir macam-macam. Aku hanya berniat membantu pamanmu. Tidak ada maksud lain,” jawabku menghindari kesalahpahaman.

William pun melepaskan cekalan tangannya. “Ya, aku tahu.”

Kukatupkan bibirku ke dalam, meliriknya dengan canggung. “Kalau kau masih merasa tidak nyaman, sini kemarikan lenganmu saja. Biar aku yang akan mengganti perbannya sekarang,” tuturku sembari membuka bungkus perban yang masih baru.

Kedua alis cowok itu terangkat dan raut wajahnya malah mendadak tegang. “Tidak usah. Simpan saja untuk nanti. Aku tadi sudah menggantinya sebelum datang kemari.”

“Tapi itu sudah terlihat agak kotor. Lukamu akan infeksi kalau dibiarkan begitu saja,” protesku.

“Tidak akan.”

“Kenapa kau bisa yakin sekali?”

“Karena aku sudah menggantinya.”

Aku berdecak sebal. “Kalau kau memang benar sudah menggantinya, perbanmu pasti tidak akan sekotor ini. Kau lihat sendiri semua plestermu juga seperti bekas kemarin pakai.”

“Itu hanya asumsimu saja.”

“Asumsi?!”

Sesudah saling bersahut-sahutan hanya karena masalah plester, aku pun mati kutu. Will tetap bersikeras dengan keinginannya. Ia terus berusaha menyangkal setiap pendapatku. Kurasa reaksinya ini terlalu berlebihan. Memang apa salahnya cuma mengganti perban? Mau dibilang aneh, tapi dia adalah William.

“Aku sangat setuju dengan apa yang tadi Kathleen katakan. Badanmu terlihat kumal seperti habis berguling-guling di jalanan aspal,” sela Mr. Thompson dari seberang meja. “Well, aku jadi tidak yakin kalau lukamu itu memang sudah dibersihkan dengan benar.”

“Ya-oke, baiklah. Kalau begitu aku akan menggantinya lagi saat pulang nanti, Paman. Aku janji. Sungguh!” kelitnya, menekankan kata sungguh.

“Jangan membantah, William! Berhentilah bersikap keras kepala,” sahut pria itu sambil bertolak pinggang.

Will mengerutkan keningnya. Ia betul-betul terlihat ragu. Kedua bola matanya bergerak cepat menunjukkan kegelisahan sementara aku masih menunggu dengan tidak sabar.

William akhirnya pun menurut. Ia mengulurkan lengan kanannya perlahan-lahan. Cowok itu mengamati wajahku lekat-lekat dengan eskpresi tegang. Entah apa yang sedang ia sembunyikan. Namun, ketika aku hendak melepaskan perban yang lama darinya, Mom sekonyong-konyong datang dengan dua kantong belanjaan berukuran besar di tangannya.

“Maaf, Mr. Thompson. Aku pasti sudah membuatmu menunggu lama,” ucapnya sambil tergopoh-gopoh.

William langsung menarik tangannya kembali. “Ibumu sudah datang. Sekarang sebaiknya kau cepat pulang. Aku tidak bermaksud mengusirmu, tapi cuaca di luar memang sedang tidak bagus.”

Aku mendesah sembari mengerutkan alis. “Ya sudah. Jangan lupa menggantinya. Aku tidak akan bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa denganmu nanti,” balasku kemudian meletakkan kotak P3K tadi di dekatnya.

Mr. Thompson mengambil kotak kue yang sudah dihiasi oleh pita berwarna biru pastel. “Pesananmu sudah siap, Mrs. Watson. Aku memberikan bonus seloyang pai apel sebagai ucapan terima kasihku karena kau telah berkunjung kemari.”

“Ah, sungguh? Kalau begitu terima kasih banyak, Mr. Thompson!” Mom mengeluarkan dompet lalu memberikan beberapa lembar pound sterling padanya. “Oh ya, satu hal lagi. Jangan pernah sungkan-sungkan untuk berkunjung ke rumah kami kapan pun. Termasuk kau juga, William. Kita ini bertetangga. Jadi, tidak ada salahnya kalau kau sering mampir ke rumah kami. Lagi pula, gadis ini juga seringkali mengeluh kesepian karena aku selalu sibuk di dapur.”

Aku mendelik. “Mom?! Yang benar saja. Aku tidak pernah berkata seperti itu padamu,” kataku sembari menyenggol lengannya.

Mr. Thompson tertawa sementara William tersenyum lebar hingga deretan gigi rapinya ikut terlihat.

“Terima kasih atas undanganmu, Mrs. Watson. Mungkin lain kali aku akan menyempatkan waktu untuk berkunjung ke rumahmu. Terima kasih sudah datang. Semoga harimu menyenangkan!” sahutnya sembari masih menyunggingkan senyuman yang begitu menawan. Ibuku sendiri sampai terkesima dibuatnya.

Aku tidak tahu ide gila apa yang sempat terlintas dalam pikiran Mom tentang William. Walau jarak rumah kami yang hanya selemparan batu, meminta dirinya untuk menemaniku sepanjang waktu bukanlah ide yang bagus. Bagaimana aku bisa menjauh darinya kalau senyuman yang menawan itu malah semakin tertanam jelas dalam kepalaku? Oh, mustahil sekali rasanya.

1
🐌KANG MAGERAN🐌
mampir kak, semangat dr 'Ajari aku hijrah' 😊
🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
ceritanya bagus, tulisannya rapih banget 😍😍😍😍
🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐: punya ku berantakan, ya ampun 🙈
𝓡𝓲𝓿𝓮𝓵𝓵𝓮 ᯓᡣ𐭩: makasih kaa~/Rose/
total 2 replies
🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
/Scare//Scare//Scare/
🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
ya ampun serem banget
🇮  🇸 💕_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐
. jadi ikut panik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!