Follow IG @ersa_eysresa
Bagaimana jika kekasih yang kamu cintai ternyata bermain hati dengan adikmu. Dan di hari pertunanganmu dia membatalkan pertunangan kalian dan mempermalukanmu dengan memilih adikmu untuk dinikahi.
Malu sudah pasti, sakit dan hancur menambah penderitaan Rayya gadis berusia 23 tahun. Gadis cantik yang sudah mengalami ketidakadilan di keluarganya selama ini, kini dipermalukan di depan banyak orang oleh adik dan kekasihnya.
Namun di tengah ketidakadilan dan keterpurukan yang dia alami Rayya, muncul sosok pangeran yang tiba-tdi berlutut di depannya dan melamarnya di depan semua orang. Tapi sayangnya dia bukanlah pangeran yang sebenarnya seperti di negeri dongeng. Tapi hanya pria asing yang tidak ada seorangpun yang mengenalnya.
Siapakah pria asing itu?
Apakah Rayya menerima lamaran pria itu untuk menutupi rasa malunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Syarat Kebebasan
Sampai di kantor polisi, Rayya melangkah mantap di lorong kantor polisi, diapit oleh suaminya, Saka, dan mama Lina yang mengikuti dari belakang dengan tatapan tajam. Hari ini, mereka datang bukan untuk membicarakan kasus baru, melainkan menentukan nasib seseorang Livia.
Mereka berhenti di depan meja petugas. Saka menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang selama ini ia pendam. Sebenarnya dia tidak ingin melepaskan Livia begitu saja tapi sang mama sepertinya memiliki rencana lain untuk wanita itu.
Rayya sendiri tampak tenang di permukaan, meskipun dalam hatinya masih menyimpan luka akibat ulah Livia yang sudah mencoreng nama baik bisnis yang sudah dia bangun dengan susah payah selama ini dengan hasil jerih payahnya sendiri tanpa campur tangan mereka.
"Selamat pagi, Bu Rayya. Silakan duduk," ujar seorang petugas dengan ramah. "Apakah Anda benar-benar ingin mencabut laporan?"
Rayya bertukar pandang dengan suaminya sejenak, lalu mengangguk pelan. "Ya, kami bersedia mencabut laporan, tapi dengan syarat. Jika Livia menolak, maka proses hukum tetap berjalan."
Petugas itu mencatat sesuatu sebelum mengangkat telepon. "Kami akan memanggil saudari Livia ke ruang ini."
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Livia melangkah masuk dengan wajah masam. Mata tajamnya langsung mengarah pada Rayya. Ada api kemarahan yang sulit ia sembunyikan kepada saudara angkatnya itu.
"Jadi, apa lagi yang kau inginkan dariku, Rayya?" tanyanya tajam.
Sebelum Rayya sempat menjawab, pintu kembali terbuka. Sepasang suami-istri paruh baya masuk tergesa-gesa. Wajah mereka terlihat lelah dan penuh kekhawatiran.
"Livia!" seru Arin, ibu Livia. Ia segera menghampiri putrinya dan memeluknya erat, sementara suaminya, Irwan, berdiri di samping mereka dengan sorot mata serius.
"Syukurlah kamu baik-baik saja, Nak," lanjut Arin dengan suara bergetar.
Livia membalas pelukan ibunya, namun matanya tetap tak lepas dari Rayya. Kebahagiaan mereka terputus ketika Rayya berdehem pelan, mengingatkan mereka bahwa waktu terus berjalan dan ia tak punya kesabaran untuk menyaksikan drama ini lebih lama lagi.
"Baiklah," kata Rayya akhirnya, suaranya penuh ketegasan. "Aku bersedia mencabut laporan, tapi ada syarat yang harus Livia penuhi."
Saka melirik istrinya, memastikan bahwa keputusan ini sudah matang dan tidak akan ada penyesalan di lain hari. Rayya membalas tatapannya dengan keyakinan penuh dan senyum tipis.
"Apa syaratnya?" tanya Livia dengan nada tidak sabar.
"Kamu harus membuat video permintaan maaf dan penyesalan," ujar Rayya tanpa basa-basi. "Di video itu, kamu mengakui semua kesalahanmu, termasuk bagaimana kamu berusaha menghancurkan bisnisku dengan fitnah dan kecoa-kecoa itu. Selain itu, kamu harus menandatangani surat pernyataan di atas materai bahwa kamu tidak akan mengganggu aku atau usahaku lagi. Jika kamu melanggar, aku akan langsung melaporkanmu lagi, dan saat itu aku tidak akan menerima kompromi apapun."
Ruangan mendadak hening. Livia mengepalkan tangannya, menahan rasa marah yang membara di dadanya.
"Kau pikir aku akan–,."
"Livia, cukup!" potong Arin dengan suara tegas, mengejutkan semua orang di ruangan. "Kita tidak punya pilihan lain. Lakukan saja apa yang Rayya inginkan."
"Tapi, bu–, "
"Livia, dengarkan ibumu," suara Irwan terdengar berat. "Kamu sudah cukup membuat masalah. Lakukan apa yang dia minta agar semuanya berakhir."
Nafas Livia memburu. Amarahnya bercampur dengan rasa malu. Ia membenci bagaimana Rayya berdiri di sana dengan wajah puas, seolah-olah ia pemenang dari segala hal. Namun, ia tahu bahwa melawan hanya akan memperburuk situasi.
Dengan hati yang berat, Livia kemudian melakukan apa yang diinginkan oleh Rayya. Beberapa video di ambil sampai Rayya merasa puas dengan hasilnya. Ia memaksakan senyum tipis meski hatinya berteriak marah.
"Aku, Livia Irwan, dengan ini mengakui semua kesalahan yang telah kulakukan kepada Rayya dan usahanya. Aku menyesali perbuatanku yang telah merugikan banyak pihak terutama Rayya dan karyawannya. Aku berjanji tidak akan pernah mengganggu atau mencoba mencemarkan nama baik Rayya atau tokonya lagi. Jika aku melakukannya, aku siap menerima konsekuensinya secara hukum."
Suaranya terdengar datar, tapi cukup jelas dan lugas. Setelah video selesai direkam, barulah seorang petugas membuka borgol di kedua tangannya. Dia melihat Rayya yang sedang memeriksa hasil rekaman agar semuanya terdokumentasi dengan baik.
Mama Lina, yang sejak tadi diam, tiba-tiba mengangkat ponselnya sendiri dan mulai merekam. Ia bahkan meminta Livia mengulangi beberapa kalimat agar publik tahu kebenaran yang selama ini mereka tutupi.
"Bagus sekali," kata mama Lina dengan senyum puas. "Video ini akan aku unggah di media sosial. Biar semua orang tahu bagaimana sebenarnya kelakuanmu." ucapnya dengan nada mengejek.
"Ini keterlaluan! siapa kau seenaknya saja merekamku, " gumam Livia, wajahnya memerah karena malu dan marah.
"Aku ibu mertua Rayya, memang kenapa? " tantang mama Lina tak kenal takut sama sekali.
"Lihatlah bahkan kau menggunakan mertuamu untuk menjebakku dan mempermalukanku. Sungguh sangat berlebihan. Pak Polisi apakah kalian tidak mau menyita ponselnya yng sudah merekamku tadi," protesnya kesal.
"Tidak ada yang berlebihan di sini," balas Rayya dingin. "Aku hanya memastikan semua orang tahu kebenarannya."
"Tidak masalah untuk merekam hal ini nona. Karena apa yang anda lakukan berhubungan dengan masalah publik. Jadi untuk menyelesaikannya juga harus diketahui publik. Jika sembunyi-sembunyi itu sama sekali tidak membuat masalah ini selsai.
Terdengar suara deheman dari kedua keluarga untuk menghentikan apa yang akan di perdengarkan oleh mereka.
Arin mencoba menenangkan putrinya meskipun dalam hati ia merasa pahit atas segala yang menimpa anaknya . Namun, ia tahu ini harga yang harus dibayar untuk kebebasan Livia.
Setelah video selesai direkam dan surat pernyataan ditandatangani oleh kedua belah pihak, Rayya menyerahkan berkas pencabutan laporan kepada petugas.
"Baik," kata petugas itu. "Dengan ini, laporan Anda resmi dicabut. Livia bisa segera diproses untuk pembebasan bersyarat ini." ujar petugas yang melayani keluh kesah mereka sejak tadi.
Saka menggenggam tangan Rayya erat, bangga pada istrinya yang mampu berdiri teguh menghadapi semua ini. Sementara itu, mama Lani sudah sibuk membagikan video permintaan maaf Livia di berbagai platform media sosial miliknya.
Livia menatap Rayya untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan ruangan. Ada kebencian di matanya, tapi juga kelelahan karena kekalahan yang terjadi. Ia kalah hari ini, tapi ia bersumpah dalam hati bahwa ini belum berakhir.
Saat Livia dan keluarganya berjalan keluar, Rayya menghela napas lega. Ini adalah babak baru baginya babak di mana ia tidak lagi membiarkan siapa pun menghancurkan apa yang telah ia bangun dengan susah payah.
"Sudah selesai, Apa kamu yakin dengan keputusan yang kamu buat ini?" bisik Saka di telinga istrinya.
Rayya tersenyum tipis, tetapi di balik senyum itu ada tekad yang semakin kuat. Jika ada yang berani mengusiknya lagi, ia tidak akan segan-segan melawan. Dan kali ini, ia tidak akan memberi ampun.