Alina berkali kali patah hati yang dibuat sendiri. Meski dia paham kesalahannya yang terlalu idealis memilih pasangan. Wajar karena ia cantik dan cerdas serta dari keluarga terpandang. Namun tetap saja dia harus menikah. Karena tuntutan keluarga. Bagaimana akhir keputusannya? Mampukah ia menerima takdirNya? Apalagi setelah ia sadari cinta yang sesungguhnya setelah sosok itu tiada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Ame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjalanan Andien dan Alina
flashback
Siang itu, Alina dan Andien pergi berdua ke sebuah mal dan kafe di dekat rumah Roy. Ketika Andien mengutarakan niatnya ingin mengajak Alina pergi, Roy yang mendengar itu, akhirnya sengaja meminta Alina menemani Andien belanja beberapa barang, berharap putrinya bisa lebih dekat dengan calon ibu barunya.
Andien yang kaget karena menerima chat dari Alina, sama sekali tidak mengetahui bila ternyata inisiatif Alina itu berasal dari ayahnya. 'Bisa kebetulan banget mba Alina mau ajak aku keluar' batin Andien.
Keesokan harinya, setelah mereka selesai berbelanja, Andien memilih duduk di sudut kafe terdekat dengan rumahnya sambil mengaduk minumannya. Alina duduk di seberangnya, menyesap kopi dengan tenang.
Andien mulai membuka pembicaraan, "Mbak Alina, boleh aku tanya sesuatu?"
Alina pun tersenyum lembut, "Boleh, dong. Mau tanya apa?"
Andien memandang Alina dengan serius, "Kenapa Mbak mau nikah sama Ayah?"
Alina tersentak sejenak, lalu tertawa kecil.
"Kamu nggak percaya kalau aku beneran suka sama Ayah?" Alina menyelidik calon putri sambungnya yang lebih tepat jadi adiknya itu.
Andien pun mengangkat bahu, "Bukan gitu. Tapi… Mba kan perempuan yang masih muda, cantik, dan sepertinya punya banyak pilihan. Kenapa harus Ayah, seorang duda dengan tiga anak?"
Alina menatap gadis itu lekat-lekat.
Kemudian dengan suara lembut Alina berkata,"Aku tahu, ini pasti berat buat kamu dan kakak-kakakmu. Aku nggak pernah berniat menggantikan posisi ibumu. Aku juga nggak datang karena ingin memanfaatkan apa pun dari Ayah."
Andien tetap diam, menunggu kelanjutan jawaban Alina.
Alina pun menatap keluar jendela, lalu kembali menatap Andien, "Aku mencintai Ayahmu bukan karena dia punya segalanya, tapi karena dia punya hati yang besar. Dia pria baik, Andien. Dia membuatku merasa dihargai, dicintai, dan nyaman."
Andien mengernyit. "Tapi dulu Mbak Alina sempat menghindar dari Ayah. Kenapa?"
Alina pun tersenyum pahit, "Karena aku takut. Aku takut kalau aku nggak cukup baik untuk menjadi bagian dari keluarga ini. Aku juga takut kalau aku menyakiti seseorang di masa lalu yang masih ada di hatiku. Tapi sekarang aku tahu, perasaan itu cuma bayangan. Aku ingin maju, dan Ayahmu adalah orang yang membuatku ingin mencoba lagi."
Andien terdiam sejenak, lalu berkata pelan.
Andien akhirnya mencoba berdamai dengan gejolak hatinya, "Jadi, kamu benar-benar serius sama Ayah?"
Alina akhirnya mengangguk mantap, "Iya. Inshallah, aku nggak akan main-main dengan ini."
Andien menarik napas panjang. Meskipun masih ada keraguan, namun dia mulai melihat ketulusan di mata Alina.
Tak lama setelah mereka berbincang santai, mereka memutuskan kembali ke rumah.
Ketika mereka tiba, Roy sudah menunggu di teras dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Roy pun tersenyum melihat keduanya turun dari mobil, "Bagaimana perjalanannya?"
Andien melirik Alina sebentar, lalu menjawab singkat, "Seru."
Alina tertawa kecil. "Andien yang pilih lagu sepanjang jalan. Aku jadi tahu selera musiknya."
Roy mengangguk, lalu tiba-tiba berkata dengan nada serius.
Roy tiba tiba bicara, "Aku ada kabar penting."
Alina dan Andien saling bertukar pandang.
Alina kaget dan memicingkan mata, "Kabar apa?"
Roy menatap Alina dalam-dalam, lalu berkata dengan tenang tapi tegas, "Aku ingin mempercepat lamaran kita. Aku nggak mau nunggu lebih lama lagi."
Alina terkejut. Andien pun membelalakkan mata.
Andien tiba tiba duduk di kursi teras di samping Roy, "Ayah serius?"
Plastik belanjaannya ia letakkan di lantai begitu saja.
Roy pun mengangguk mantap sambil matanya bergantian menghadap putri semata wayangnya dan calon istrinya, "Iya. Aku nggak mau Alina terus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang bikin dia ragu atau lelah. Aku ingin dia tahu bahwa dia benar-benar bagian dari hidup kita."
Alina menatap Roy dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, hatinya bergetar mendengar keseriusan pria itu. Di sisi lain, dia tahu, ini juga berarti harus menghadapi lebih banyak tantangan ke depan.
Andien menatap Alina lagi, lalu akhirnya berkata pelan.
Andien kemudian memandang Alina, "Kalau Mbak Alina memang benar-benar yakin, aku nggak akan menentang." Wajahnya begitu datar. Seolah ada yang sedang ia pendam.
Alina tersenyum lembut, matanya sedikit berkaca-kaca. Dia menoleh ke Roy, lalu mengangguk pelan.
Alina memandang Roy dengan syahdu, "Baiklah. Aku siap."
Roy tersenyum lega, sementara Andien masih mencerna semuanya. Beberapa saat setelahnya, Andien pun berlalu masuk kamar. Ia berpamitan pada Roy dan Alina, "Aku ke kamar dulu Yah," kata Andien pendek sambil memandang keduanya.
Di dalam hatinya, Alina tahu bahwa ini bukan akhir dari perjalanan, melainkan awal dari sebuah kisah baru—kisah yang akan penuh dengan tantangan, tapi juga kebahagiaan.
Roy pun meminta Alina duduk di sebelahnya. Dan kemudian ia bertumpu di siku kaki menghadap Alina yang kini berada di hadapannya sambil mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna biru.
Alina berdebar debar melihat pemandangan itu. Detik berikutnya ia bisa menduganya,
"Alina, maukah kamu menikah denganku ?" berkata demikian Roy mengeluarkan sebentuk cincin berlian dengan mata yang mungil namun tampak bercahaya, seiring dengan tetes bening air mata bahagia yang mengalir di pipi Alina.
cek profil aku ada cerita terbaru judulnya
THE EVIL TWINS
atau langsung tulis aja judulnya di pencarian, jangan lupa mampir dan favorit kan juga ya.
terima kasih