Akay, pemuda yang kadang bermulut pedas, terjebak dalam pernikahan dengan Aylin, gadis badung yang keras kepala, setelah menabrak neneknya. Itu adalah permintaan terakhir sang nenek—dan mereka harus menandatangani perjanjian gila. Jika Akay menceraikan Aylin, ia harus membayar denda seratus miliar. Tapi jika Aylin yang meminta cerai, seluruh harta warisan neneknya akan jatuh ke tangan Akay!
Trauma dengan pengkhianatan ayahnya, Aylin menolak mengakui Akay sebagai suaminya. Setelah neneknya tiada, ia kabur. Tapi takdir mempertemukan mereka kembali di kota. Aylin menawarkan kesepakatan: hidup masing-masing meski tetap menikah.
Tapi apakah Akay akan setuju begitu saja? Atau justru ia punya cara lain untuk mengendalikan istri bandelnya yang suka tawuran dan balapan liar ini?
Apa yang akan terjadi saat perasaan yang dulu tak dianggap mulai tumbuh? Apakah pernikahan mereka hanya sekadar perjanjian, atau akan berubah menjadi sesuatu yang tak pernah mereka duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Sengaja
Di meja makan, suasana terasa canggung.
Aylin duduk dengan wajah masam, menyuap nasi goreng dengan gerakan cepat dan kasar, seakan nasi goreng itu adalah Akay yang ingin dia hancurkan.
Di sisi lain, Akay duduk dengan santai, menyeruput kopi hitamnya sambil sesekali mencuri pandang ke arah Aylin yang masih terlihat kesal. Mbok Inem hanya mengamati mereka dengan senyum tipis, menikmati interaksi lucu antara suami-istri baru ini.
Namun, perhatian Akay tiba-tiba tertuju pada rok Aylin yang sedikit naik di atas lututnya.
Ia menghela napas panjang. Matanya turun ke kaki jenjang Aylin yang tersingkap sebagian, lalu naik ke lengan seragamnya yang digulung asal.
"Bau Kencur."
Aylin yang masih sibuk mengunyah hanya mendengus pelan. "Apa?"
Sementara itu, Mbok Inem sempat terkejut mendengar Akay memanggil Aylin seperti itu. Namun, tak lama kemudian, ia justru menahan senyum, geli dengan cara Akay memanggil istri kecilnya.
Akay menaruh cangkirnya dan menyandarkan punggung ke kursi. "Rokmu itu... pendek banget."
Aylin mendongak, mengangkat sebelah alisnya. "Terus? Sejak kapan kamu peduli?"
"Sejak aku sadar aku suamimu." Akay menyilangkan tangan di dada, ekspresinya tenang tapi nadanya tegas. "Jangan pakai rok sependek itu ke sekolah."
Aylin mendelik, sengaja menggoyangkan kakinya pelan agar lipatan rok naik lebih tinggi. "Kenapa? Cemburu?" godanya dengan nada menyebalkan.
Akay menutup mata dan menghela napas lebih panjang. Mbok Inem menahan senyum, pura-pura sibuk mengaduk teh di cangkirnya.
"Aylin, aku serius."
Aylin menegakkan punggungnya, menatap Akay dengan mata menyipit. "Dengar ya, Pak Suami. Aku pakai apa pun yang aku mau. Kamu bukan kepala sekolah, bukan orang tuaku, dan aku nggak peduli sama pendapatmu."
Akay mengangkat satu alisnya. "Kamu yakin?"
"Sangat yakin."
Akay menatapnya sebentar, lalu dengan cepat mengulurkan tangannya dan menarik ujung roknya ke bawah.
"Hei! Akay!" Aylin langsung berusaha menariknya kembali ke atas, tapi Akay menahan rok itu dengan satu tangan, wajahnya datar.
"Rok ini nggak boleh lebih pendek lagi."
Aylin mencoba menepis tangannya, tapi Akay justru menariknya lebih rendah lagi. "AKAY! Lepasin!"
"Kalau kamu nggak nurut, aku bakal antar kamu ke sekolah tiap hari dan lapor ke kepala sekolah tentang seragam yang nggak sesuai aturan."
Aylin membelalak. "Kamu nggak akan berani."
"Coba saja." Akay tersenyum miring, ekspresinya penuh kemenangan.
Aylin mendengus kesal, merengut sambil menyeruput tehnya dengan wajah jutek. Mbok Inem, yang sejak tadi menyaksikan interaksi itu, tertawa kecil.
"Aduh, seru sekali pagi ini," gumamnya, merasa semakin yakin bahwa Nenek Ros tidak salah memilih Akay sebagai suami Aylin.
Setelah sarapan, Aylin berjalan dengan langkah lebar menuju pintu keluar, masih sebal dengan Akay.
Namun, sebelum sempat mencapai pintu, Akay tiba-tiba melangkah lebih dulu dan menutup pintu dengan satu tangan.
"Aku antar," katanya santai.
Aylin menoleh dengan ekspresi tidak percaya. "Hah? Antar ke mana?"
"Sekolah, tentunya," jawab Akay sambil merogoh saku celananya, mengeluarkan kunci mobil.
Aylin menatapnya seperti baru mendengar hal paling absurd di dunia. "Enggak usah! Aku bisa naik angkot sendiri!"
"Nggak bisa. Rokmu masih terlalu pendek," ujar Akay dengan nada tenang tapi tak terbantahkan. "Aku nggak mau cowok-cowok di sekolahmu sibuk ngelirik istri orang."
"Akay!!" Aylin hampir berteriak frustrasi.
"Apa?" Akay mengangkat sebelah alis, tatapannya tajam. "Dengar baik-baik! Kaki jenjangmu itu mulus—"
"Tentu saja!" potong Aylin, refleks memamerkan kakinya dengan bangga. Sekejap, ia lupa tabiat suaminya yang suka memberi pujian dengan ujung yang selalu menjengkelkan.
Akay menyeringai tipis. "Tapi kaki mulusmu itu bisa jadi kubangan dosa kalau dilihat orang yang tak seharusnya."
"CABAI SETAN!" Aylin menggeram, menatap suaminya dengan kesal. Kenapa ia selalu terjebak dalam pujian pria itu sebelum akhirnya dijatuhkan?
Mbok Inem yang sedari tadi memperhatikan nyaris tertawa, tapi buru-buru menutup mulutnya dengan tangan agar tak ketahuan. "Lucu banget mereka ini," batinnya.
Akay mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap Aylin dengan ekspresi penuh keyakinan. "Cepat naik, atau aku bakal benar-benar masuk ke ruang guru buat lapor soal seragammu." Mata tajamnya menyipit, seakan menimbang serius ide itu.
Aylin terkesiap. Ia tahu suaminya bukan tipe yang main-main dengan ancamannya.
Aylin mendengus dan akhirnya menyerah, meski dengan wajah masam. Dengan malas ia menghempaskan tasnya ke bahu dan berjalan cepat menuju mobil Akay.
***
Tumirah baru saja pulang dari pasar dengan kedua tangan penuh kantong belanjaan. Ia berjalan masuk ke dapur dengan wajah sedikit merengut. Matanya langsung menangkap sosok Mbok Inem yang tengah sibuk membereskan meja makan.
“Tuan Akay sudah pergi, ya, Mbok?” tanyanya dengan nada kecewa. Tak lagi melihat mobil Akay di halaman, ia pun langsung menyimpulkan bahwa pria itu sudah berangkat.
Mbok Inem melirik sekilas sebelum menjawab santai, “Sudah.”
Tumirah atau kita sebut Mira--sesuai keinginannya, langsung mendesah kesal dan menaruh belanjaan di meja dengan sedikit bantingan. “Duh, Mbok! Ini gara-gara Mbok nyuruh aku belanja banyak banget. Aku jadi lama di pasar! Kalau tadi aku ada di sini, pasti bisa sekalian bikin teh buat Tuan Akay, ngobrol dikit, atau… yaaa, lihat mukanya aja udah cukup.”
Mbok Inem menyembunyikan senyumannya yang penuh arti. “Makanya aku suruh kau ke pasar, biar nggak ganggu Tuan Akay sarapan.”
Mira melotot. “Hah?! Mbok sengaja, ya? Jahat banget sih, Mbok!”
Mbok Inem mengangkat bahu. “Nggak nyangka juga ternyata Non Aylin pulang semalam.”
Mira mengerjap, wajahnya berubah penuh rasa tidak percaya. “Non Aylin pulang? Halah, Mbok bohong, 'kan? Mana mungkin? Udah tiga bulan lebih nggak kelihatan batang hidungnya!”
Mbok Inem menatap Mira tajam, seolah menantangnya untuk membantah lagi. “Kalau nggak percaya, tanya aja sendiri. Pagi tadi, Tuan Akay yang antar Non Aylin ke sekolah.”
Mira membelalakkan mata, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Sekolah? Non Aylin masih sekolah?”
Mbok Inem mengangguk santai, lalu menepuk pundak Mira dengan nada setengah bercanda, tapi tetap tegas. “Makanya, Tum, jangan genit lagi. Non Aylin udah pulang. Mau cari gara-gara?”
Mira masih belum puas. “Tapi, katanya udah nikah, kok masih sekolah?”
Mbok Inem mendengus kesal, menyilangkan tangan di dada. “Sudah! Jangan terlalu ikut campur urusan orang. Urus saja belanjaan itu, masukkan ke kulkas!”
Mira mendecak, tapi akhirnya menurut sambil tetap menggerutu pelan. Ia bergegas menata belanjaannya dengan wajah cemberut. “Huh! Pagi ini benar-benar sial. Nggak bisa lihat Tuan Akay, sekarang Mbok malah pasang badan buat Non Aylin. Nggak asyik!”
Mbok Inem hanya terkekeh pelan, puas melihat Mira akhirnya diam.
***
Sementara itu, di dalam mobil, suasana hening.
Aylin duduk dengan tangan menyilang di dada, menatap jendela dengan tatapan membunuh. Akay, di sisi lain, menyetir dengan senyum puas di wajahnya.
"Kamu menyebalkan."
"Terima kasih."
Aylin mendelik, tapi Akay hanya terkekeh pelan.
Namun, saat mobil mulai mendekati gerbang sekolah, Aylin langsung panik.
"Berhenti di sini! Aku turun di sini aja!" katanya buru-buru, takut teman-temannya melihatnya turun dari mobil Akay.
Tapi tentu saja, Akay justru melambatkan mobilnya tepat di depan gerbang sekolah.
"Hei—AKAY!!"
Dengan tenang, Akay membuka kunci pintu mobil, menatap Aylin yang hampir melompat keluar seperti maling ketahuan.
"Belajar yang bener, Nona Aylin," katanya sambil tersenyum jail.
Aylin ingin melempar sesuatu ke wajah pria itu, tapi sebelum sempat, suara temannya terdengar dari luar.
"Aylin?! Itu siapa?!"
Matanya langsung membulat. Tanpa menunggu lebih lama, ia buru-buru keluar, membanting pintu mobil, dan lari ke dalam sekolah tanpa menoleh sedikit pun.
Sementara itu, Akay hanya tertawa pelan, puas melihat wajah Aylin yang memerah karena malu.
"Gadis itu lucu juga kalau kesal," gumamnya sebelum akhirnya melajukan mobilnya pergi.
...🌟...
..."Kehadirannya mungkin tak mengubah dunia, tapi ia mengubah duniaku yang tanpa warna. Perlahan, namun pasti, setiap warna baru hadir bersamanya."...
..."Bukan tentang ledakan kembang api yang menyala, tapi tentang pelangi yang muncul setelah hujan reda....
...Kehadirannya adalah warna-warna lembut yang menghiasi hari-hariku. Setiap detik bersamanya adalah goresan warna yang menghidupkan kanvas kehidupanku."...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
ada ketidak sukaan yang Akay rasakan..secara terang²an si Jordi suka sm Aylin