Seorang bocah ikut masuk dalam mobil online yang di pesan Luna tanpa ia sadari karena mengantuk. Setelah tahu bahwa ada bocah di sampingnya, Luna ingin segera memulangkan bocah itu, tapi karena kalimat bocah itu begitu memilukan, Luna memilih merawat bocah itu beberapa hari.
Namun ternyata pilihannya merawat bocah ini sementara, membawa dampak yang hebat. Termasuk membuatnya berurusan dengan polisi bahkan CEO tempatnya bekerja.
Bagaimana kisah Luna membersihkan namanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 21
"Luna!" panggil Danar. Gadis ini menoleh ke belakang. Namun sayang pria itu sudah tidak ada. Pengacara Ian sudah pergi mengendarai mobilnya.
"Ya! Sudah. Aku di panggil Danar nih ...," bisik Luna pada Karin. Setelah menutup telepon, perempuan ini menghampiri Danar.
"Pak Ian, minta kamu masuk ke dalam cafe. Beliau sudah menunggu," kata Danar memberi tahu.
"Jadi Pak Ian sudah selesai dengan orang tadi?" tanya Luna kecewa. Danar mengangguk. Luna berdecih. Ia melewatkan kesempatan untuk melihat siapa laki-laki yang tadi bersama Pak Ian.
"Kamu tidak masuk?" tanya Danar yang heran Luna tetap diam di tempat karena memikirkan pria yang ada di dalam cafe tadi.
"Ah, ya. Aku akan masuk sekarang." Luna meringis. Lalu ia bergegas masuk. Ternyata Pak Ian baru saja menyelesaikan makannya. "Saya sudah datang, Pak."
Ian mendongak.
"Duduklah," pinta Ian seraya mempersilakan Luna untuk duduk di kursi tepat di depannya. Luna mengangguk. "Kamu bisa pesan makanan dan minuman di menu Luna."
"Tidak Pak, terima kasih," tolak Luna halus. Ian menatap Luna.
"Kamu ingin aku segera mengatakan apa yang ingin aku bicarakan?" tanya Ian yang merasa Luna tidak ingin berlama-lama.
Tentu saja. Kenapa aku harus berlama-lama dengan Anda, Pak? batin Luna.
Bibir Luna tersenyum tipis.
Ian mengambil gelas berisi minuman di sebelahnya. Lalu meneguk dengan pelan. Ia memanggil pelayan cafe untuk mendekat. Setelah pelayan datang, dia memesan minuman.
"Kamu tahu Elio kabur dua kali ke rumah kamu. Sebenarnya putraku tidak pernah melakukannya sebelum ini. Jadi aku sedikit kebingungan," kata Ian memulai pembicaraan soal bocah itu.
Luna mengangguk mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia takut ada yang terlewat karena tidak fokus.
"Mungkin memang aneh aku bicarakan ini denganmu, tapi kenyataannya adalah Elio lebih merasa dekat denganmu," kata Ian.
Seorang pelayan muncul membawakan minuman. Ian memberikan kode untuk di letakkan tepat di depan Luna. Perempuan sempat terkejut.
"Untuk kamu. Tidak mungkin kamu tidak haus saat bicara denganku, Luna," kata Ian sebenarnya benar.
"Terima kasih." Luna menerima gelas itu lalu menggeser ke arah yang lebih tepat.
"Melihat Elio yang mau di ajak pulang setelah kamu temani, aku rasa kamu bisa menjalankan misi ini," kata Ian.
"Misi?" tanya Luna melebarkan mata. Di dalam telinganya kata itu terasa keren. Apalagi orang yang memberinya tugas adalah atasnya secara langsung. Ia merasa bagai seorang agen. "Misi apa, Pak?"
"Bicaralah dengan Elio. Tolong bujuk dia untuk bisa menerima Naura sebagai mama baru-nya," kata Ian membuat petir di telinga Luna.
"M-membujuk Elio?" tanya Luna tidak yakin akan indra pendengarannya benar.
"Ya."
"B-bagaimana bisa, Pak?" tanya Luna tidak percaya.
"Aku yakin jika kamu yang bicara, Elio akan mendengarkan."
"Emm ... tunggu Pak." Luna terdiam beberapa detik. "Kenapa bukan Anda sendiri yang membujuk Elio, Pak? Oh, maaf kalau saya terdengar kasar ..." Luna buru-buru meminta maaf.
Ian menghela napas.
"Aku punya alasan," kata Ian singkat. Luna diam sejenak. Karena Pak Ian tidak bisa mengatakannya, itu berarti adalah hal sensitif. Jadi dia tidak boleh memaksa.
"Saya rasa ini akan sulit Pak. Bukankah permintaan Elio adalah Anda tidak menikah dengan nona Naura, Pak?" tanya Luan hati-hati. Menurutnya misi ini mustahil. Karena di awal sudah jelas bahwa Elio tidak menyukai Naura. Soal itulah yang menjadi alasan bocah itu kabur. Baik Luna maupun Pak Ian tahu soal itu.
"Aku tahu." Kepala Ian mengangguk lemah. Tatapan pria ini serasa menyedihkan. Luna masih keberatan. Namun melihat pandangan pria yang awalnya terlihat dingin ini kini menjadi sendu, ia jadi ingin membantu.
"Baiklah jika bantuan saya memang dibutuhkan. Saya akan usahakan untuk membantu," kata Luna akhirnya.
"Kamu mau?" tanya Ian dengan wajah cerah.
"Ya, tapi maaf ... Bagaimana saya akan bertemu dengan Elio lagi, Pak?" tanya Luna polos.
"Kamu bisa datang ke rumah ku," jawab Pak Ian tegas.
Tuing! Itu undangan resmi dari Pak Ian untuknya.
...***...
Bi Muti yang melihat Luna barusan muncul, padahal sudah lewat dari jam pulang kerja, menoleh.
"Habis darimana, Lun? Sepetinya ini sudah malam dari jam pulang kerja? Lembur? Kok enggak kasih kabar?" sembur Bi Muti bertubi-tubi.
"Dari cafe, Bi."
"Cafe? Kamu sudah punya pacar, ya?" tanya Bi Muti menyelidik.
"Bukan. Aku sedang ada janji dengan Pak Ian." Luna masuk ke dalam rumahnya dengan di ikuti oleh Bi Muti.
"Ian. Emm ... Bukankah itu nama papa-nya Elio ya?" Ternyata Bi Muti masih ingat betul dengan nama itu.
"Ya."
"Hah?! Jadi kamu pacaran sama pria tampan dan kaya itu?" Bi Muti begitu terkejut. Luna langsung menghentikan langkahnya dan membalikkan badan. Bi Muti akhirnya mengerem mendadak.
"Bukanlah Bi. Mana mungkin. Pak Ian cuma lagi ada perlu dengan ku," bantah Luna. Lalu perempuan ini masuk ke dalam kamarnya. Bu Muti masih mengekor di belakang.
"Ada perlu apa? Pekerjaan? Modus sekali kalau soal perkejaan harus di bicarakan di luar kantor," kata Bi Muti sambil mencebik.
"Elio," sahut Luna seraya menuangkan isi tas dan meletakkan tasnya di tempat rak khusus tas. Karena bisa saja besok ganti tas yang lain. Meksipun gonta-ganti, semua outfit-nya di belinya dengan harga murah.
"Ada apa lagi? Bukannya cerita kabur-kaburannya anak itu sudah selesai?"
"Pak Ian menyuruhku untuk membujuk Elio agar mau menerima kekasih Pak Ian menjadi mama baru-nya," jelas Luna.
"Hah? Kenapa begitu? Bukannya seharusnya atasanmu sendiri yang melakukannya?" Bi Muti terheran-heran. "Bos kamu itu gimana sih?" Perempuan ini jadi uring-uringan.
"Sepertinya ada sesuatu yang membuat Pak Ian tidak bisa mendekati Elio."
"Ada sesuatu apa? Mereka kan anak sama bapak. Soal begitu kan bisa di lakukan mereka berdua tanpa campur tangan orang lain."
"Aku sudah bilang begitu sejak awal."
"Jadi Pak Ian sering mengatakan untuk mu mendekati putranya?" tanya Bi Muti. Beliau menangkap bahwa pria itu sepertinya sudah berkali-kali meminta bantuan pada Luna untuk membantunya.
"Ya, beberapa kali. Dua atau tiga kali, gitu." Luna lupa jumlah tepatnya berapa.
"Dia kan bos tempat kamu bekerja, pasti punya akal dan ide untuk mendekati putranya. Ini anaknya lho. Apa yang susah dengan mendekati anaknya sendiri?" Bu Muti masih terbawa perasaan. Beliau sampai uring-uringan saat bicara.
"Sepertinya memang ada hal sensitif yang membuat Pak Ian tidak bisa bicara dengan Elio secara bebas. Saat Pak Ian berkata kalau dia punya alasan tidak bisa mendekati putranya, sorot matanya terlihat sendu. Sedih banget."
"Oh, ya?" Bi Muti mulai tertarik.
"He-eh."
Bi Muti mengangguk-anggukkan kepala.
"Kruyuk!" Sebuah suara perut keroncongan nyaring terdengar.
"Heh? Kamu lapar?" Bi Muti terkejut. Sampai-sampai beliau menoleh ke Luna dengan cepat.
"Iya nih." Luna cengengesan.
"Bukannya tadi dari cafe atau apa tadi?" tanya Bi Muti Heran. "Itu berarti kamu di traktir makan sama bos mu itu, kan?"
Luna garuk-garuk lehernya.
"Aku menolak. Soalnya ingin cepat pulang," kata Luna seraya tersenyum.
..._____...